Catatan Tentang Dunia Pendidikan

by
Anak-anak menyeberang jembatan yang telah rusak demi sampai ke sekolah. Foto: kabartangsel.com.

Setiap 2 Mei diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional. Masih banyak catatan kritis bagi pendidikan kita dewasa ini.

Wartapilihan.com, Jakarta – Salah satu tujuan negara yang terdapat dalam Pembukaan UUD 1945 Aline ke-IV dikatakan: “Untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Salah satu komponen utama sebagai ujung tombak mencapai “kecerdasan berbangsa” tersebut adalah para guru.

Namun, setelah 73 tahun merdeka masih banyak guru yang jauh dari kata sejahtera. Padahal masih di dalam Pembukaan UUD 1945 tersebut, tujuan negara yang lainnya adalah; “untuk memajukan kesejahteraan umum”.

Hal tersebut disampaikan oleh Dra. Itje Chodidjah M.A. selaku Pakar Pelatihan Guru. Ia menjelaskan, faktanya masih banyak guru yang statusnya honorer, dengan honor sebesar 35 ribu rupiah perbulan.

“Seperti yang dialami Imron Husain seorang guru dari Sumenep, Madura. Atau nasib seorang guru dari NTB yang mendapatkan honor sebesar 50 ribu perbulan, yang pernah bersama FSGI mengadukan nasibnya ke Komisi X DPR RI.

Kesejahteraan guru khususnya guru honorer masih menjadi “horor” bagi guru-guru yang juga sama-sama sedang melakukan upaya untuk mencerdaskan anak bangsa,” tutur Itje, (2/5/2018), di Jakarta.

Selain soal kesejahteraan guru yang masih minim, dunia pendidikan kita menurut dia masih tercoreng oleh terulangnya kekerasan di dunia pendidikan. Kekerasan yang dilakukan oleh guru, orang tua dan siswa sendiri di lingkungan sekolah masih terus terjadi.

“Berulangnya kekerasan yang dilakukan oleh guru kepada siswa, orang tua terhadap guru atau siswa terhadap guru adalah potret buram pendidikan nasional kita. Padahal perumpaan sekolah bagi Ki Hajar Dewantara adalah laksana taman bagi siswa. Taman tempat mereka bermain dengan riang gembira,”

Permasalahan selanjutnya, cetak biru pendidikan secara nasional masih belum kokoh. Hal tersebut berimplikasi pada mudahnya kurikulum untuk diganti. Blueprint pendidikan nasional ini menurutnya sangat dibutuhkan, sebab kebijakan pendidikan masih dirasakan parsial, belum mengena ke semua aspek atau dengan bahasa Undang Undang.

“Kurikulum 2013 pun mengalami revisi. Kurikulumnya “canggih”, tetapi tetap saja dalam implementasinya bermasalah. Para guru mengeluhkan betapa ruwetnya penilaian dalam Kurikulum 2013. Begitu mudahnya mengganti kurikulum, namun begitu sulitnya negara menyiapkan guru-guru yang memenuhi 4 kompetensi utama seorang guru,” papar Itje prihatin.

Dengan demikian, Standar Nasional Pendidikan sebagaimana yang dijelaskan oleh UU Sisdiknas, masih jauh dari kata sempurna. Pemenuhan 8 standar nasional pendidikan ini adalah kewajiban pemerintah melakukannya.

“Anggaran pendidikan yang sangat besar, semestinya bisa menyelesaikan persoalan standar pendidikan. Misalnya terkait standar sarana-prasarana, faktanya masih banyak sekolah yang kategori rusak bahkan rusak berat. Sekolah yang harusnya menjadi tempat paling aman, justru para siswa dan guru khawatir karena bangunannya tak laik huni,” pungkas dia.

Kekerasan di Sekolah Sepanjang 2018

Sementara itu, Retno Listyarti selaku Komisioner Bidang Pendidikan KPAI turut menyampaikan keprihatinan mendalam atas berbagai kasus kekerasan yang masih terjadi di sekolah, yang mencoreng dunia pendidikan, mulai dari kasus kekerasan fisik, kekerasan psikis sampai kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan sekolah.

“Mulai dari pemukulan sampai penghukuman tak wajar, seperti menjilat WC sebagaimana dialami oleh siswa SD di Sumatera Utara dan penamparan sadis guru SMK terhadap sejumlah siswa di Purwokerto. Kasus penganiayaan orangtua siswa terhadap salah seorang kepala SMP negeri di Pontianak dan kasus meninggalnya guru Budi di Sampang, Madura akibat pukulan muridnya sendiri sangat viral dan mengejutkan banyak pihak. Masyarakat kemudian mempertanyakan ada apa dengan pendidikan kita sehingga anak didik bisa berbuat demikian,” tutur Retno prihatin.

Retno memaparkan data, berdasarkan Ikhtisar Eksekutif Startegi Nasional Penghapusan Kekerasan Terhadap Anak 2016-2020 oleh Kemen-PPPA terlihat bahwa kekerasan di satuan pendidikan cukup tinggi, baik yang dilakukan guru pada siswa, siswa terhadap guru, maupun siswa terhadap siswa lainnya.

“Sebanyak 84% siswa pernah mengalami kekerasan di sekolah. Belum lagi 45% siswa menyebutkan, guru meripakan pelaku kekerasan dan 50% anak melaporkan telah mengalami perundungan (bullying) di sekolah,” papar Retno.

Berdasarkan data KPAI dalam tri semester pertama tahun 2018, pengaduan di KPAI juga didominasi oleh kekerasan fisik dan anak korban kebijakan (72%), Sedangkan kekerasan psikis (9%), kekerasan financial atau pemalakan/pemerasan (4%) dan kekerasan seksual (2%). Selain itu, kasus kekerasan seksual oknum guru terhadap peserta didik yang viral di media , meski tidak dilaporkan langsung ke KPAI, tetapi KPAI tetap melakukan pengawasan langsung mencapai 13% kasus.

Terungkapnya berbagai kasus kekerasan seksual yang dilakukan oknum guru terhadap anak didiknya menjadi trend awal tahun 2018, Retno mengatakan, hal ini menunjukkan bahwa sekolah yang seharusnya menjadi tempat yang aman dan nyaman bagi anak didik ternyata justru bisa menjadi tempat yang membahayakan anak-anak. Guru sebagai pendidik yang mestinya menjadi pelindung bagi anak, justru bisa menjadi oknum yang membahayakan anak-anak.

“Trendnya pun berubah, kalau sebelumnya korban kebanyakan anak perempuan, tetapi data terakhir di 2018 justru korban mayoritas anak laki-laki. Korban mayoritas berusia SD dan SMP,”

Misalnya kasus kekerasan seksual oknum guru di kabupaten Tangerang korbannya mencapai 41 siswa, kasus di Jombang korbannya mencapai 25 siswi, kasus di Jakarta korbannya 16 siswa, kasus di Cimahi korbannya 7 siswi, dan kasus oknum wali kelas SD di Surabaya korbannya mencapai 65 siswa.

“Adapun modus oknum guru pelaku kekerasan seksual beragam, misalnya korban di bujuk rayu dengan iming-iming memberikan kesaktian seperti ilmu kebal dan ilmu menarik perhatian lawan jenis (semar mesem). Selain itu, ada yang dalih untuk pengobatan dan ruqyah. Ada juga modus yang meminta anak didik membantu mengkoreksi tugas, memasukan nilai ke buku nilai, dan bahkan dalih memberikan sanksi tetapi dengan melakukan pencabulan,” tukas Retno prihatin.

Oleh karena, Retno menekankan agar para guru di berbagai sekolah dibekali psikologi anak agar dapat memahami tumbuh kembang anak sesuai usianya, juga harus diberi pelatihan manajemen kelas sehingga dapat mengatasi anak-anak yang memiliki kecenderungan agresif, dan membangun disiplin positif dalam proses pembelajaran.

“Karena masih banyak guru yang cenderung mendisiplikan siswa dengan kekerasan, bukan dengan disiplin positif,”

Selain itu, menurutnya Permendikbud No. 82 Tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di satuan pendidikan ternyata belum dipahami oleh para pendidik maupun para birokrat pendidikan, padahal isi Permendikbud ini sangat rinci dalam mendefiniskan jenis-jenis kekerasan dan sanksinya.

“Upaya pencegahan dan penanganan kekerasannya jelas. Untuk itu, Kemdikbud harus lebih masif lagi dalam mensosialisasikan ke jajarannya, para guru dan para birokrat pendidikan,” pungkas dia.

Eveline Ramadhini

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *