Dalam ushul fiqih, adat dibagi menjadi dua. Ada adat yang di akulturasi dengan ajaran Islam dia tidak merusak ajaran Islam. Ada adat yang di akulturasi, merusak ajaran Islam.
Wartapilihan.com, Jakarta –Penulis buku Bulan Sabit Terbit Di Atas Pohon Beringin, Professor Mitsuo Nakamura menjelaskan pengalamannya ketika melakukan penelitian kembali ke Kotagede pada Desember 2008 sampai Februari 2009. Awalnya, ia hendak mengunjungi Kota Mojokuto.
Namun, kata dia, tidak tepat untuk mengambil kota itu sebagai contoh untuk mewakili cara-cara hidup tradisional masyarakat Jawa di kawasan urban. Akhirnya, Nakamura memutuskan untuk melakukan penelitian di Kotagede dan Klaten, mengikuti saran Profesor Selosoemardjan guna membandingkan komunitas urban lama dan baru di jantung Jawa Tengah.
“Kotagede dianggap sebagai sebuah pilihan tepat untuk memelajari urbanisme tradisional di Jawa. Kota itu muncul dalam sejarah sebagai salah satu Ibu Kota Kerajaan Mataram Islam di akhir abas dua pulun enam dan terus mempertahankan identitas fisik serta budayanya hingga masa modern,” kata Nakamura dalam diskusi dan peluncuran buku di Aula KH. Ahmad Dahlan Pusat Dakwah PP Muhammadiyah, Jl. Menteng Raya 62 Jakarta Pusat, Jumat (6/10).
Kota itu jauh lebih tua daripada Yogyakarta dan Surakarta, dua ibu kota kerajaan yang lahir berkat Perjanjian Giyanti 1755 ketika kerajaan Mataram pecah jadi dua, dan kemudian menjadi empat. Sementara itu, Klaten sedikit banyak bisa dibandingkan dengan Mojokuto sebagai sebuah kota perbatasan baru yang dibangun berlandaskan penerapan sistem tanam paksa oleh otoritas Belanda di pedesaan Jawa Tengah.
“Akan tetapi, pada akhirnya saya harus meninggalkan rencana untuk melakukan penelitian lapangan di Klaten karena pengumpulan data di Kotagede menghabiskan seluruh waktu (dan dana) yang saya miliki,” ujar dia.
Dalam temuan-temuan selama di Kotagede, dia membuat sebuah tesis bahwa Islam ala Muhammadiyah merupakan kekuatan dinamis yang mentransformasikan kompleks sosio-budaya Kejawen tradisional. Proses Islamisasi terus berlangsung.
“Saya percaya dan memprediksi bahwa bentuk Islam yang dipromosikan Muhammadiyah akan semakin banyak memperoleh dukungan penduduk kota pada umumnya,” ungkap Nakamura.
Namun, lanjutnya, yang diremehkan adalah daya tahan elemen-elemen budaya Kejawen di antara penduduk kota bahkan termasuk anggota Muhammadiyah sendiri. Dalam disertasinya, Nakamura menekankan sebuah point umum bahwa dalam kasus Muhammadiyah Kotagede kejawaan dan Islam bergabung dan tak terpisahkan di bidang nilai-nilai etika.
“Di sana kita dapat mengamati sebuah kasus yang baik tentang fusi etika-etika yang berasal dari sebuah agama universal dan sebuah sistem nilai lokal dalam bahasa-bahasa vernakular. Sebenarnya dilapangan saya mengamati soal ketahanan wujud-wujud kultural kejawen seperti macapat, wayang kulit wayang wong, ketoprak, campursari jatilan, dan seterusnya. Namun saya tidak menyentuh bidang budaya dan seni,” papar antropolog kebudayaan itu.
Guru Besar UIN Sunan Kalijaga dan sekaligus Pengurus Majelis Pendidikan Tinggi Penelitian dan Pengembangan (Diktilitbang) PP Muhammadiyah Prof Dr H Abdul Munir Mulkhan menambahkan, ada satu program Muhammadiyah yang dikembangkan Kyai Dahlan yang tidak ada di bangsa lain yaitu guru keliling, Mulkhan menulis dengan judul Marhaenis Muhammadiyah.
“Dulu program ini (guru keliling) dikecam Kyai Dahlan, katanya melecehkan Kyai. Dulu santri ngaji datang ke Kyai. Ini kebalik. Tetapi alhamdulillah, dengan cara itu sekarang lahir ribuan sarana pendidikan dan majelis taklim,” terangnya.
Menurutnya, tantangan Muhammadiyah ke depan bagaiman merumuskan agenda-agenda dakwah melalui jalur politik. Sebab, politik Muhammadiyah, kata dia, politiknya godal-gadul.
“Saya mengajak begitu karena mukadimah anggaran dasar tidak di revisi. Pada saat Masyumi jaya, Muhamadiyah membagi dua pekerjaan yaitu dakwah dan politik. Ketika politik dikasihkan ke Masyumi dan Masyumi bubar, wajah dakwah politik Muhammadiyah tidak ada,” pungkasnya.
Ahmad Zuhdi