Berjihad Melawan Trauma Inner Child

by
https://2.bp.blogspot.com

Di jendela tercinta ia duduk-duduk
bersama anaknya yang sedang beranjak dewasa.
Mereka ayun-ayunkan kaki, berbincang, bernyanyi
dan setiap mereka ayunkan kaki
tubuh kenangan serasa bergoyang ke kanan ke kiri.

Mereka memandang takjub ke seberang,
melihat bulan menggelinding di gigir tebing,
meluncur ke jeram sungai yang dalam, byuuurrr…

Sesaat mereka membisu.
Gigil malam mencengkeram bahu.
“Rasanya pernah kudengar suara byuurrr
dalam tidurmu yang pasrah, Bu.”
“Pasti hatimulah yang tercebur ke jeram hatiku,”
timpal si ibu sembari memungut sehelai angin
yang terselip di leher baju.

Di rumah itu mereka tinggal berdua.
Bertiga dengan waktu. Berempat dengan buku.
Berlima dengan televisi. Bersendiri dengan puisi.

“Suatu hari aku dan Ibu pasti tak bisa lagi bersama.”
“Tapi kita tak akan pernah berpisah, bukan?
Kita adalah cinta yang berjihad melawan trauma.”

Selepas tengah malam mereka pulang ke ranjang
dan membiarkan jendela tetap terbuka.
Siapa tahu bulan akan melompat ke dalam,
menerangi tidur mereka yang bersahaja
seperti doa yang tak banyak meminta.

‘Jendela’ karya Joko Pinurbo, 2010.

Wartapilihan.com, Jakarta –Puisi di atas menceritakan tentang seorang ibu dan anak yang sedang bercakap. Tanpa seorang sosok ayah. Anak memang terkesan sangat dekat dengan ibu, karena ibu yang mengandung, menyusui, hingga merawat sampai dewasa. Meski demikian, cerminan keluarga ideal Indonesia tetaplah seorang ibu, anak, dan tentunya sesosok ayah.

Pada suatu waktu, seorang perempuan muda mengacungkan tangannya. Ia bertanya kepada Ibu Elly Risman, tentang perubahan drastis perilaku anaknya yang berusia 16 tahun. Ia dulunya penurut, shalat 5 waktu, dan tekun mengaji. Begitu yang diceritakan Elly Risman pada akun Facebook-nya bernama Yayasan Kita dan Buah Hati, belum lama ini, Rabu, (13/9/2017).

Kasus lain, tutur Elly, kurang lebih sama. Ada seorang ibu yang super sibuk bekerja. Dia bertanya bagaimana agar bisa berdamai dengan ‘inner child-nya’ agar bisa menghadapi anaknya yang berusia 10 tahun itu. Ia bercucuran air mata, menceritakan anaknya yang telah berani membentak dan hendak memukul ayahnya.

Juga cerita lain yang dijabarkan Elly. Ia mengatakan, anak itu sudah sejak kelas 4 SD teradiksi berat dengan pornografi. Tetapi dia anak yang cerdas dan lulusan PT ternama. “Ayahnya menghilang tak tentu rimba. Dan dia sudah bertahun tahun tak pernah jumpa. Yang paling menyedihkan adalah terakhir ini dia sudah langsung menyampaikan kepada kami complain-nya terhadap Tuhannya. Ia berkeluh kesah mengapa Tuhan itu begini dan mengapa Tuhan itu begitu,” ungkap Elly pada Fanpage Yayasan Kita dan Buah Hati yang telah disukai 112.317 orang itu.

“Kekosongan jiwa anak dari Vitamin A (ayah) ini telah lama merupakan derita jiwa bagi saya. Tak tertanggungkan rasanya ketika menghadapi pertanyaan, keluhan para ibu di seminar, pelatihan, dan juga pengalaman langsung dengan ibu dan anak-anak di ruang-ruang praktek saya puluhan tahun lamanya,” ujar Elly prihatin.

Mengapa Ayah Begini?

Elly Risman mengatakan, akar penyebab ayah begini adalah karena trauma pada inner child. “Hal yang banyak saya dan teman-teman saya sesama psikolog di Yayasan Kita dan Buah Hati temukan adalah karena ayah juga umumnya dulu mengalami atau jadi korban dari pengasuhan yang kurang lebih sama (trauma inner child),”

Elly menjelaskan, bagaimana sikap dan tindakan yang dilakukan orangtua terhadap anak, umumnya tak bisa dilepaskan dari pengalaman masa lalu yang diterima setiap saat sehingga membentuk kebiasaan dan meninggalkan kenangan yang sangat kuat dalam ingatan kita. Orangtua mengulangnya secara otomatis dan tidak sengaja, hal itu disebut sebagai inner child.

Inner child menurut Asep Khairul Gani, adalah lazim ketika seseorang bereaksi secara otomatis atau tak sengaja, maka umumnya reaksi itu bukanlah merupakan hasil dari tingkah laku yang ditunjukkannya sebagai orang dewasa, tetapi “anak kecil” dalam dirinya yang sangat kuat pengaruhnya itu.

Adapun jenis-jenis ayah, Elly berusaha mengklasifikasikan, yakni (1) ayah yang diam tak banyak bicara, (2) ayah yang dingin tak pandai tunjukkan perasaan dan kehangatan, (3) ayah yang suka memukul, menampar, keras dan kasar, (4) ayah yang suka menyalahkan ibu (istri), dan (5) ayah yang super sibuk hingga tak ada waktu untuk istri dan anaknya.

Karena ayah berlaku demikian, dampaknya, anak merasa tertekan, sedih, kecewa, marah, terabaikan, dan berbagai emosi negatif lainnya. “Bayangkanlah kalau seorang anak menyimpan sebanyak atau mungkin lebih rasa negetif terhadap orang tua sendiri?” Tanya Elly.

Memutus Mata Rantai Emosi Negatif

Ketika perhatian dan kasih sayang tidak didapatkan oleh anak dari ayahnya, emosi negatif akan berkelibat di kepalanya. Apalagi, menurut direktur pelaksana di Yayasan Kita dan Buah Hati ini mengatakan, kalau dia sudah pandai membandingkan dengan teman-temannya yang terpenuhi haknya oleh ayahnya.

“Mula-mula dia bingung, kemudian tidak suka dengan keadaan dirinya, tidak suka sama ayahnya (berjuta rasa campur aduk tentang dan terhadap ayahnya, tak bisa diungkapkan), tidak suka sama aturan agama yang mengharuskan dia untuk tetap tunduk, patuh dan hormat pada ayahnya, padahal perasaannya semua negatif,” imbuhnya.

Sebelumnya sebagai orang dewasa patut untuk mewajarkan pandangan anak ini. Pasalnya, semua ini diungkapkan dari kaca mata anak yang umumnya ketika semua proses ini berlangsung, dimana otak anak  belum sempurna berhubungan.

“Selain proses tersebut, ada suatu proses kejiwaan lain yang terjadi yaitu konflik perasaan atau kontradiksi. Disatu pihak dia tak suka atau benci pada ayahnya tetapi di pihak lain sesungguhnya di lubuk jiwanya: dia rindu bahkan sangat mendambakan kasih sayang cinta dan perhatian dari ayahnya. Kasihan,” tandas Elly.

Maka itu, Elly sebagai psikolog berupaya melatih para ibu untuk bicara pada ayah dari anak-anaknya. “Mereka kami ajarkan kiat-kiat, lalu role play dalam pelatihan-pelatihan. Kemudian kami sosialisasikan teknik bicara yang lain,”

Waktu yang dipilih untuk bicara pun sebaiknya perhatikan situasi dan kondisinya, seperti (1.) Pilih waktu bicara, Menurut seorang ahli waktu yang paling tepat adalah setelah melakukan hubungan suami istri, sehingga keadaan relaks dan nyaman; (2.) Issue yang dibawa harus yang genting atau kritis (harus merumuskan dulu kegentingannya); (3.) Kalimat yang digunakan harus pendek dan sederhana tidak boleh lebih dari 15 kata.

“Biasanya kami berikan kesempatan praktek dalam seminar-seminar kami yang umumnya riuh rendah dengan gelak tawa,” kenang Elly.

Elly bersama tim Yayasan Kita dan Buah Hati mulai sosialisasikan di kota maupun desa tentang inner child ini, dimana emosi negatif harus dihapus; sedangkan emosi positif harus di-install.

“Kami ajak suami mengenal pola asuh dan pembesaran dirinya dan kemudian mengenali hal yang sama pada istrinya atau sebaliknya. Kemudian keduanya, karena Allah harus bekerja sama untuk menyembuhkan atau sekurang-kurangnya mengatasi bersama masalah mereka. Kalau tak selesai juga, berarti mereka berdua perlu mencari bantuan ahli,” Elly menegaskan.

“Supaya sejarah tak berulang marilah kita ubah pengasuhan anak lelaki kita mulai hari ini,” pungkasnya.

Eveline Ramadhini

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *