Banyak Pemuda Rohingya Terjebak Perdagangan Obat Terlarang di Bangladesh

by
Pengungsi Muslim Rohingya, Sanmaraz, yang suaminya di penjara atas tuduhan membawa ya ba menggambarkan kisahnya kepada Reuters dalam kamarnya di Leda, kamp pengungsian yang tidak terdaftar, di Teknaf, Bangladesh, 15 Februari 2017. Foto : REUTERS / Mohammad Ponir Hossain

Wartapilihan.com, Bangladesh – Pengungsi Muslim Rohingya, Ali Hasan, putus asa mencari pengantin untuk anak laki-lakinya yang berusia 14 tahun. Anak laki-lakinya itu dipenjara tahun lalu di Bangladesh karena membawa obat terlarang “ba ya”. Ali Hasan berharap, keluarga calon pengantin wanita akan membayar 620 dollar yang dibutuhkan untuk jaminan Mohammed Hasan sebagai mahar.

Polisi menangkap Mohammed beserta 5.000 pil ba ya, metamfetamin yang dikenal luas di Asia, Juni tahun lalu. Kakaknya, Izzat Ali, ditangkap beberapa bulan kemudian beserta 200 pil sehingga ia dikirim ke penjara.

Pemerintah Bangladesh mengatakan, masuknya Rohingya yang melarikan diri dari mayoritas Buddha Myanmar menyebabkan melonjak penggunaan metamfetamin di kota-kota. Namun, banyak penduduk Rohingya mengatakan, pemuda mereka sedang didorong ke kejahatan karena mereka tidak dapat secara legal mendapat pekerjaan dan memiliki akses yang terbatas.

Ali Hasan melarikan diri dari Myanmar tiga dekade lalu dan anak-anaknya dibesarkan di sebuah kamp resmi di Leda, 15 menit berkendara dari sungai Naf yang memisahkan Bangladesh dan Myanmar.

Hal ini tidak biasa bagi sebuah keluarga Rohingya untuk mengatur pernikahan saat pasangan baru saja memasuki masa remaja. Pria berumur 60 tahun ini tidak berpikir bahwa Mohammed ada di penjara menunggu persidangan yang malah akan menjadi masalah.

“Kami sedang mencari pengantin untuknya sehingga mereka dapat membayar mahar di muka,” katanya. “Orang-orang tahu bahwa ia (anaknya) ingin menikah dan ia tidak punya niat yang salah, jadi saya tidak berpikir mendapatkan pengantin akan sulit.”

Muslim Rohingya telah melarikan diri kondisi apartheid yang terjadi di di barat laut Myanmar. Mereka ditolak kewarganegaraan, sejak awal 1990-an, dan sekarang ada lebih dari 200.000 di Bangladesh. Lebih dari 70.000 Muslim Rohingya telah melintasi perbatasan sejak Oktober, melarikan diri dari tindakan keras militer.

Kebencian Penduduk Lokal

Konsumsi ba ya, Thailand menyebutnya “obat gila”, merebak di Bangladesh. Melonjak lebih dari 2.500 persen menjadi 29,4 juta pil tahun lalu dibandingkan dengan tahun 2011. Dikatakan bahwa bisnis barang haram ini bernilai sekitar 3 juta dollar per tahun.

Polisi dan pejabat pemerintah mengatakan, pengungsi Rohingya yang tidak dapat dengan mudah ditelusuri menjadi kurir dan “alat” yang disukai para pedagang.

Pihak berwenang menjadikan keterlibatan Rohingya dalam kasus ini sebagai alasan untuk merencanakan pemindahan ribuan pengungsi dari kamp-kamp perbatasan ke sebuah pulau yang belum dikembangkan di Teluk Benggala.

“Penduduk lokal, pemimpin lokal tidak suka tentang masuknya (pengungsi) ini,” kata H.T. Imam, penasihat politik Perdana Menteri Sheikh Hasina, di Dhaka. “Mereka menggantikan buruh dengan meremehkan penduduk setempat. Perdagangan ba ya terus berkembang karena mereka (Rohingya).”

H.T. Imam tidak memberikan data tentang keterlibatan para pengungsi dalam perdagangan narkoba.

Warga Cox Bazar, distrik pesisir tetangga Myanmar tempat sebagian besar pengungsi hidup, kini mengadakan pertemuan umum dan unjuk rasa untuk mendukung rencana relokasi pengungsi.

Sanmaraz, seorang wanita Rohingya berusia 35 tahun yang tinggal di Leda, tiba dari Myanmar dua dekade lalu. Suaminya, Amanullah, kini dipenjara atas tuduhan membawa ba ya. Ia mengatakan bahwa suaminya telah “diperalat” oleh penduduk desa setempat.

“Bangladesh telah memberi kami tempat tinggal, tetapi orang-orang lokal tidak ingin kami di sini,” katanya. “Mereka ingin menyakiti kami, mereka ingin kami pergi.”

Hanya 34.000 pengungsi yang tinggal di dua kamp resmi yang memenuhi syarat untuk bantuan internasional. Di tempat-tempat seperti pemukiman Leda yang tidak terdaftar untuk pengungsi Rohingya, tempat Ali Hasan dan Sanmaraz keduanya tinggal, hanya ada sedikit sarana pendukung.

Akibatnya, mereka banyak berakhir bekerja sebagai pembawa obat, sementara beberapa wanita terpikat ke dalam perdagangan seks, kata Afruzul Haque Tutul, seorang perwira senior polisi di Cox Bazar.

Rukina Begum (35) mengatakan, ia dibujuk untuk bergabung bersama wanita Rohingya lain untuk membawa 1.000 pil ba ya di bus dengan janji anaknya yang berumur 11 tahun akan mendapatkan pekerjaan.

“Kalau saja saya punya uang, saya tidak akan pernah mengirim anak saya untuk bekerja, dan ini tidak akan terjadi,” kata Begum yang keluar dari penjara dengan jaminan setelah menghabiskan delapan bulan penjara.

Bangladesh menegaskan bahwa Rohingya, meskipun tidak berdokumen, adalah warga negara Myanmar dan akhirnya harus kembali.

“Kita tidak bisa membiarkan warga Myanmar untuk bekerja di sini,” kata Imam, penasihat perdana menteri. “Ada beberapa komite lokal di bawah pemerintah kabupaten untuk memberikan bantuan kepada mereka.”

Melonjaknya Permintaan Ba Ya

Seorang pemuda berusia 19 tahun mengenakan kaus biru dan longyi mengambil pesanan ba ya dari dua pelanggan duduk di atas tikar.

Pemuda yang melarikan diri ke Bangladesh tiga tahun lalu mengatakan, ia membeli 20—50 pil ba ya dari seorang warga setempat setiap hari setelah sebelumnya mencicipi satu atau dua pil untuk memastikan kualitasnya.

Bangladesh mengkonsumsi rata-rata 2 juta pil seperti sehari, menurut perkiraan dua pejabat di Departemen Narcotics Control (DNC) di Dhaka.

Setiap pil seharga sekitar 300 taka (3,75 dollar). Pil yang sama dapat dibeli untuk sekitar 60 taka di Cox’s Bazar. Seorang kurir Rohingya bisa mendapatkan 10.000 taka untuk mengangkut 5.000 pil menuju Dhaka dan kota-kota lainnya, kata para pejabat.

“Data kami menunjukkan bahwa sebagian besar dilakukan oleh orang Rohingya,” kata perwira polisi Tutul, tetapi menolak merincikan datanya.

Sebuah pengadilan DNC telah menghukum 15 pengungsi dalam enam bulan terakhir. Namun, kurir Rohingya hanya sekrup kecil dalam rantai pasokan ba ya.

Dari diabaikan penjualan ba ya beberapa tahun yang lalu, Bangladesh telah menjadi pasar yang besar bagi para pedagang memasok obat dari pabrik-pabrik di daerah yang tak patuh hukum di timur laut Myanmar, menurut Jeremy Douglas, perwakilan regional dari Kantor PBB untuk Narkoba dan Kejahatan.

“Semua berkembang sangat, sangat cepat,” katanya. “Namun itu jauh lebih besar di Myanmar. Permintaan dalam negeri dengan hati-hati dibudidayakan dan dikembangkan oleh kelompok-kelompok kejahatan terorganisasi. Mereka telah memperjualbelikan di dalam negeri dan mereka telah dengan sangat cepat, termasuk ke Bangladesh.” Demikian diberitakan Reuters (28/2). |

Reporter : Moedja Adzim

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *