Saat ini tengah beredar informasi di tengah masyarakat, bahwa suhu udara di Indonesia menjadi turun drastis karena adanya fenomena aphelion. Benarkah hal tersebut?
Wartapilihan.com, Jakarta — Kemudahan akses internet secara tak langsung dapat dengan mudahnya menyebarkan keresahan. Salah satunya terjadi pada fenomena aphelion yang dikabarkan dapat membuat suhu udara jauh lebih dingin dari biasanya.
Hal itu pun dibantah oleh Deputi Bidang Meteorologi, Mulyono R. Prabowo. Dia mengatakan, sebenarnya fenomena aphelion ini adalah fenomena astronomis yang terjadi setahun sekali pada kisaran bulan Juli. Sementara itu, pada waktu yang sama, secara umum wilayah Indonesia berada pada periode musim kemarau.
“Hal ini menyebabkan seolah aphelion memiliki dampak yang ekstrem terhadap penurunan suhu di Indonesia,” kata Mulyono, Sabtu, (7/7/2018).
Padahal pada faktanya, menurut Mulyono, penurunan suhu di bulan Juli belakangan ini lebih dominan disebabkan karena dalam beberapa hari terakhir di wilayah Indonesia, khususnya Jawa, Bali, NTB, dan NTT kandungan uap di atmosfer cukup sedikit.
“Hal ini terlihat dari tutupan awan yang tidak signifikan selama beberapa hari terakhir. Secara fisis, uap air dan air merupakan zat yang cukup efektif dalam menyimpan energi panas.
Sehingga, rendahnya kandungan uap di atmosfer ini menyebabkan energi radiasi yang dilepaskan oleh bumi ke luar angkasa pada malam hari tidak tersimpan di atmosfer dan energi yang digunakan untuk meningkatkan suhu atmosfer di atmosfer lapisan dekat permukaan bumi tidak signifikan,”
Oleh karena itu, hal inilah yang menyebabkan suhu udara di Indonesia saat malam hari di musim kemarau relatif lebih rendah dibandingkan saat musim hujan atau peralihan.
“Kondisi ini bertolak belakang dengan kondisi saat musim hujan atau peralihan dimana kandungan uap air di atmosfer cukup banyak, sehingga atmosfer menjadi semacam “reservoir panas” saat malam hari,” terang dia.
Selain itu, pada bulan Juli ini wilayah Australia berada dalam periode musim dingin. Sifat dari massa udara yang berada di Australia ini dingin dan kering.
“Adanya pola tekanan udara yang relatif tinggi di Australia menyebabkan pergerakan massa udara dari Australia menuju Indonesia semakin signifikan sehingga berimplikasi pada penurunan suhu udara yang cukup signifikan pada malam hari di wilayah Indonesia khususnya Jawa, Bali, NTB, dan NTT,”
Lebih lanjut Mulyono mengungkapkan, berdasarkan pengamatan BMKG di seluruh wilayah Indonesia selama 1 hingga 5 Juli 2018, suhu udara kurang dari 15 derajat Celcius tercatat di beberapa wilayah yang seluruhnya memang berada di dataran tinggi/kaki gunung seperti Frans Sales Lega (NTT), Wamena (Papua), dan Tretes (Pasuruan), dimana suhu terendah tercatat di Frans Sales Lega (NTT) dengan nilai 12.0 derajat Celcius pada tanggal 4 Juli 2018.
Sementara itu untuk wilayah lain di Indonesia selisih suhu terendah selama awal Juli 2018 ini terhadap suhu terendah rata-rata selama 30 hari terakhir ini tidak begitu besar.
“Hal ini menunjukkan bahwa fenomena aphelion memiliki pengaruh yang kurang signifikan terhadap penurunan suhu di Indonesia, sehingga diharapkan masyarakat tidak perlu khawatir secara berlebihan terhadap informasi yang menyatakan bahwa akan terjadi penurunan suhu ekstrem di Indonesia akibat dari aphelion,” pungkas dia.
Hal senada dikatakan oleh Kepala Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Thomas Djamaluddin. Menurut dia, kondisi cuaca yang terjadi saat ini tak ada hubungannya dengan aphelion. Suhu udara itu dipengaruhi distribusi panas di bumi akibat perubahan tahunan posisi matahari.
“Saat ini matahari berada di belahan utara, sehingga belahan selatan mengalami musim dingin,” kata Thomas dalam akun Facebooknya.
Dia menambahkan, tekanan udara di belahan selatan juga lebih tinggi daripada belahan utara. Akibatnya angin bertiup dari selatan ke utara. Angin ini pula yang mendorong awan menjauh ke utara sehingga di Indonesia mengalami musim kemarau.
“Di Indonesia pada musim kemarau saat ini angin bertiup dari arah Australia yang sedang musim dingin. Itu sebabnya masyarakat di Jawa pada saat ini mengalami udara yang dingin,” ujar dia.
“Tidak ada hubungannya dengan aphelion, karena perubahan jarak matahari ke bumi tidak terlalu signifikan mempengaruhi suhu permukaan bumi,” imbuh Thomas.
Di sisi lain, menurut Kepala Bagian Humas Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Hary Tirto Djatmiko, suhu dingin terjadi karena Indonesia mengalami puncak musim kemarau pada Juli sampai Agustus ini.
“Dengan indikator aktifnya monsun Australia, Indonesia mendapatkan pengaruh dari aliran massa dingin dari Australia yang menuju ke Asia,” ujar Hary dalam keterangannya kepada Warta Pilihan.
Aliran massa dingin itu, ujar dia, menyebabkan perubahan suhu menjadi lebih dingin di sejumlah wilayah Indonesia yang berada di sebelah selatan garis khatulistiwa. Mulai dari Sumatera Selatan, Lampung, Banten, Jawa Barat, DKI Jakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, NTT, Bali.
“Adapun yang beredar di media sosial mengenai suhu di Bandung yang mencapai 15°C saat ini bukanlah yang terdingin. Suhu minimum yang terjadi di Bandung pernah 12,4°C pada Juli 1986 dan di Lembang pernah 9,8°C pada Juli 1991. Artinya suhu sekarang masih berada di tatanan normal,” jelasnya.
Ia menegaskan, saat ini Indonesia memang berada di puncak musim kemarau yang ditandai dengan suhunya lebih dingin, siang lebih panas, anginnya lebih kencang.
“Masyarakat diingatkan tak perlu khawatir dan resah. Yang penting mempersiapkan diri menghadapi udara dingin ini,” pungkas Hary.
Eveline Ramadhini