Bukan Radikalisme Tapi Ketidakadilan

by

Menurut Jeffrey kesenjangan kekayaan kaum oligarki dengan rata-rata rakyat, di Indonesia, merupakan yang terburuk di dunia.

“Indonesia mengalami ketimpangan sosial ekonomi yang sangat serius. Permasalahan di Indonesia bukan radikalisme,” demikian tandas Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Siti Zuhro, dalam acara Outlook Ekonomi Politik Indonesia 2020 di Jakarta, Ahad, 29 Desember 2019.

Siti Zuhro mengatakan radikalisme bukanlah permasalahan Indonesia. Menurutnya, gejolak yang terjadi belakangan ini adalah persoalan ketimpangan sosial akibat stagnasi perekonomian global yang serius.

Jika pemerintah tak melakukan terobosan-terobosan yang luar biasa, imbuh Zuhro, stagnasi akan terus terjadi. “Ke depan akan suram, terutama kalau berkaitan dengan politik,” ujarnya.

Siti Zuhro melihat ada ketidakadilan ekonomi yang dirasakan oleh penduduk Indonesia, di mana angka kemiskinan dan pengangguran masih signifikan. “Tidak jauh dari Ibu Kota Negara yaitu di Provinsi Banten, pengangguran di sana paling tinggi. Pastinya kemiskinan demikian juga,” kata dia.

Oleh karena itu, ke depan yang harus dipikirkan pemerintah adalah bagaimana mengentaskan kemiskinan supaya disharmoni di tengah masyarakat juga terobati.

Sebaliknya, menurut dia, konsep politisasi radikalisme dan politik identitas harus dihilangkan agar arah permasalahan yang sebenarnya tidak menjadi kabur. “Kita tidak mau dibawa ke alam politisasi radikalisme dan politik identitas,” ujar Zuhro.

Di tempat terpisah, Dr Syahganda Nainggolan, Direktur Sabang Merauke Circle, menyebutkan hal senada. Menyitir Ketua Umum Front Pembela Islam (FPI) dan Pengurus Besar Nahdhatul Ulama (PBNU), yang dianggap mewakili suara mayoritas umat Muslim Indonesia, bahwa perekonomian NKRI tidak adil karena dibajak kaum kapitalis minoritas.

Ketua Umum PBNU Said Aqil Siradj beberapa hari lalu menyampaikan tentang matinya keadilan sosial dalam haul leluhurnya di Cerebon, dihadapan puluhan ribu massa kaum Nahdatul Ulama (NU).

SAS memperkuat yang disampaikan Habib Rizieq Sihab. Dalam pidatonya tersebut, SAS menyampaikan bahwa oligarki (kapitalis) mengambil hampir semua kesempatan ekonomi di tanah air dan tidak menyisakan rakyat kebanyakan, kecuali sebagai penonton dan “kuda tunggangan” dalam peraihan kekuasaan.

Habibi Rizieq, berbeda dengan SAS, langsung mengarahkan istilah oligarki pemilik modal ini dengan sebutan 9 naga. Atau menurut Christian Chua, sebagai China kapitalis. Karena faktanya oligarki modal di Indonesia tidaklah berbeda dengan China kapitalis tersebut.

Syahganda mengemukakan, apa yang disampaikan SAS itu telah diteliti Professor Amy Chua, Yale University, dalam “World on Fire”, 2003, yang menyebutkan demokratisasi dan free market ekonomi yang masuk ke negara-negara seperti Indonesia, di mana etnik minoritis menguasai ekonomi, membuat jurang ketimpangan semakin dalam. Chua meneliti puluhan negara, di Asia, Afrika dan Amerika Latin.

Christian Chua, dalam “Chinese Big Business in Indonesia: The State of Capital”, 2006, sebuah disertasi, bukan hanya sejalan dengan temuan Amy Chua, bahkan saat ini China kapitalis, bukan saja menguasai ekonomi, namun paska reformasi mereka telah menguasai negara.

Christian Chua menggambarkan transisi Cina kapitalis dari masa “Bureaucratic capitalism” di era orde baru, lalu masa “Oligarchic Capitalism” sekitar tahun 80an sampai 1998 & masa selanjutnya “Plutocratic Capitalism”, di mana kekuatan Cina kapitalis yang awalnya berlindung pada politico-bureaucrat akhirnya saat ini memiliki kekuatan lebih unggul.

Dalam demokrasi, awalnya para kapitalis shock karena harus terlalu banyak menawarkan konsesi kepada pusat kekuasaan yang menyebar. Namun, sejalan dengan demokrasi yang bersandar pada politik uang, maka sandaran politik kekuasaan kembali kepangkuan para kapitalis. 

Plutocrary artinya “the rule of wealth”. Dalam politik, “plutocratic capitalism” maksudnya negara yang dikendalikan orang-orang kaya. Kadangkala istilah lain yang mirip adalah “Corporatocracy”, untuk menunjukkan korporasi besar yang nengendalikan negara, bukan individual-individual pengusaha.

Kecepatan dan percepatan akumulasi asset para kapitalis ini, diteliti oleh Jeffrey Winter (2013) dan Arif Budimanta ( 2017). Menurut Budimanta, pada tahun 2016, Material Power Index (MPI) dari 40 orang terkaya di sini mencapai 548.000, sedangkan di Singapore 46.000 dan Malaysia 152.000. MPI ini ukuran kekayaan para kapitalis dibandingkan rata2 pendapatan penduduk (GDP perkapita).

Menurut Jeffrey kesenjangan kekayaan kaum oligarki ini dengan rata-rata rakyat, di Indonesia, merupakan yang terburuk di dunia.

Sebagai catatan tambahan, Oxfam, sebauh NGO Inggris, merilis riset 4 orang terkaya di Indonesia memiliki kekayaan setara dengan 100 juta penduduk termiskin (2017). Pada tahun 2019, LPS mencatat 0,2% pemilik rekening di bank, menguasai 63,8% total simpanan bank.

Professor Amy Chua berbeda dengan Christian Chua dalam melihat persoalan ketimpangan di Indonesia ini. Amy Chua melihat unsur etnisitas dalam pendekatannya, sebaliknya Christian Chua melihatnya dalam pendekatan struktural. Pendekatan Christian yang struktural lebih melihat peranan modal dalam hirarki kekuasaan.

Bagi Christian Chua, dalam sistem Kapitalisme, siapa yang mengontrol modal maka dialah yang mengendalikan negara tersebut. Dan negara adalah alat para kapitalis untuk menggandakan keinginan mereka. Mengendalikan bisa langsung maupun bisa dengan menunjuk “manajer” untuk  mengelola negara itu untuk sesuatu yang sudah diatur kaum kapitalis.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *