Apakah agenda revisi cenderung bereaksi terhadap persoalan yang lebih didominasi kepada fenomena politik?
Wartapilihan.com, Jakarta –Direktur Monitoring Evaluasi dan Penguatan Jaringan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) Ronald Rofiandri menilai, penerapan asas contrarius actus pada ormas tidak dapat dibenarkan secara hukum. Pasalnya, pemberian status badan hukum tidak sekadar berhubungan dengan keabsahan administratif, tetapi juga membentuk sebuah hukum baru.
“Layaknya badan hukum lain seperti pernyataan pailit suatu perseroan terbatas (PT) atau pembubaran partai politik, harus melalui Mahkamah Konstitusi atau pengadilan. Sebab, hal ini juga akan memunculkan konflik dengan norma UU yayasan yang mengatur pencabutan status badan hukum melalui putusan pengadilan,” papar Ronald dalam sebuah diskusi di Tebet, Jakarta Selatan, Senin (20/11).
Adapun perubahan aturan dari penghentian sementara kegiatan dalam UU ormas, lanjut dia, hal itu menjadi penghentian kegiatan pada pasal 61 ayat 2 Perppu Ormas 2/2017 dan berimplikasi suatu organisasi tidak diizinkan melakukan kegiatan apapun, baik eksternal maupun internal. Artinya, pengambilan keputusan dalam penghentian kegiatan tidak secara objektif diimbangi dengan otoritas lain, dalam hal ini Mahkamah Agung.
“Hal ini jelas berpotensi diskresi yang sewenang-wenang dalam penghentian kegiatan suatu organisasi,” terangnya.
Lebih lanjut, Ronald menyatakan, ormas adalah bentuk yang sebetulnya tidak memiliki tempat dalam kerangka hukum di Indonesia, tapi dipaksakan karena kebutuhan rezim orde baru untuk mengontrol dinamika organisasi masyarakat, melalui penerapan konsep wadah tunggal. Dengan kata lain, Ormas bukanlah badan hukum, melainkan hanya status terdaftar berdasarkan surat keterangan terdaftar (SKT) yang diterbitkan oleh Dirjen Kesbangpol yang sekarang bernama Kementerian Dalam Negeri.
“Dari lembaga pengelola Pesantren, amil zakat, panti asuhan, rumah sakit, sekolah, organisasi kepemudaan, profesi, hobi, asosiasi atau perkumpulan keilmuan sampai paguyuban keluarga semuanya adalah Ormas,” ujarnya.
Ronald menegaskan, menempatkan Undang-Undang Ormas sebagai Undang-Undang payung hanya akan menambah panjang birokrasi, perizinan, dan mekanisme yang rumit dimana ujungnya akan mencederai ruang gerak kemerdekaan berorganisasi di Indonesia. Padahal Undang-Undang sudah memberikan jaminan kebebasan berserikat dan berkumpul.
“Jika negara hedak mengatur organisasi masyarakat, aturlah dalam kerangka hukum yang benar. LSM, NGO, CSO dan sejenisnya adalah suatu istilah praktik. Terminologi hukumnya selalu kembali kepada badan hukum Yayasan atau Perkumpulan,” tandasnya.
Menjadi organisasi yang profesional, transparan dan akuntabel, simpul Ronald, adalah cita-cita setiap organisasi. Reputasi organisasi ditentukan oleh kinerja dalam melayani anggota dan para pemangku kepentingan, bukan oleh Undang-Undang Ormas.
“Agenda revisi UU Ormas ini sebaiknya di desain lebih fundamental, dalam artian bentuk perkumpulan yang tidak berbadan hukum,” pungkasnya.
Ahmad Zuhdi