Hakim hanya kabulkan satu petitum, penetapan tersangka tidak sah karena salah prosedur. Petitum yang lain tidak dikabulkan, termasuk yang meminta KPK untuk tidak menyidik kembali perkara yang sama. KPK pasti mengulang, dengan memperbaiki prosedur.
Wartapilihan.com, Jakarta –Hakim tunggal Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Chepi Iskandar mengabulkan gugatan pra peradilan Ketua DPR RI Setya Novanto sebagai tersangka kasus mega korupsi e-KTP. Beberapa pengamat menilai, putusan tersebut tidak objektif dan melanggar kode etik serta profesionalisme hakim.
Ketua Komisi Yudisial, Aidul Fitriciada Azhari menuturkan, pihaknya akan memeriksa Cepi Iskandar terkait dugaan pelanggaran kode etik hakim.
“Kita mencoba mencari dimensi pelanggaran kode etiknya. Untuk dua putusan sebelum saya tidak ditemukan buktinya. Putusan sekarang kita belum tahu seperti apa nanti -dugaan pelanggaran-,” kata Aidul dalam sebuah diskusi di bilangan Cikini, Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (30/9).
Selain itu, pihaknya juga akan mendalami bukti-bukti dari KPK selama penyidikan terkait penetapan status tersangka Ketua Umum Partai Golkar tersebut. Hal itu, kata Aidul, menjadi referensi dalam melihat indikasi-indikasi pelanggaran yang dilakukan hakim. Diantaranya memiliki keberpihakan, menjalin komunikasi intens dengan pihak tertentu dan bersikap tidak imparsial dalam persidangan.
“Hari Senin besok kita perdalam lagi. Mahkamah Agung sudah bersedia untuk melakukan pemeriksaan bersama apabila ditemukan pelanggaran prilaku murni dalam hal profesionalisme. Misalnya KPK merasa bahwa dia diperlakukan tidak adil di pengadilan,” tandas Pimpinan Pusat Muhammadiyah itu.
Dalam proses investigasi dugaan pelanggaran kode etik hakim dan profesionalisme, Ketua KY itu menargetkan mekanisme tersebut sampai keluarnya putusan serta rekomendasi selama 60 hari. Pihaknya akan mengkonfrontir dua saksi masing-masing dengan di dukung bukti yang kuat.
“Kalau dipercepat bisa sampai 2 minggu, sudah bisa di dapatkan hasilnya,” pungkas Aidul.
Sementara itu, Direktur Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) dalam kesempatan sama mengatakan, KPK masih menjadi salah satu institusi yang dipercayai publik setelah TNI dan Presiden. Namun, publik menilai ada pertarungan legal antara KPK dan tersangka.
“Tetapi kekalahan itu tidak punya efek langsung terhadap kepercayaan publik terhadap KPK. Kalau kita lihat misalnya, dalam setiap survey nasional kita (SMRC), posisi KPK cenderung relatif stabil sebagai institusi yang lebih dipercaya di atas Kepolisian, Kehakiman, Kejaksaan DPR, dan partai politik,” ungkapnya.
Selain itu, dia menilai, Setya Novanto hanyalah salah satu defisitor elektabilitas Partai Golkar. Faktor yang mempengaruhi turunnya elektabilitas Golkar, kata Sirojuddin adalah Kepala Daerah yang bermasalah, organisasi di bawah Partai Golkar yang bersebrangan dan polarisasi kubu internal Partai Golkar.
“Soal seberapa tentunya nanti akan berubah-rubah. Opini publik terpengaruhi oleh kondisi makro kejadian saat itu, kalau besok terjadi peritiwa yang lain lagi pasti akan berubah. Bisa naik, bisa turun lagi. Maka perbandingannya nanti harus dilihat antara tahun 2014 dengan perolehan tahun 2019. Maka nanti kita bisa melihat seberapa besar efeknya. Nah, kalau 2014 bandingkan dengan 2009, kelihatan ada perbedaan,” pungkasnya.
Ahmad Zuhdi