Oleh: Dr. Adian Husaini, M.Si.
(Direktur at-Taqwa College/ Ketua Program Doktor Pendidikan Islam Universitas Ibn Khaldun Bogor)
Tokoh pendidikan Ki Hajar Dewantara pernah mencitakan pondok pesantren sebagai model pendidikan nasional. Sebab, di pesantren itulah, terjadi proses pendidikan yang sebenarnya. “Di situ karena guru dan murid tiap-tiap hari, siang malam berkumpul jadi satu, maka pengajaran dengan sendiri selalu berhubungan dengan pendidikan,” tulis Ki Hajar Dewantara.
Wartapilihan.com, Depok— Menurut Ki Hajar, inti sari pendidikan adalah sebagai proses penanaman adab dan kesusilaan. Ia mengkritik tajam pendidikan model Barat yang hanya menekankan pada aspek intelektualitas. Ia menekankan, “Mendidik berarti menuntun tumbuhnya budi pekerti dalam hidup anak-anak kita, supaya mereka kelak menjadi manusia berpribadi yang beradab dan bersusila.” (Lihat, buku Ki Hajar Dewantara: Pemikiran, Konsepsi, Keteladanan, dan Sikap Merdeka (I, Pendidikan), Majelis Luhur Persatuan Tamansiswa, Yogyakarta: Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa, 2013, cetakan kelima, hlm. 370-371).
Pentingnya penanaman adab dan akhlak dalam proses pendidikan inilah yang juga telah ditekankan para ulama dan tokoh-tokoh pendidikan Islam di Indonesia. Selain KH Hasyim Asy’ari dan KH Ahmad Dahlan, tokoh Persatuan Islam (Persis), A. Hassan pun, sangat menekankan adab guru-murid dalam pendidikannya. Ia menulis buku berjudul ”Kesopanan Tinggi”, dan juga diktat berjudul ”Hai Poetrakoe!” (tahun 1946). Ulama dan pujangga besar, Raja Ali Haji menggubah pentingnya masalah adab dan akhlak ini dalam Gurindam 12.
Karena itu, tidaklah aneh, jika bangsa Indonesia kemudian merumuskan bahwa tujuan utama Pendidikan Nasional, adalah membentuk manusia yang beriman, bertaqwa, dan berakhlak mulia (Pasal 31, ayat c, UUD 1945). Dan salah satu lembaga pendidikan yang tepat untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional itu adalah Pondok Pesantren.
Tapi, entah mengapa, hingga kini, cita-cita mulia untuk menjadikan Pondok Pesantren sebagai model pendidikan nasional itu belum terwujud. Padahal, Pondok Pesantren adalah lembaga pendidikan Islam yang sudah eksis, ratusan tahun sebelum datangnya penjajah Barat yang kemudian mengenalkan bentuk sekolah dan universitas sekuler.
Hingga kini puluhan ribu pesantren tetap eksis dan berperan penting dalam proses pendidikan di Indonesia. Hampir semua pesantren itu merupakan lembaga pendidikan mandiri yang tidak bergantung kepada pemerintah.
Menurut saya, lembaga Pendidikan Pondok Pesantren memiliki ciri-ciri khas yang sudah menyejarah. Diantaranya adalah: (1) Ada keteladanan kyai dan para astad (2) ada pengkajian ilmu agama secara mendalam (tafaqquh fid-din) (3) ada penanaman adab dan akhlak mulia (4) ada penanaman jiwa dakwah dan cinta tanah air (5) ada pengkajian pemikiran kontemporer (6) ada pembentukan jiwa mandiri.
At-Taqwa College
Seperti disebutkan sebelumnya, di era disrupsi – dimana model pendidikan online semakin marak – pesantren memiliki peluang besar untuk mewujudkan suatu model Perguruan Tinggi ideal berbentuk Pesantren Tinggi. Dan At-Taqwa College (ATCO) adalah salah satu contoh Pesantren Tinggi yang memanfaatkan peluang pendidikan di era disrupsi tersebut.
Di era disrupsi dan globalisasi nilai-nilai sekuler-materialis saat ini, memang diperlukan bentuk lembaga pendidikan tinggi berbasis pesantren seperti at-Taqwa College. Mengapa? Sebab, di ATCO, mahasiswa/mahasantri dididik dengan konsep pendidikan berbasis adab. Proses penanaman adab atau akhlak mulia ini tidak bisa digantikan sepenuhnya oleh sistem kuliah online. Jadi, di era disrupsi, kehadiran ATCO dan perguruan tinggi sejenisnya, memang tepat dan perlu.
Penting untuk ditekankan lagi, bahwa bahwa dalam pendidikan tinggi, adab dan akhlak mulia sepatutnya lebih didahulukan daripada ilmu, agar lulusannya tidak menjadi penjahat yang berilmu. Inilah konsep baku pendidikan yang pernah dirumuskan oleh Umar bin Khathab r.a.: “taaddabū tsumma ta’allamū.” (beradablah kalian, kemudian berilmulah kalian).
Karena pimpinan dan mahasiswa tinggal di pesantren, maka proses penanaman nilai-nilai adab dan akhlak mulia dapat berjalan lebih intensif. Masalah adab dan akhlak ini jangan dianggap remeh, karena justru inilah aspek terpenting dalam pendidikan. Jika adab sudah tertanam, maka penguasaan ilmu akan mudah diraih. Sebab, salah satu adab penting adalah adab dalam mencintai dan menghargai ilmu. Manusia beradab akan mengejar ilmu-ilmu yang bermanfaat dengan sungguh-sungguh.
Juga, di ATCO, mahasiswa dibekali dengan ilmu-ilmu fardhu ain dan fardhu kifayah secara proporsional. Mereka dibekali dengan pemikiran Islam yang benar, sekaligus kemampuan menangkal dan mengkoreksi pemikiran-pemikiran kontemporer yang merusak iman dan akhlak mulia. Karena itulah, selain mendapatkan mata kuliah Islamic Worldview, filsafat ilmu, dan beberapa bidang ulumuddin, mahasiswa juga dibekali mata kuliah tentang pemikiran-pemikiran kontemporer.
Untuk kesiapan menghadapi era disrupsi, mahasiswa dibekali dengan ilmu dan keahlian yang diperlukan, khususnya dua kompetensi unggulan, yaitu Teknologi Informasi dan jurnalistik. Ditambah lagi dengan ilmu kewirausahaan dan keahlian mendidik (menjadi guru). Dengan itu, soft skill para mahasiswa lebih mudah diinternalisasikan.
Maka, insyaAllah, lulusan ATCO akan mampu menjaga keimanan dan akhlaknya dalam menghadapi tantangan globalisasi. Lebih daripada itu, mereka mampu menjadi pelanjut perjuangan para Nabi, menjadi para pemimpin atau teladan yang baik dalam berbagai bidang kehidupan.
Prof. Dr. Wan Mohd Nor Wan Daud, pakar pemikiran Islam internasional, memiliki harapan besar terhadap at-Taqwa College: “InsyaAllah at-Taqwa College will continue the great and integrated tradition of Islamic education especially the independent spirit of Imam Zarkasyi at Gontor and the comprehensive intellectual, ethical and civilizational vision of Prof SMN al-Attas at ISTAC! It deserves our whole-hearted support.”
Setelah mendapat penjelasan tentang at-Taqwa College, pakar pendidikan dari UPI Bandung, Prof. Dr. Nanang Fattah menuliskan catatannya: “Alhamdulillah At Taqwa College mempunyai misi strategis menyiapkan generasi yang berpribadi muslim, berdaya saing global, menjunjung tinggi nilai-nilai profesionalisme, InsyaAllah.”
Sesuai konsep ilmu dalam Islam, ATCO menekankan keikhlasan dan kesungguhan dalam mencari ilmu. Karena itu, ATCO lebih memilih pendidikan bersifat non formal, dan tidak memberikan gelar akademik. Yang bersedia masuk ke ATCO adalah orang-orang yang ikhlas dan bersungguh-sungguh dalam meraih ilmu, agar mendapatkan ilmu yang bermanfaat.
Sebab, di era disrupsi, semakin terbuka luas peluang untuk meraih gelar akademik sarjana S-1, dengan mengambil kuliah secara online. Selain lebih murah, juga lebih mudah. Juga, di era disrupsi, faktor gelar akademik sudah tidak menentukan segalanya. Kompetensi lebih diutamakan, ketimbang legalitas formal. Bukan berarti, legalitas formal harus dibuang.
Dalam wawancara dengan Majalah kampusnya, dosen Fakultas Teknik dan Informatika Universitas Widyatama, Hargyo Tri Nughoho Ignatius, mengatakan bahwa di era disrupsi, peran perguruan tinggi adalah sebagai pencetak sumber daya manusia terampil. “Namun tentu saja ragam keterampilan yang dibutuhkan oleh Industri 4.0 tak lagi sama dengan sebelumnya. Pada era canggih ini manusia dan mesin pintar akan berdampingan di tempat kerja,” ujarnya.
Implikasinya bukan hanya pada bisnis, namun pada masyarakat pada skala yang lebih luas. Ada pernyataan menarik yang dilontarkan Jack Ma (pendiri Alibaba) di World Economic Forum 2018. Jack Ma mengatakan bahwa pendidikan harus berubah. “Jika tidak, maka 30 tahun lagi kita akan menghadapi masalah. Everything we teach should be different from machines – semua yang kita ajarkan harus membuat manusia berbeda dari mesin,” kata Hargyo, mengutip Jack Ma.
Lalu apa yang membuat manusia berbeda dan tetap lebih baik dari mesin? Jack Ma mengatakan bahwa yang membuat manusia berbeda dari mesin adalah nilai-nilai (values), mempercayai sesuatu (believing), berpikir secara independen (independent thinking), kerjasama (teamwork), dan peduli terhadap sesama (care for others).
Jack Ma juga menambahkan beberapa hal lainnya seperti olah raga, musik, seni, dan melukis. Pendapat Jack Ma senada dengan laporan berjudul Workforce For The Future oleh PwC. Hasil survei PwC terhadap banyak CEO di China, UK, US, dan India, menyatakan bahwa keterampilan yang membedakan manusia dengan mesin dan akan dicari pada tahun 2030 adalah kemampuan menyelesaikan masalah (problem-solving), kemampuan adaptasi (adaptability), kolaborasi (collaboration), kepemimpinan (leadership), kreatifitas dan inovasi (creativity and innovation).
Jadi, kata Hargyo, sangat jelas bahwa baik Jack Ma maupun hasil survei PwC memandang softskill menjadi suatu hal yang perlu dilatih oleh setiap institusi perguruan tinggi khususnya dalam menghadapi era revolusi industri 4.0. Menyikapi fenomena ini, maka seorang dosen perlu kembali menilik perannya sebagai pendidik, bukan hanya sebagai pengajar. Sebagai pendidik, dosen perlu mengupayakan agar pendidikan softskill yang membuat manusia berbeda dengan mesin tercermin pada kegiatan pembelajaran yang dilakukan. (http://komunita.widyatama.ac.id/haruskah-pendidikan-tinggi-berdamai-dengan-era-disruptif-revolusi-industri-4-0/).
Pendapat dosen Universitas Widyatama itu sejalan dengan berbagai pendapat pakar lainnya, yang telah dibahas pada bagian sebelumnya. Dan ini semakin memperkuat dasar pemikiran berdirinya lembaga pendidikan tinggi berbentuk pesantren Tinggi seperti ATCO.
Jadi, ATCO bukan sekedar pelengkap kuliah di Pendidikan Tinggi formal. ATCO adalah lembaga pendidikan tinggi yang dirancang serius untuk melahirkan lulusan-lulusan yang memiliki jiwa pejuang penegak kebenaran, dengan LIMA kompetensi unggulan, yaitu: (1) adab dan akhlak mulia, (2) bahasa Inggris dan Arab (3) Pemikiran Islam, (4) Teknologi Informasi, dan (5) Komunikasi lisan dan tulisan. Ini sejalan dengan tuntutan dan tujuan pendidikan Islam serta kebutuhan masyarakat zaman kini.
Kelanjutan PRISTAC
Pesantren at-Taqwa Depok kini menaungi TIGA jenjang lembaga pendidikan, yaitu: (a) Pesantren Shoul Lin al-Islami (Setingkat SMP), (b) Pesantren for the Study of Islamic Thought and Civilization (PRISTAC/Setingkat SMA), dan (c) At Taqwa College atau Pesantren Tinggi at-Taqwa (Setingkat S-1). Semuanya berbentuk non-formal.
Secara umum, pendidikan di Ponpes at-Taqwa Depok bertujuan untuk membentuk manusia yang beradab dan berilmu. Yakni, manusia beradab jiwa dan raga. Yakni, manusia-manusia yang baik, yang berjiwa pejuang, dan bermanfaat secara optimal bagi sesama manusia. Tujuan ini sesuai dengan prinsip pendidikan Islam, UUD 1945 pasal 31 (c), UU Sisdiknas No 20/2003, dan UU Perguruan Tinggi No 12/2012, yang menekankan tujuan pendidikan untuk membentuk manusia beriman, bertaqwa, dan berakhlak mulia.
Target- target kompetensi utama yang ditetapkan pada tiap jenjang adalah sebagai berikut: (a) Untuk tingkat SMP atau Shoul Lin al-Islami, standar kelulusan atau kompetensi utama lulusannya adalah tercapainya KEDEWASAAN. Sebab, usia sekitar 14-15 tahun adalah usia dewasa. Jadi, pendidikan di tingkat ini harus menyiapkan anak-anak menjadi orang dewasa pada saat ia harus sudah dewasa. Ketika itu mereka sudah akil baligh dan sudah mukallaf. Artinya, mereka sudah terkena kewajiban agama. Jadi, mereka harus tahu mana iman dan kufur, mana halal dan haram, mana ibadah yang diwajibkan, dan juga tahu mana akhlak mulia dan akhlak tercela.
Sekedar gambaran, Ki Hajar Dewantara menetapkan empat jenjang pendidikan di Taman Siswa, yaitu: Taman Indria, Taman Muda, Taman Dewasa, dan Taman Pamong (Taman Guru). Taman dewasa adalah pendidikan untuk anak berumur 14-16 tahun. Karena itulah, pendidikan harus mendidik anak-anak agar siap menjadi dewasa pada saat umurnya mencapai usia dewasa (akil baligh).
Untuk tingkat SMA atau PRISTAC, para santri disiapkan menuju KEMANDIRIAN. Sebab, pada usia sekitar 17-18 tahun, mereka sudah harus siap terjun ke masyarakat; apakah mereka akan bekerja, berumah tangga, atau melanjutkan ke Perguruan Tinggi. Karena tantangan terberat saat ini datang dari peradaban sekuler-materialis, maka pada jenjang ini ditekankan kemampuan berbahasa Inggris dan memahami tantangan pemikiran kontemporer. Kemampuan komunikasi, baik lisan maupun tulisan pun sangat diutamakan.
Sementara itu, pada jenjang Pendidikan Tinggi (At Taqwa College), maka yang disiapkan adalah KEUNGGULAN. Para mahasantri/mahasiswa dimatangkan penguasaannya terhadap pemikiran Islam dan tantangan modern, juga dimatangkan kemampuannya dalam hal komunikasi lisan dan tulisan (jurnalistik), serta penguasaan teknologi informasi, sehingga mereka memiliki keunggulan yang diperlukan untuk berkiprah di tengah masyarakat atau dalam dunia kampus lainnya.
Jadi, singkatnya, pada tiga jenjang pendidikan di Pesantren at-Taqwa Depok, tiga target utama kompetensi lulusan yang ditekankan adalah: KEDEWASAAN, KEMANDIRIAN, DAN KEUNGGULAN!
Pendidikan di Pesantren at-Taqwa Depok bersifat non-formal, dengan tetap memberi kesempatan kepada para santri untuk mengambil ijazah pendidikan formal pada lembaga PKBM atau mengambil gelar akademik di universitas formal. Bentuk non-formal ini dipilih berdasarkan pertimbangan untuk lebih mudah menjaga keikhlasan niat dalam mencari ilmu. Juga, untuk menerapkan prinsip fleksibilitas serta efektivitas jalannya pendidikan. Ditambah lagi, saat ini telah masuk era DISRUPSI yang ditandai dengan begitu pesatnya perkembangan teknologi informasi.
Mengapa Pesantren at-Taqwa menekankan kemampuan berbahasa Inggris pada jenjang PRISTAC dan ATCO? Sebab, pada intinya, pesantren at-Taqwa menyiapkan para santri untuk memiliki kemampuan komunikasi yang baik dalam bahasa Indonesia, karena tugas dan tanggung jawab mereka yang utama adalah berdakwah di Indonesia. Ingat, jumlah umat Islam Indonesia saat ini sudah lebih dari 200 juta jiwa. Tetapi, bahasa Inggris harus mereka kuasai juga karena merupakan bahasa komunikasi internasional, dan banyak sumber-sumber informasi penting dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan saat ini tersedia dalam bahasa Inggris. Begitu juga bahasa Arab merupakan bahasa wajib bagi setiap muslim. Setidaknya para santri diharapkan dapat mengakses literatur berbahasa Arab.
Pengenalan akan hakikat peradaban dan pemikiran Barat modern sangat penting bagi para santri, agar mereka mampu bersikap secara kritis dalam menerima informasi atau ilmu pengetahuan yang disebarkan dan dikonseptualkan oleh Barat. Sebab, hampir tidak ada satu aspek kehidupan yang tidak didominasi atau setidaknya terpengaruh oleh pemikiran dan kebudayaan Barat.
Seperti disebutkan, Prof. Naquib al-Attas sudah mengingatkan saat Konferensi Pendidikan Islam Internasional pertama (1977) di Kota Mekkah, bahwa tantangan terberat yang dihadapi umat Islam saat ini adalah tantangan ilmu – yakni ilmu-ilmu sekuler yang datang dari Barat dan menjauhkan manusia dari Tujuan Pendidikan, menjadi manusia beriman, bertaqwa, dan berakhlak mulia, atau manusia yang beradab.
Jika ditanyakan, mengapa Pesantren at-Taqwa Depok tidak mengambil bentuk Pesantren Tahfidz, maka perlu dijelaskan, bahwa kini telah banyak pondok dan rumah-rumah tahfizh yang didirikan. Itu adalah kemajuan dakwah yang sangat besar. Menghafal Al-Qur’an 30 juz hukumnya fardhu kifayah. Pesantren Attaqwa Depok memang bukan pesantren tahfizh, tetapi ada pelajaran tahfizh. Santri diarahkan menghafal sesuai kemampuannya. Tetapi, santri tidak diwajibkan menghafal 30 juz. Kecuali yang memang memiliki kemampuan.
Jadi, sesuai dengan konsep pendidikan Islam untuk mendahulukan adab dan ilmu-ilmu yang fardhu ‘ain, Pesantren at-Taqwa berusaha menanamkan adab terlebih dahulu dan penguasaan ilmu-ilmu fardhu ain, sebelum yang lain. Termasuk dalam hal yang wajib adalah pemahaman terhadap kekeliruan pemikiran-pemikiran kontemporer (liberalisme, sekulerisme, pluralisme, human right sekuler, kesetaraan gender, dan sebagainya).
Sebab, dalam proses penanaman keimanan, para santri wajib juga memahami paham-paham yang dapat merusak pemikiran dan keimanan mereka. Masalah ini tidak dapat dianggap sepele, sehingga tidak bisa diajarkan secara sambilan. Sejak di tingkat Shoul Lin al-Islami, para santri sudah dikenalkan dengan pemikiran-pemikiran kontemporer dan diberikan kritik terhadapnya. Pemahaman dan kritik terhadap Pemikiran Kontemporer yang merusak semakin diperkuat di tingkat PRISTAC dan ATCO.
Pendirian PRISTAC didasari pemikiran, bahwa pada “Masa SMA” (biasanya berkisar usia 15-18 tahun), pada umumnya, para siswa tidak diberikan kajian-kajian pemikiran yang serius tentang peradaban, tentang sejarah, tentang pemikiran Islam, tentang politik, ekonomi, sosial budaya, dan sebagainya. Sebab, para siswa SMA dianggap masih “anak-anak”. Mereka dianggap belum dewasa. Dalam istilah lain, para siswa SMA dimasukkan ke dalam ketegori “Remaja”.
Lazimnya, dalam psikologi, remaja (adolensence) dianggap periode peralihan anak menuju dewasa. Ia tidak mempunyai tempat yang jelas. Anak bukan, dewasa belum. Masa remaja berkisar pada usia 12-21 tahun bagi wanita dan 13-22 pria. (http://belajarpsikologi.com/pengertian-remaja/). Konon pula, menurut pakar Psikologi Perkembangan seperti Hurlock (1990), dewasa awal dimulai pada umur 18 tahun sampai kira-kira umur 40 tahun. Secara umum, mereka yang tergolong dewasa muda (young) ialah mereka yang berusia 20-40 tahun. Menurut seorang ahli psikologi perkembangan, Santrock (1999), orang dewasa muda termasuk masa transisi, baik transisi secara fisik (physically trantition) transisi secara intelektual (cognitive trantition), serta transisi peran sosial (social role trantition).
Perkembangan sosial masa dewasa awal adalah puncak dari perkembangan sosial masa dewasa. Masa dewasa awal adalah masa beralihnya pandangan egosentris menjadi sikap yang empati. Pada masa ini, penentuan relasi sangat memegang peranan penting.” (http://www.psychoshare.com/file-119/psikologi-dewasa/perkembangan-dewasa-awal.html)
Tampak, bahwa konsep remaja itu didasarkan pada penelitian empiris yang sangat tergantung kepada objek penelitian. Padahal, kondisi objek penelitian itu sendiri, ditentukan oleh proses pendidikan yang diterimanya. Jika objek yang diteliti adalah komunitas orang bingung (golongan bingung/golbin), maka kesimpulan yang diraih pun kesimpulan bingung. Coba, yang diteliti adalah anak-anak muda yang sudah mantap iman dan pemikirannya, tentu definisi remaja pun akan berbeda.
Pengkategorian “masa SMA” sebagai masa “remaja” dan “belum dewasa” kini mulai dipertanyakan. Sebab, begitu memasuki umur 15 tahun, manusia sudah tergolong dewasa. Adriano Rusfi adalah salah satu psikolog yang dikenal gencar mengkritisi kategorisasi remaja bagi usia SMP-SMA. Menurutnya, literatur psikologi abad ke-19 tak mengenal masa remaja (adolescence), karena masa remaja adalah produk abad ke-20 dimana telah lahir generasi dewasa fisik (baligh) namun tak dewasa mental (aqil).
Dengan “legalitas remaja”, seolah-olah anak dibiarkan berlama-lama menjadi anak-anak. Maka, lahirlah generasi yang matang syahwatnya, tetapi tanpa kematangan akal. Karena masih remaja, dan dianggap belum dewasa, maka usia remaja dianggap belum matang, dan masih belum bisa menentukan sikap hidupnya.
Pandangan Adriano Rusfi ini menarik. Sebab, memang tidak jarang muncul kerancuan. Manusia berusia 17 tahun, sudah mampu memperkosa dan membunuh, tetapi dikategorikan status hukumnya sebagai “anak-anak”. Dalam Islam, jika seorang sudah memasuki tahap ‘baligh’, maka ia sesungguhnya telah dewasa. Ketika itulah seharusnya ia dididik sebagai manusia dewasa. Tentu saja sesuai dengan kondisi usianya.
Dalam UU Perkawinan No 1/1974, batas minimal usia menikah bagi wanita adalah 16 tahun. Batas umur itu mengindikasikan, sepatutnya seorang wanita telah disiapkan jiwa raganya untuk menjadi dewasa. Pendidikan harus mendewasakan dan memandirikan; bukan justru memaksa anak berlama-lama menjadi anak-anak.
Dalam sebuah hadits dari Abdullah bin Umar r.a. disebutkan, bahwa Rasulullah saw memanggil Abdullah bin Umar untuk hadir ke hadapan beliau menjelang Perang Uhud. Ketika itu usia Abdullah 14 tahun. Dan Rasul tidak mengijinkannya ikut berperang. Kemudian Rasulullah saw kembali memanggil Abdullah hadir ke hadapan beliau menjelang Perang Khandaq. Usia Abdullah bin Umar ketika itu 15 tahun. Rasulullah saw lalu mengijinkan Abdullah berperang.” Nafi’ berkata, “Aku datang kepada Umar bin Abdul Aziz yang merupakan Khalifah pada waktu itu dan menyampaikan riwayat tersebut. Khalifah berkata, “Usia ini (15 tahun) adalah batas antara anak-anak dan dewasa.” Dan beliau perintahkan kepada para gubernur untuk memberikan tunjangan kepada siapa saja yang telah mencapai usia 15 tahun.” (HR Bukhari).
Jadi, berdasarkan pada hadits Nabi saw tersebut, dan juga berbagai fakta sejarah pendidikan, bisa dipahami, bahwa usia 15 tahun adalah masa anak-anak sudah menjadi dewasa. Jangan sampai dalam masa usia 15 tahun, para siswa tidak disiapkan jiwa dan raganya agar benar-benar menjadi manusia dewasa yang sejati. Rasulullah saw telah memberikan teladan, bagaimana mendidik anak-anak umur belasan tahun menjadi matang di usia yang sangat muda.
Kisah yang masyhur menyebutkan, bahwa Usamah bin Zaid, diangkat oleh Nabi saw menjadi Panglima Perang di usia 18 tahun. Dalam sebuah peperangan melawan Romawi, Usamah memimpin pasukan yang di dalamnya ada Abu Bakar ash-Shiddiq r.a., Umar bin Khathab r.a., dan lain-lain. Usamah mulai diijinkan ikut perang pada usia 15 tahun.
Abdullah bin Umar dan al-Barra’ saat berumur 13 tahun belum diijinkan Nabi untuk ikut perang, meskipun mereka mengajukan diri. Diantara sahabat Nabi saw yang masuk Islam di usia yang sangat muda adalah Ali bin Abi Thalib (10 tahun), Thalhah bin Ubaidillah (14 tahun), Zubair bin Awwam (16 tahun), Saad bin Abi Waqqash (17 tahun), Said bin zaid 15 tahun, dan sebagainya. (http://risalahislamterkini.blogspot.co.id/2015/06/anak-anak-muda-di-sekitar-rasulullah-saw.html).
Di Indonesia, pun banyak dijumpai tokoh-tokoh yang sudah matang jiwa dan raganya di usia belasan tahun. Menurut Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi, ayah beliau, yakni KH Imam Zarkasyi mendirikan pesantren Gontor di usia 16 tahun. Haji Agus Salim diangkat sebagai Konsul Hindia Belanda di Jeddah pada usia 20 tahun. Mohammad Natsir sudah berdebat dengan pendeta Belanda saat duduk di bangku SMA. Lulus SMA, Pak Natsir terjun langsung menjadi guru dan mendirikan sekolah sendiri (Pendis:Pendidikan Islam), tahun 1932. Panglima Besar Soedirman menjadi kepala sekolah pada umur 20 tahun.
Sejumlah tokoh PKI pun mulai berkiprah di usia sangat muda. Contohnya, Semaoen. Pada usia sekitar 18 tahun, ia sudah memimpin Sarekat Islam (SI) Semarang bersama rekannya, Darsono. Akhirnya, Semaoen keluar dari SI dan mendirikan Persyarekatan Komunis India (PKI) yang kemudian menjadi Partai Komunis Indonesia/PKI. (lihat Suradi; Haji Agus Salim dan Konflik Politik dalam Sarekat Islam, Pustaka Sinar Harapan, 1997). https://serbasejarah.wordpress.com/2009/04/22/kaum-muda-penggerak-revolusi-indonesia/
Dr. Erma Pawitasari, dalam sebuah makalahnya berjudul “Pendidikan Khusus Perempuan: Antara Kesetaraan Gender dan Islam”, mengungkap hasil penelitian Frances E. Jensen, seorang ahli neurologi, yang menemukan bahwa pertumbuhan otak perempuan mencapai puncaknya pada usia 12-14 tahun. Sedangkan otak laki-laki-laki mencapai puncak pertumbuhannya pada usia 14-16 tahun.
Maka, berdasarkan data sejarah dan fakta perkembangan otak manusia tersebut, bisa disimpulkan, bahwa rentang usia sekitar 12-18 tahun (jenjang SMP-SMA) adalah masa keemasan untuk menanamkan adab dan pemikiran Islam. Sejarah pendidikan di Indonesia juga menunjukkan hal yang sama. Pada tahun 1906, di Jakarta sudah berdiri sebuah sekolah (Jamiat al-Khair) setingkat SMA yang guru-gurunya adalah ulama-ulama dari Tunisia, Sudan, Saudi dan lain-lain.
Menurut Pak Natsir, ketika duduk di bangku SMA Belanda di Bandung, ia diwajibkan membaca minimal 36 buku untuk satu mata pelajaran. Dulu, lulusan Mu’allimin dari berbagai lembaga dan organisasi Islam sudah disiapkan untuk menjadi manusia dewasa yang mampu terjun ke tengah masyarakat sebagai guru yang baik.
Jadi, itu semua menunjukkan, bahwa “masa SMA” (sekitar 15-18 tahun) bukanlah sekedar masa persiapan untuk memasuki jenjang Pendidikan Tinggi. Keliru, jika ada pemikiran, mereka masih anak-anak sehingga jangan diberikan beban pendidikan dengan muatan pemikiran yang serius. Karena “usia SMA” adalah usia dewasa, maka para siswa harus dididik sebagai orang dewasa, dan disiapkan menjadi pejuang, untuk terjun ke tengah masyarakat atau menjadi pemimpin saat kuliah di Perguruan Tinggi.
Dengan dasar pemikiran seperti itulah, maka didirikan sebuah program pendidikan bernama “Pesantren for the Study of Islamic Thought and Civilization (PRISTAC). PRISTAC adalah program pendidikan pesantren (non-formal) setingkat SMA, yang dirancang untuk melahirkan kader-kader intelektual muslim yang beradab jiwa-raga, cerdas, mandiri, cinta ilmu dan semangat ber-amar ma’ruf nahi munkar untuk kemaslahatan umat dan bangsa Indonesia.
Untuk menanamkan adab dalam diri santri, pada umur 10-14 tahun, para santri Pesantren at-Taqwa (Shoul Lin al-Islami) Depok, telah diajarkan kitab-kitab adab berbahasa Arab dan Arab Melayu. Dalam pembinaan badan, mereka berlatih silat secara intensif. Itu semua dilakukan, agar ketika memasuki jenjang PRISTAC, mereka sudah memiliki adab yang baik; mereka sudah beradab jiwa dan raga; mereka sudah terbangun jiwa dan raganya; dan sudah memiliki sikap cinta ilmu.
Dengan konsep pendidikan yang menekankan adab seperti ini, insyaAllah, lulusan PRISTAC yang akan melanjutkan pendidikannya memasuki ATCO sudah cukup matang alam berpikirnya, dan sudah cukup baik adabnya. Ini akan memudahkan proses pendidikan di ATCO, untuk melahirkan pejuang-pejuang intelektual yang matang dan unggul.
Lima Keunggulan
Secara konseptual, At-Taqwa College (ATCO) memiliki lima keunggulan. Yaitu:
1. Konsep universitas yang ideal. Sebagai Perguruan Tinggi, ATCO menerapkan konsep ‘Universitas’ dalam Islam. University atau Jaami’ah, bermakna universal, menyeluruh, integral, kulliy; bukan parsial, bukan juz’iyyah. Maknanya, tujuan utama Pendidikan Tinggi adalah membentuk manusia yang sempurna (insan kamil), dan sekaligus memiliki skill (profesionalitas) yang diperlukan untuk mandiri dan bermanfaat bagi masyarakat.
Jadi tujuan utama adalah menjadi manusia yang baik (good man). Universitas tidak sama dengan Balai Latihan Kerja (BLK), meskipun di AtCo, mahasiswa juga dibekali ilmu dan ketrampilan untuk hidup mandiri.
2. Konsep keilmuan yang integral. Pendidikan di ATCO berpijak atas konsep ilmu yang integral. Yaitu: (a) Memadukan tiga sumber ilmu (panca indera, akal, dan khabar shadiq) secara integral dan proporsional; dan (b) mendahulukan ilmu-ilmu fardhu ‘ain dan menempatkan ilmu-ilmu fardhu ‘ain dan fardhu kifayah secara proporsional.
3. Adab dan Akhlak mulia diutamakan. Yakni: (a) Mengutamakan adab dan akhlak mulia, sebelum ilmu. Agar meraih ilmu yang bermanfaat, diawali dengan niat IKHLAS mencari ilmu. (b) Hanya mahasiswa beradab dan berakhlak mulia yang berhak melanjutkan ke jenjang pendidikan berikutnya. Rumusnya: beradablah kamu, kemudian berilmulah! Rumus pendidikan ini untuk menghindarkan munculnya orang-orang yang berilmu tinggi tetapi perilakunya jahat dan merugikan masyarakat.
4. Menerapkan profesionalisme. ATCO membekali mahasiswa dengan kompetensi professional yang diperlukan untuk membangun kemandirian diri dan ketahanan masyarakat. Di era disrupsi, tiga kompetensi unggulan yang diperlukan oleh pejuang muslim professional: (a) Adab dan akhlak mulia (b) bahasa Inggris dan Arab (c) Pemikiran Islam, (d) Teknologi Informasi, dan (e) Komunikasi lisan dan tulisan. Selain itu, dilengkapi pula dengan kompetensi pilihan: Kewirausahaan dan Pertanian mandiri.
5. Pembelajaran yang adil dan fleksibel. ATCO menerapkan sistem pembelajaran yang adil dan fleksibel, berprinsip pada “based on result“, bukan “based on process“. Jadi, bentuk evaluasi yang terpenting adalah “kamu bisa apa” bukan “kamu sudah belajar apa” dan berapa lama. Mahasiswa yang menguasai lima kompetensi dan telah menguasai sekitar 40 mata kuliah dan mampu menulis skripsi dengan baik, dinyatakan berhak lulus dari ATCO.
Demikianlah LIMA kriteria utama suatu Perguruan Tinggi dapat dikatakan sebagai KAMPUS TERBAIK. Karena memenuhi lima kriteria itu, maka ATCO juga dapat dikatakan sebagai kampus terbaik. Begitu juga, jika ada Perguruan Tinggi yang memenuhi lima kriteria itu, itulah yang disebut sebagai “kampus terbaik”.
Kurikulum AtCo
Kurikulum adalah seluruh proses pendidikan yang dilakukan untuk mencapai tujuan pendidikan, dalam hal ini adalah tujuan pendidikan AtCo. Lulusan AtCo ditargetkan memiliki kompetensi-kompetensi sebagai berikut:
- Beraqidah Shahihah
- Bersemangat ibadah dan dakwah
- Cinta ibadah dan haus ilmu
- Beradab jiwa dan raga
- Berakhlak mulia
- Memiliki hafalan al-Quran dan Hadits
- Menguasai Dasar-dasar Ulumuddin
- Menguasai Sejarah Peradaban Islam
- Menguasai Pemikiran Islam
- Menguasai Pemikiran Kontemporer
- Menguasai sejarah dan peradaban modern
- Menguasai konsep dan praktik pendidikan Islam
- Unggul dalam komunikasi lisan dan tulisan
(Bahasa Indonesia dan Inggris)
- Menguasai ‘IT Developer’
- Mampu membaca teks Arab
- Menguasai ilmu wirausaha dan pertanian mandiri
Untuk mencapai tujuan atau target standar kompetensi lulusan itulah, maka disusun kurikulum AtCo, yang sebagiannya ditampilkan dalam bentuk silabus mata kuliah berikut ini:
Semester I
Adab Harian |
Bahasa Arab (1) Bahasa Inggris (1) |
Tahsin al-Quran |
Tahfizh al-Qur’an dan Hadits Fiqih Ibadah Dzikir dan Doa |
Islamic Worldview dan Pemikiran Kontemporer |
Konsep Ilmu Imam al-Ghazali Kajian Filsafat Barat Kajian Filsafat Yunani Praktik Pendidikan Islam |
Jurnalistik (1) Teknologi Informasi (1) |
Semester II Adab Harian |
Bahasa Arab (2) Bahasa Inggris (2) |
Tahfizh al-Qur’an dan Hadits |
Ulumul Qur’an dan Hermeneutika Ilmu Ushul Fiqh |
Filsafat Ilmu: Perspektif Barat dan Islam |
Pemikiran Kontemporer: Liberalisme, Sekularisme, Pluralisme, Studi Gender dan LGBT |
Kajian Tokoh (1): Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas dan Prof. Wah Mohd Nor Wan Daud Kajian Tokoh : Mohammad Natsir dan Hamka Jurnalistik (2) |
Teknologi Informasi (2) |
Semester III |
Adab Harian |
Bahasa Arab (3) Bahasa Inggris (3) |
Tahfizh al-Qur’an dan Hadits |
Sejarah dan Metodologi Hadits Kajian Fiqih Kontemporer Sejarah Peradaban Islam (1) |
Studi Filsafat Islam Pemikiran Kontemporer: Liberalisasi Syariat Islam |
Kajian Tokoh : Shalahuddin al-Ayyubi dan Muhammad al-Fatih |
Kajian Tokoh : KH Hasyim Asy’ari dan KH Ahmad Dahlan |
Jurnalistik (3) Teknologi Informasi (3) |
Semester IV |
Adab Harian |
Bahasa Arab (4) Bahasa Inggris (4) |
Tahfizh al-Qur’an dan Hadits |
Kajian Politik dan Harakah Islam Sejarah Peradaban Barat |
Studi Agama-agama (Yahudi dan Kristen) Pemikiran Kontemporer : Politik dan Ekonomi Indonesia Kajian Tokoh : Soekarno, Hatta, Haji Agus Salim, Kasman Singodimejo |
Kajian Tokoh : Ulama-ulama Nusantara |
Jurnalistik (4) |
Teknologi Informasi (4) |
Semester V |
Adab Harian |
Tahfizh al-Qur’an dan Hadits |
Sejarah Peradaban Islam (2) Sejarah Islam Indonesia Studi Sains Islam Kajian Peradaban Cina Pemikiran Kontemporer : Kajian Hukum di Indonesia |
Kajian Tokoh : Tokoh-tokoh Perempuan Teknologi Informasi (5) |
Semester VI |
Adab Harian |
Tahfizh al-Qur’an dan Hadits |
Sejarah Peradaban Islam (3) Kajian tentang Sufisme |
Kajian Islam dan Budaya Jawa |
Kajian tentang Syiah Kajian Kristenisasi di Indonesia Pemikiran Kontemporer: Konsep HAM: Islam dan Barat |
Kajian Tokoh : Pangeran Diponegoro |
Kajian Tokoh : Wali Songo |
Semester VII |
Adab Harian |
Tahfizh al-Qur’an dan Hadits Sejarah Pendidikan di Indonesia Studi Yahudi dan Zionisme |
Enterpreneurship, Phermaculture, E-Trading |
Proposal Skripsi |
Semester VIII |
Ujian Komprehensif |
Praktik Da’wah Lapangan |
Skripsi |
************************** |
Untuk mengefektifkan proses pendidikan dan pembelajaran, maka pimpinan, sebagian dosen, dan juga mahasiswa ATCO harus tinggal di Pesantren. Proses pendidikan seperti ini yang disebut sebagai mulazamah. Prosesnya berlangsung secara intensif selama 24 jam dengan bimbingan pimpinan dan dosen ATCO.
Model pendidikan tinggi seperti inilah yang bisa dikatakan sebagai Perguruan Tinggi terbaik. Kriteria terbaik terutama ada pada kualitas dosen-dosennya yang berilmu dan berakhlak mulia. Juga sistem dan kurikulum pendidikan di ATCO yang mengadopsi konsep keilmuan integral dan pemaduan ilmu-ilmu fardhu ‘ain dan fardhu kifayah secara proporsional (adil). Penekanan pada niat yang ikhlas untuk mencari keridhaan Allah dan ilmu yang bermanfaat, insyaAllah akan menambah kelancaran pendidikan di ATCO.
Semoga Allah SWT memberikan bimbingan dan pertolongan-Nya. Amin. (*****)