BELAJAR DARI KASUS ZARA DAN FAKHIR

by

Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)

            Dalam beberapa waktu belakangan, masyarakat muslim Indonesia disuguhi berita tentang anak seorang mantan gubernur yang mengumumkan pelepasan jilbabnya. Di sejumlah media ditampilkan foto sang anak tanpa kerudung dengan memamerkan rambutnya dengan warna tertentu. Kita yakin, ini ujian bagi kedua orang tuanya. Juga bagi umat Islam.

Kabarnya, sang anak melakukan tersebut – melepas kerudungnya – setelah berdiskusi panjang dengan orang tuanya, khususnya ibunya. Seperti ibu dan ayahnya, sang anak merupakan anak pintar. Allah memberi karunia kepadanya berbagai nikmat yang diidamkan banyak orang: kecerdasan, fisik yang baik, keluarga yang baik dan berkecukupan. Jarang sekali anak mendapat nikmat seperti ini.

Sang anak yang biasa dipanggil Zara itu juga kuliah di kampus terpandang: Institut Teknologi Bandung (ITB). Ia kelahiran 17 Agustus 2004 di Bandung, Jawa Barat.  Sebelumnya, ia tamat dari SMAN 3 Bandung tahun 2021 – salah satu SMA yang dianggap “top” di Kota Bandung. Kabarnya, ia sedang kuliah arsitektur di Newcastle University, Inggris.

Ada kabar pula bahwa sang anak melakukan aksi melepas kerudungnya itu setelah buku Sapiens: Sejarah Singkat Umat Manusia (2014) karya Yuval Noah Harari. Tentu saja ini berita yang perlu diklarifikasi lebih lanjut. Sebab, banyak yang membaca buku karya ilmuwan Yahudi itu dan tidak terpengaruh oleh isinya. Bahkan, bisa mengkritisinya.

Salah satunya adalah seorang santri Pesantren At-Taqwa Depok bernama Muhammad Fakhir Mumtaz. Tahun 2023, di usinya yang masih 16 tahun, Fakhir menulis makalah dengan judul: “Kritik terhadap Pemikiran Yuval Noah Harari tentang Konsep Manusia”.  Fakhir adalah santri Pesantren Pemikiran dan Peradaban Islam (PRISTAC/Pesantren for the Study of Islamic Thought and Civilization), setingkat SMA. Secara formal, Fakhir duduk di kelas 1 SMA.

Kasus ZARA patut menjadi pelajaran bagi kita semua. Kasus ini ujian bagi dirinya dan juga bagi keluarganya.  Kita doakan semoga ia segera mendapat pencerahan pemikiran agar memahami dengan benar hakikat Tuhannya, dirinya,  dan juga makna serta tujuan hidupnya. Masalah jilbab adalah turunan dari cara pandangnya terhadap Tuhannya. Inilah yang disebut sebagai worldview (pandangan alam).

Secara fisik, kerudung yang menutupi kepala perempuan memang hanya sekedar selembar kain. Tapi, bagi seorang mukminah, kerudung adalah simbol ketaatan kepada Tuhannya. Dan taat kepada Allah SWT adalah sumber kebahagiaan dan ketenangan hidup. Jadi, berkerudung sebagai manifestasi ibadah tidak sama nilainya dengan berkerudung karena tuntutan syuting sinetron.

Memang saat ini begitu banyak kita saksikan orang berkerudung tetapi perilakunya kurang mencerminkan aqidah dan akhlak Islam. Ini berbeda dengan tahun 1980-an, saat awal-awal pelajar muslimah di sekolah-sekolah umum berkerudung. Mereka harus rela diusir dari sekolah bahkan dikeluarkan dari sekolah hanya karena mengenakan kerudung.

Saya pernah bertemu dengan seorang muslimah yang dokter dan sekaligus perwira menengah di TNI. Ia mengenakan kerudung saat bertugas di Rumah Sakit TNI. Tetapi, ia terpaksa melepas kerudungnya jika masuk ke kesatuannya. Ketika itu, bersama sejumlah temannya, ia berjuang untuk mendapatkan hak berkerudung. Alhamdulillah, perjuangan mereka akhirnya berhasil.

Kini, kerudung sudah menjadi hal biasa. Bahkan, menjadi salah satu tren busana di kalangan muslimah.  Dengan mudahnya kini kita melihat pejabat tinggi, perwira TNI dan polisi, serta kalangan selebritis yang mengenakan kerudung. Di sejumlah perguruan tinggi, mahasiswi berkerudung sudah menjadi hal yang sangat lumrah.

Kasus yang menimpa Zara ini adalah soal pemikiran. Cara berpikir seseorang mempengaruhi perilakunya. Karena itulah, kita doakan Zara akan menemukan cara berpikir Islami yang mendorong dirinya untuk tunduk dan patuh kepada Allah. InsyaAllah, ia akan berjilbab dengan kesadaran penuh akan makna jilbab sebagai wujud ketundukan kepada Tuhan.

Kasus Zara itu menunjukkan pentingnya seorang muslim memiliki worldview yang benar. Seorang berislam karena ilmu, bukan karena ikut-ikutan. Bukan hanya ilmu tentang hal-hal yang baik, tetapi wajib berilmu juga tentang hal-hal yang bisa merusak iman dan akhlaknya. Apalagi jika seorang bersentuhan langsung dengan paham-paham liberalisme yang merusak iman dan akhlaknya.

Penanaman fondasi pemikiran yang kuat itulah yang dijalani oleh Fakhir dan para santri PRISTAC di Pesantren At-Taqwa Depok. Sejak lulus SD, mereka sudah mendapatkan dasar-dasar keilmuan dan adab atau akhlak mulia yang kuat di pesantren. (Lihat: https://attaqwa.id/artikel/baca/sebelum-kasus-zara-mencuat-santri-umur-16-tahun-ini-sudah-menulis-makalah-yang-mengkritik-buku-sapiens).

Sejak lima tahun lalu, para santri PRISTAC sudah menghasilkan lebih dari 100 makalah ilmiah tiap tahunnya yang ditulis oleh para santri berusia kisaran 15-18 tahun. Makalah-makalah tersebut merupakan hasil renungan, diskusi dengan guru, dan dialog dengan persoalan umat Islam dan masyarakat kontemporer.

Jadi, beginilah pentingnya para santri, pelajar, dan anak-anak muslim dibekali dengan pemikiran Islam yang kuat, sekaligus dibekali dengan kemampuan analisis kritis terhadap pemikiran-pemikiran kontemporer. InsyaAllah hal itu akan menjadi bekal yang bermanfaat ketika anak-anak bersentuhan langsung dengan pemikiran-pemikiran sekuler-liberal yang merusak iman dan akhlak.

Kita dan anak-anak kita sedang menjalani ujian iman yang berat berupa hegemoni pemikiran sekuler-liberal yang mendorong seseorang untuk lepas dari agamanya dan membangkang kepada Tuhannya. Semoga Allah SWT menjaga diri dan keluarga kita, agar selamat dunia akhirat. Amin. (Depok, 16 April 2024).

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *