ANDAIKAN RA KARTINI BERTEMU PEREMPUAN-PEREMPUAN HEBAT DARI ACEH INI

by

Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)

Dalam sebuah perjalanan, saya sempat menonton film Kartini yang disutradai oleh Hanung Bramantyo. Film itu berhasil menggambarkan beratnya perjuangan RA Kartini dalam memperjuangkan hak-hak pendidikan untuk kaum perempuan. Karena itulah, perjuangan Kartini patut dijadikan sebagai inspirasi.

Sebuah resensi film mencatat, bahwa film ini berupaya memperkuat pandangan yang selama ini ada bahwa Kartini berjasa untuk perempuan di Indonesia. Kartini layak disebut sebagai tokoh yang menginspirasi semua orang, khususnya kaum muda zaman sekarang.

Kartini memiliki pemikiran mengapa perempuan tidak bisa belajar seperti laki-laki? Mengapa perempuan tidak memiliki kebebasan dalam melakukan sesuatu seperti halnya laki- laki? Berangkat dari pemikiran inilah ia ingin mendobrak tradisi bahwa sebenarnya perempuan wajib mendapatkan hak yang sama dengan laki-laki untuk sekolah setinggi-tingginya dan memiliki kebebasan setara. (https://formadiksi.um.ac.id/resensi-film-kartini/).

Patut kita catat, bahwa RA Kartini lahir di Jepara Jawa Tengah pada 21 April 1879 dan meninggal pada tahun 1904, setelah melahirkan anak. Jadi, Kartini wafat diumur yang sangat muda, pada awal abad ke-20.  Jadi, di abad ke-20 itu, pendidikan di Jawa bagi perempuan masih sangat berat. Tapi, meskipun dididik dalam suasana feodal, Kartini memiliki cita-cita tinggi untuk memajukan kaum perempuan.

Atas jasa-jasanya itulah, Kartini  kemudian dikenang sebagai pejuang kemajuan perempuan. Surat-suratnya dikumpulkan dan diterbitkan dalam sebuah buku berjudul “Habis Gelap Terbitlah Terang.”  Dan patut disyukuri, di akhir hayatnya, Kartini sempat belajar agama kepada Kyai Sholeh Darat dari Semarang. Kiai Sholeh Darat adalah guru dari KH Hasyim Asy’ari dan KH Ahmad Dahlan.

Yang menarik dan patut kita renungkan adalah suasana kehidupan feodal di Jawa pada akhir abad ke-19 dan sampai awal abad-ke-20.  Situasi feodeal dan diskriminasi terhadap hak pendidikan perempuan di lingkungan RA Kartini itu, jauh sekali bedanya dengan situasi pendidikan di Aceh, pada abad ke-16 dan ke-17.

Kesultanan Aceh yang menjalankan ajaran Islam memiliki model pendidikan yang ideal untuk kaum laki-laki perempuan. Sebab, dalam Islam, mencari ilmu memang diwajibkan untuk setiap muslim, baik laki-laki maupun perempuan. Jadi, empat ratus tahun sebelum era RA Kartini, Kerajaan Aceh sudah berhasil meraih banyak kemajuan dalam pendidikannya, sehingga melahirkan banyak perempuan hebat.

Salah satu yang terkenal adalah Ratu Syafiatuddin di Aceh. Ia lahir sekitar tahun 1612-1613. Sebagai anak Sultan Iskandar Muda, Safiatuddin sudah mendapatkan pelajaran berbagai ilmu pengetahuan, seperti ilmu Tauhid, Ilmu sastra, ilmu tasawuf, dan sebagainya.

Dalam buku Jejak Sultanah Safiatuddin, karya Zulfata, (2015), dikisahkan, sejak umur 7 tahun, Safiatuddin sudah belajar pada ulama-ulama besar, seperti Syaikh Hamzah Fansuri, Seri Fakih Zainal Abidin Ibnu Daim Mansur, Syeikh Kamaluddin, dan ulama-ulama besar lainnya di Aceh.

Setelah belajar pada para ulama, Safiatuddin dikenal seorang yang haus ilmu dan menguasai berbagai ilmu pengetahuan. Ia fasih berbahasa Arab, Persia, dan Spanyol. Ia juga paham ilmu-ilmu politik, ilmu fiqih, logika, sejarah, falsafah, tasawuf, dan sastra. Pada 15 Februari 1641, Safiatuddin diangkat menjadi Sulthanah (ratu) di Aceh, menggantikan suaminya, Sultan Iskandar Tsani. Di masa kepemimpinannya,  Aceh mengalami zaman keemasan ilmu pengetahuan. Banyak ulama dan cendekiawan lahir di Aceh.

Ratu Safiatuddin  wafat pada 23 Oktober 1675. Kita bisa bayangkan, andaikan Kartini bertemu dengan Sang Ratu Aceh tersebut, maka ia tidak akan repot-repot untuk berkomunikasi dengan teman-temannya yang orang Belanda. Pendidikan Ratu Safiatuddin dan kiprahnya dalam kenegaraan menjadi bukti nyata hebatnya pendidikan perempuan di Aceh beberapa ratus tahun sebelum Kartini lahir. Itulah salah satu contoh ketinggian Pendidikan Islam di Nusantara.

Apalagi, Aceh bukan hanya punya seorang Syafiatuddin. Pendidikan di Aceh telah melahirkan banyak perempuan hebat. Kita mengenal nama Laksamana Malahayati. Perempuan hebat kelahiran tahun 1550 M ini pernah memimpin pasukan Perang Kerajaan Aceh. Dalam satu pertempuran dengan pasukan Belanda, Malahayati berhasil menewaskan komandan Belanda Cornelis de Houtman, dalam pertempuran satu lawan satu di atas geladak kapal.

Malahayati juga produk pendidikan di Aceh. Disamping belajar ulumuddin, Malahayati juga mengenyam pendidikan di Akademi Angkatan Laut Baitul Maqdis, Aceh. Ini terjadi di abad ke-16, 300 tahun sebelum RA Kartini lahir.  Ketika itu, sudah ada seorang muslimah yang menjadi Panglima Perang sebuah kerajaan besar. Hingga kini, belum ada seorang perempuan yang menjadi panglima TNI.

Masih ada lagi! Aceh memiliki pahlawan perempuan legendaris, bernama Tjut Nya’ Dien.  Muslimah pejuang ini lahir tahun 1848 dan meninggal tahun 1908. Ia tidak pernah menyerah kepada Belanda, meskipun dua suaminya gugur di medan jihad. Kepahlawanan Tjut Nya’ Dien sangat mengagumkan. Ia memimpin perang gerilya di hutan-hutan Aceh, dan tidak pernah menyerah melawan penjajah.

Jadi, Ratu Syafiatuddin, Laksamana Malahayati, dan juga Tjut Nya’ Dien, lahir dari proses pendidikan di Aceh. Proses pendidikan itu tersebar dan hidup di tengah masyarakat, mulai keluarga, pesantren, sampai Akademi Angkatan Laut. Inilah bukti bahwa pendidikan Islam memiliki konsep untuk memuliakan perempuan. Maka, ketika itu tidak perlu ada Kementerian Pemberdayaan Perempuan.

Jadi, andaikan Kartini sempat bertemu dengan perempuan-perempuan hebat dari Aceh itu, tentu akan berbeda perjalanan sejarah perempuan di Indonesia. Tapi, itu hanya pengandaian. Yang penting laki-laki dan perempuan Indonesia mendapatkan pendidikan yang sebaik-baiknya, sehingga laki-laki dan perempuan Indonesia sama-sama berdaya dan bisa bekerjasama untuk memajukan keluarga dan negeri kita. Amin. (Depok, 22 April 2024).

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *