Angka-angka Intoleransi: Apresiasi dan Kritik (1)

by
Ketua Setara Institute Hendardi

Wartapilihan.com – KEKERASAN atas nama agama masih kerap muncul di media kita, baik di media massa (cetak, elektronik, dan daring) atau pun di media sosial. Merawat kerukunan di tengah bangsa sebesar Indonesia, dengan beragam agama, suku, dan ras tak lagi mudah karena sejumlah kabar kekerasan itu.

Keyakinan pada kebenaran agama masing-masing diuji ketika umat tertentu berjumpa dengan umat lain di dalam masyarakat. Kajian mendalam tentang sumber, aktor, bentuk dan pola kekerasan, dan ajaran-ajaran yang mendasarkan tindakan kekerasan tersebut, harus dilakukan dengan tepat. Kalau pun tidak menghilangkannya sama sekali, kajian seperti itu dapat menjadi rujukan bagi pengambil kebijakan (pemerintah) dan masyarakat pada umumnya dalam mengantisipasi hal serupa di waktu mendatang.

Keprihatinan pada keadaan tersebut membuat Setara Institute pada Ahad, akhir bulan (29/1) lalu, menggelar siaran pers di kantornya untuk menyampaikan Laporan Tahunan Kebebasan Beragama 2016. Dalam data mereka, tahun 2016 menjadi tahun dengan angka intoleransi tertinggi sejak 3 tahun terakhir. Ada 208 kasus dengan 270 tindakan di tahun ini. Jawa Barat menempati puncak angka intoleransi (41 kasus), diikuti DKI Jakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Bangka Belitung. Sebagai perbandingan, “hanya” terjadi 134 peristiwa dengan 177 tindakan toleransi di tahun 2014, dan 197 peristiwa dengan 236 tindakan di tahun 2015.

Hal yang cukup mengejutkan adalah peringkat pelaku kekerasan tersebut. Dalam catatan Setara, lembaga negara justru menjadi pelaku paling sering; 140 kasus dalam bentuk kekerasan langsung dan pembiaran, dengan rincian 37 kasus oleh oknum kepolisian, 35 kasus oleh pemerintah daerah (provinsi/kota/kabupaten), dan sisanya oleh lembaga lain.

Untuk pelaku non-negara, rinciannya adalah 42 kasus oleh kelompok warga, 30 kasus oleh aliansi ormas, 17 kasus oleh MUI, dan 16 kasus oleh FPI. Oleh unsur-unsur non negara, menurut Setara, tindakan kekerasan itu berwajah persekusi terhadap rumah ibadah, hasutan untuk penyerangan, ujaran penuh kebencian, dan pengusiran, Dengan sajian data tersebut, kita tentu sudah tahu ke mana arah pengumpulan data sebaliknya, yakni data korban.

Korban terbesar dari tindakan kekerasan tersebut adalah anggota Gerakan Fajar Nusantara atau Gafatar. Ada 36 peristiwa yang menjadikan Gafatar sebagai sasaran. Yang terbesar, sebagian dari kita pasti masih mengingatnya, adalah peristiwa pengusiran oleh warga terhadap 1000 orang anggota Gafatar di Kalimantan Barat. Gafatar adalah organisasi masyarakat yang sebagian anggotanya adalah mantan pengikut Jama’ah al-Qiyadah al-Islamiyah pimpinan Ahmad Moshaddeq.

Saat Mosaddeq dibui tahun 2008 karena pengakuannya sebagai nabi, petinggi al-Qiyadah lain segera mendirikan ormas ini. Jama’ah Gafatar berusaha menghidupi diri dengan kegiatan kolektif seperti bertani.

Selain Gafatar, penganut Ahmadiyah juga menjadi korban dengan 27 kasus, Syi’ah dengan 23 kasus, Kristen dengan 20 kasus, aliran kepercayaan dengan 19 kasus, dan individu dengan 33 kasus. Setara menyebut fatwa MUI dan kebjakan Departemen Agama seperti pengaturan pembangunan rumah ibadah sebagai pembenaran bagi tindakan-tindakan di atas.

Di hadapan sajian data serinci milik Setara Institute (yang ditulis di atas hanya sebagian saja, namun dianggap mewakili semua hasil temuan), apa yang patut kita apresiasi dan harus kita kritisi? Sebagai bentuk apresiasi, kita bisa menerima angka-angka intoleransi itu sebagai bahan renungan bagi sikap keberagamaan kita. Sejauh mana kita mampu hidup berdampingan dengan penganut keyakinan berbeda, tanpa kecurigaan, perasaan terancam, atau justru kehendak untuk menyerang? Kemampuan mengatasi kendala-kendala itu menjadi penentu bagi kehidupan yang rukun dan saling bertenggang rasa, atau dalam bahasa lebih kekinian: toleransi. Sebagaimana penulis singgung di awal, kajian seperti laporan Setara Insitute ini dapat memberi manfaat banyak di tangan yang tepat, wabil khusus pemerintah sebagai pengambil kebijakan. Sebaliknya, semua tindakan yang dipaparkan di atas adalah intoleransi.

Namun apa yang dimaksud dengan toleransi, sehingga kajian-kajian terhadap praktiknya di Indonesia ini sering menunjukkan angka yang gawat?

Toleransi berasal dari istilah Latin “tolerare”, yang berarti kesediaan menanggung beban bersama. Pengertian dasar ini mirip dengan salah satu peribahasa masyhur milik kita: berat sama dipikul, ringan sama dijinjing. Lantas mengapa peribahasa yang telah lama hidup dalam kesadaran kita itu, jika mengacu pada angka-angka intoleransi di atas, seakan lepas begitu saja tatkala kita hidup bermasyarakat? Jawaban dari itu semua akan tampak bila kita menyelidiki lebih jauh makna toleransi yang menjadi pendasaran bagi kajian-kajian toleransi seperti laporan Setara ini.

(Bersambung)

Penulis: Ismail Alam

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *