Bank Indonesia (BI) akan segera merilis aturan pengenaan biaya isi ulang (top-up) uang elektronik atau e-money dalam bentuk Peraturan Bank Indonesia (PBI), terkait rencana, seluruh ruas tol di Indonesia wajib menggunakan transaksi nontunai, mulai Oktober tahun ini.
Wartapilihan.com, Jakarta –Pengenaan biaya top-up e-money disebut-sebut untuk memberikan insentif kepada perbankan sehingga dapat memperbanyak infrastruktur pembayaran uang elektronik. Disebutkan pula besaran biaya top-up yang akan diterapkan bank kepada konsumen sebesar Rp 1.500 per transaksi.
Tak ayal, pengenaan biaya top up itu mencuatkan kisruh. Selain bertentangan dengan semangat dan visi cashless society yang gencar disosialisasikan BI, juga karena hal tersebut memberatkan rakyat.
Atas hal tersebut, anggota DPR RI Komisi XI Heri Gunawan menyatakan, pengenaan top up tersebut kontra-produktif dengan semangat Gerakan Nasional Non Tunai (GNNT) menuju cashless society yang bertujuan untuk mewujudkan sistem pembayaran yang transparan, efisien, minim risiko, aman dan terhindar dari tipu-tipu. Meskipun, kebijakan tersebut untuk mengatur agar biaya lebih murah ketimbang mengisinya di merchant, tapi, sedapat mungkin BI sebagai regulator bisa berpihak ke masyarakat dan menghindarkan mereka dari potensi pungutan fee dari setiap isi ulang e-money yang memberatkan.
“Aturan tersebut bisa jadi pintu masuk BI untuk memfasilitasi animo masyarakat yang makin aktif menggunakan e-money dalam rangka mewujudkan visi besar cashless society itu. Tahun 2017 saja tercatat transaksi uang elektronik telah mencapai 58 juta transaksi dengan nilai Rp1,1 triliun. Kalau ada biaya top up justru bisa jadi blunder yang berujung pada distrust.,” kata Heri Gunawan di Jakarta.
Sebab, lanjutnya, masyarakat yang seharusnya mendapat insentif dari kelebihan-kelebihan e-money, justru mendapat disinsentif. Jelas, itu tidak elok.
“Distrust masyarakat itu berupa sentimen negatif atas Gerakan Nasional Non Tunai (GNNT). Jangan sampai masyarakat sampai berpikir bahwa ini jadi semacam “alat” perbankan untuk menarik dana dari masyarakat. Itu tak pantas, tidak elok. Perbankan itu adalah institusi dengan aset yang besar. Image itulah yang musti tetap dijaga. Jangan sampai rusak hanya gara-gara uang receh,” ungkapnya.
Terlebih, tutur politisi Partai Gerindra itu, pengenaan top up lebih menguntungkan perbankan ketimbang masyarakat. Pasalnya, bank sudah menerima uang sebelum transaksi terjadi dengan asumsi tiap kartu baru e-money dibeli dengan harga Rp25.000. Lalu, biaya top up e-money yang dibebankan ke masyarakat sebesar Rp 1.500. Untuk diketahui, misalnya, dari empat Bank saja tercatat pengguna kartu e-money sebesar 27,6 juta (Bank Mandiri 9,61 juta + BNI 1,5 juta kartu + BRI 6,6 juta + BCA 10). Jika rata-rata transaksi per bulan sebanyak 1 kali transaksi, maka uang top up yang diraup bank sebesar 27,6 juta x Rp1.500 = Rp41,4 miliar per bulan. Sehingga, dalam waktu setahun = Rp41,4 x 12 bulan = Rp496,8 miliar. Kalau kita tambah dengan harga beli kartu Rp25.000, maka total dana masyarakat yang disimpan di bank = Rp496,8 + (Rp25.000 x 27,6 juta) = Rp1,2 triliun per tahun. Itu bukan uang yang sedikit.
“Nah, uang itu dibikin apa? Bagaimana pertanggungjawabannya di bank-bank, terutama BUMN? Kan, tidak jelas. Padahal semangat e-money itu adalah transparansi sistem pembayaran,” imbuhnya.
Berbeda dengan e-money untuk kartu tol, kata Heri, harga belinya Rp 50.000 tapi hanya berisi Rp 30.000. Sisa yang Rp 15.000 setelah dipotong biaya administrasi, dengan asumsi sebesar, misalnya, Rp 5.000, belum diketahui kemana. Hal ini sangat merugikan dan memberatkan masyarakat. Jika, misalnya, menurut data BPS ada sekitar 16 juta unit kendaraan di Jakarta, dan lalu dalam satu bulan rata-rata 1 kali mengisi ulang, maka uang yang berhasil dikumpulkan sebesar = Rp1.500 x 16 juta = Rp24 miliar. Dalam satu tahun berarti = Rp12 miliar x 12 bulan = Rp288 miliar. Itu baru Jakarta, belum kota-kota lainnya.
“Harusnya pada konteks ini, BI bisa meminimalisir kerugian-kerugian tersebut lewat skema interkoneksi antar uang elektronik di semua pintu tol serta interkoneksi antar bank, baik BUMN atau swasta. Konsep interkoneksi antar uang elektronik antar bank tersebut maka mustinya biayanya jadi nil karena sistemnya makin efisien, dan keuntungan perputaran dana yang diperoleh perbankan,” saran dia.
Seharusnya, tambah Heri, dalam rangka mendukung cashless society, masyarakat diberi insentif. Sebab, dengan beli kartu baru e-money berarti masyarakat sudah menaruh uangnya di bank, maka wajar mereka dapat insentif. Insentif tersebut bisa berwujud gratisnya seluruh biaya, bebas pungutan apapun.
“BI mustinya melihat itu dalam proporsi yang objektif. Etos masyarakat beli kartu tersebut harusnya dikuatkan dengan perlindungan atas hak-hak mereka atas semua fasilitas e-money tanpa harus dipungut biaya sama sekali. Alasan penyediaan infrastruktur pembayaran elektronik jangan jadi tameng yang seolah-olah itu adalah tanggung jawab masyarakat,” ucapnya.
BI sebagai bank sentral, jelas Heri Gunawan, yang independen yang bertugas mengatur kebijakan sistem pembayaran harus berpihak ke masyarakat. Jangan bertindak seolah-olah menjadi Bank Komersil yang mencari untung. Sebab itu, BI musti meninjau ulang kebijakan top up tersebut dengan pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut: Pertama, kebijakan ini anti atau tidak sevisi dengan semangat cashless society yang gencar disosialisasikan oleh BI.
“Kedua, penggunaan uang elektronik tidak hanya untuk transaksi di tol yang hanya di kota-kota besar, tapi untuk semua jenis transaksi sehingga potensi dana masyarakat yang akan dikumpulkan oleh bank tanpa kejelasan akan lebih besar lagi,” tukasnya.
Ketiga, bank-bank yang menerbitkan uang elektronik mendapatkan dana murah dan bahkan gratis, karena uang elektronik tak berbunga. Hitungan kasar dari jumlah kartu elektronik yang beredar sebanyak 64 juta kartu dan setiap kartu diasumsikan terisi Rp50 ribu sudah terkumpul Rp3,2 triliun. Bukan masalah besar kecilnya, tapi esensinya uang yang mengendap di bank bisa diputar dan pemilik kartu elektronik tidak mendapat bunga.
“Keempat, jika uang elektronik hilang menjadi tanggung jawab pemilik, dan tidak seperti kartu debit yang hilang uangnya masih ada dan uang elektronik tidak dijamin oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS),” Heri menerangkan.
Kelima, lebih berat lagi PBI yang akan dikeluarkan ini sebenarnya lebih didorong oleh transaksi nontunai dalam pembayaran tol. Sementara dalam UU No.7 tahun 2011 tentang mata uang, mata uang yang berlaku di Indonesia adalah rupiah. Macam rupiah terdiri atas rupiah kertas dan rupiah logam. Boleh-boleh saja menggunakan uang elektronik tapi tentu juga perlu diberi alternatif pembayaran dengan uang kertas dan logam.
“Jika pada akhirnya aturan tersebut hanya akan merugikan dan memberatkan masyarakat, maka sebaiknya peraturan ini tidak dilanjutkan untuk menjadi PBI. Sebab, sangat diyakini akan mendapat kecaman dan gugatan dari masyarakat. Sekali lagi, itu hanya akan membuat kegaduhan baru di pemerintahan ini,” tutupnya.
Ahmad Zuhdi