Paradigma sexual consent merupakan konsepsi yang bias dan ambigu, serta mengabaikan nilai-nilai agama dan sosial.
Wartapilihan.com, Jakarta – Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) resmi mengesahkan RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) menjadi UU. Pengesahan RUU TPKS dilakukan dalam Rapat Paripurna di Gedung Nusantara II, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (12/4/2022).
Ketua Aliansi Indonesia Cinta Keluarga (AILA) Rita Soebagio menilai pengesahan RUU TPKS menjadi undang-undang sangat berbahaya. Karena, masyarakat Indonesia diarahkan untuk menerima paradigma sexual consent yang secara implisit ada dalam RUU ini, yang justru bertentangan dengan UUD 1945.
Paradigma sexual consent merupakan konsepsi yang bias dan ambigu, serta mengabaikan nilai-nilai agama dan sosial. Sexual consent menganggap hubungan seksual yang amoral sekalipun, sepanjang dilakukan dengan persetujuan, merupakan domain pribadi sehingga negara tidak boleh intervensi mengatur hubungan seksual semacam itu.
“Paradigma tersebut sangat kontradiktif dengan Pancasila sebagai landasan ideologi Bangsa dan UUD 1945 sebagai dasar hukum tertinggi negara,” kata Rita dalam keterangan yang diterima redaksi, Selasa.
Rita memaparkan, sejumlah frasa bermasalah dan mengindikasikan relativisme moral, ditemukan dalam draft RUU TPKS, seperti frasa “keinginan seksual” dan frasa “berdasarkan seksualitas dan/atau kesusilaannya”. Begitu pula jenis-jenis tindak pidana kekerasan seksual pada Pasal 4 ayat (1) dan ayat (2) RUU TPKS, juga mengandung paradigma sexual consent, dan menggunakan istilah serta substansi yang rancu, antara lain: i) pemaksaan kontrasepsi; pemaksaan sterilisasi; iii) perbudakan seksual; iv). perbuatan yang melanggar kesusilaan yang bertentangan dengan kehendak korban; v) kekerasan seksual berbasis elektronik, vi) pemaksaan pelacuran.
“Implikasi atas ketentuan-ketentuan demikian, bukan hanya menimbulkan multi-interpretasi, tetapi juga memicu ketidakpastian dan ketidakadilan. Sebab, pada akhirnya, aktivitas seksual yang dapat dipidana menurut UU TPKS, hanya yang berbasis paksaan, kekerasan dan/atau bertentangan dengan kehendak seseorang,” ujarnya.
Padahal, realitas empiris menunjukkan, Indonesia bukan saja menghadapi darurat kekerasan tapi ‘darurat kebebasan seksual dan penyimpangan seksual’ yang dampaknya sangat mengkhawatirkan. Bahkan sebaliknya, muatan pasal 11 huruf (c) dinilai sangat ambigu dan berpotensi disalahgunakan untuk mengafirmasi serta melindungi perilaku seks bebas dan penyimpangan seksual. Apalagi di Indonesia belum ada aturan/ perundangan yang komprehensif dalam melarang seks bebas dan penyimpanan seksual.
RUU TPKS menegasikan fenomena perilaku seksual yang juga berbahaya seperti LGBT, seks anal hingga perzinahan yang menurut pandangan agama-agama di Indonesia, dinyatakan sebagai ‘kejahatan yang mengandung dosa’ atau ‘sexual evil’, dengan alasan telah dan akan diatur dengan undang-undang lain.
Akan tetapi, pada saat yang sama mengafirmasi tindak pidana lain yang diatur dalam suatu undang-undang, seperti kekerasan dalam lingkup rumah tangga berdasarkan UU Nomor 23 Tahun 2004. DPR RI sesungguhnya mendapat amanah dari Mahkamah Konstitusi (MK) atas Putusan Uji Materiil perkara No 46/PUU-XIV/2016 KUHP Pasal 284, 285, dan 292 untuk melahirkan UU yang dapat mengatur tindak pidana kesusilaan secara komprehensif. Oleh karena itu, sudah sepatutnya UU TPKS mengatur kekosongan hukum tersebut.
“UU TPKS menghapus norma agama/norma iman dan takwa serta akhlak mulia yang diusulkan sejumlah fraksi di DPR berdasarkan masukan dari berbagai tokoh dan kelompok masyarakat sebagai salah satu asas dalam UU,” katanya.
Andaipun, di dalam UU, nilai ketuhanan diakomodir pada bagian konsideran huruf b, rumusannya tidak lazim sebagaimana sila pertama Pancasila, ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’, maka wajar jika dipertanyakan. Oleh karena itu, UU TPKS dinilai masih mengadopsi nilai-nilai sekuler-liberal terkait isu seksualitas karena mengabaikan norma-norma agama yang hidup dalam masyarakat Indonesia.
Frasa ‘sensitivitas gender’ sebagai syarat bagi seorang pendamping korban pada Pasal 26 ayat (3) huruf a dalam RUU TPKS tidak jelas batasan dan tujuannya, sehingga berpotensi menimbulkan multi-interpretasi. Syarat tersebut justru menunjukkan secara jelas pengaruh feminisme dalam RUU TPKS. Adanya syarat berperspektif HAM berbasis Pancasila bagi pendamping korban, seharusnya sudah cukup representatif, karena undang-undang ini tidak hanya ditujukan bagi satu jenis warga negara saja tetapi bagi semua warga negara.
Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka UU TPKS jelas melanggar asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan dalam UU No.12 tahun 2011 sebagaimana diubah dengan UU No.15 tahun 2019, yaitu, asas kejelasan tujuan, kejelasan rumusan, keadilan, ketertiban dan kepastian hukum. Dengan demikian, UU ini juga bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945.
“Oleh karena itu, AILA Indonesia dengan tegas menolak disahkannya draft RUU TPKS karena dinilai tidak komprehensif dan mengandung paradigma sexual consent yang problematis,” ujar Rita.