Wartapilihan.com, Depok – Pemerhati pendidikan kebencanaan, Ahmad Arif, menjelaskan pelatihan kesiapsiagaan bencana pada saat ini masih belum kurang digencarkan. Padahal, Indonesia merupakan negara rawan bencana, mulai dari gempa, gunung meletus dan juga tsunami. Menurutnya, hal itu terjadi disebabkan mitologi lokal mengenai kebencanaan sudah mulai dilupakan.
“Hari ini kita cenderung ahistoris dengan pengetahuan sendiri,” ujar Arif dengan kritis, di Auditorium Gedung Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia (13/3).
“Mitologi lokal cukup menarik untuk kita gali lagi. Jangan-jangan ada pengetahuan penting yang bisa kita turunkan ke anak cucu kita,” lanjutnya.
Salah satu peninggalan dari Nenek Moyang dalam sebuah bubut bertuliskan Arab Gundul: “Jika gempa dalam bulan Rajab, pada waktu subuh alamatnya segala isi negeri bersusah hati dengan kekurangan makanan. Jika pada waktu duha gempa itu, alamatnya air laut keras akan datang ke dalam negeri itu.”
Ia menjelaskan, Tsunami merupakan salah satu bencana yang masih baru dan banyak korban ketika di Aceh pada kejadian dua belas tahun lalu. Dalam istilah lokal, Tsunami diterjemahkan sebagai smong, galoro, ie beuna, bahkan disebut berasal dari kemarahan Ratu Kidul.
“Mitologi (mengenai) gempa banyak sekali. Di Jepang namanya Namazu, ikan lele. Itu kepercayaan mereka sebelum restorasi meiji,” katanya.
“Di Sumatra Barat dan Jawa Barat juga ada mengenai lembu yang hidup di bawah bumi bergerak-gerak. Menarasikan mengenai lembu besar hidup di bawah tanah,” papar Arif.
Pada 12 April 2012, kejadian gempa di Aceh menjadikan penduduk mengalami kepanikan, kemacetan dan kecelakaan. Sedangkan sistem sirene tsunami juga macet, hingga tidak bisa bekerja dengan efektif. Hal yang kurang lebih sama terjadi pada gempa 2 Maret 2016, meski infrastruktur sudah semakin diperbaiki.
“Jika tsunami terjadi, korban diperkirakan akan semakin tinggi. Hal ini terjadi disebabkan oleh kurangnya pengetahuan mengenai kesiapsiagaan bencana,” ujar Arif.
Ketua Program Pendidikan Sosiologi, Dr. Nadia Yovani menjelaskan kajian mengenai kebencanaan masih sangat minim, khususnya dari perspektif sosial dan humaniora.
“Saya harus mengakui bahwa kajian kebencanaan masih sangat rendah. Padahal sejak tahun 2009, Dikti (Pendidikan Tinggi) sudah menawarkan hibah bagi kebencanaan,” ujarnya.
Ia berharap agar para akademisi bisa melihat kembali bencana dari latarbelakang pendidikannya masing-masing.
Seminar yang diadakan Departemen Sosiologi Universitas Indonesia bekerjasama dengan Asia Center Japan Foundation ini bertajuk “Seminar Pendidikan Siaga Bencana dengan Metode Kamishibai” yang dilaksanakan sejak pukul 13.00 sampai 16.00 WIB sore ini.
Reporter: Eveline Ramadhini