Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)
Kasus “rendang babi” sempat menjadi perbincangan hangat di tengah masyarakat. Pro-kontra bermunculan. Secara hukum, tidak ada larangan untuk membuat masakan rendang dari babi. Setahu saya, juga tidak ada pasal dalam KUHP yang melarang seorang membuat rendang dari daging kadal atau daging monyet.
Wartapilihan.com, Bogor– Tetapi, kasus ini sepatutnya bukan hanya dilihat dari aspek legal formal. Perlu juga disimak dalam perspektif adab berbudaya. Bagaimana pun, rendang sudah menyatu dengan adat Minang yang memiliki semboyan “adat bersendi syara’dan syara’ bersendi kitabullah.”
Rendang telah menjadi simbol identitas budaya Minang. Budaya Minang pun sudah menyatu dengan syariat Islam. Islam dan Minang sudah mengintegrasi secara budaya. Karena itulah, pada umumnya, setiap muslim akan merasa nyaman makan di Rumah Makan Padang. Tak terpikir akan ada menu rendang babi atau rendang monyet di restoran Padang. Karena itu, pembuatan dan promosi rendang babi tentu saja bisa dipandang mencederai identitas budaya Minang.
Hal senada bisa diterapkan pada kasus makanan lainnya. Misalnya, Soto Madura. Masyarakat Madura sudah dikenal sebagai masyarakat muslim. Budayanya sangat menghormati ulama. Karena itu, hingga kini, saya belum pernah menjumpai ada rumah makan yang menyajikan Soto Madura Daging Babi. Mungkin ada, tetapi saya belum jumpa.
Jadi, identitas budaya memang perlu dihormati dalam kehidupan bermasyarakat. Bukan hanya soal makanan. Masalah baju, bangunan rumah ibadah, istilah keagamaan, pun bisa menjadi identitas budaya yang perlu dihormati.
Sebagai contoh. Peci hitam dan baju taqwa sudah identik dengan budaya Islam. Jika ada jemaat gereja tertentu yang menggunakan seragam baju taqwa dan peci hitam, tentu bisa memunculkan keterkejutan budaya. Bagaimana sikap umat Islam jika ada gereja di Jakarta memiliki kubah seperti kubah masjid dan menggunakan nama “Gereja Wali Songo”? Masih ingat, protes umat Islam yang menolak penggunaan nama KH Abdullah bin Nuh untuk nama sebuah Gereja di Bogor? Akhirnya, nama “Gereja Abdullah bin Nuh” pun dibatalkan.
*****
Masalah simbol atau identitas bagi suatu agama atau budaya merupakan hal yang penting dan terkadang juga sensitif. Kaum Hindu di Bali melakukan protes ketika simbol-simbol dan identitas agamanya direbut oleh kaum Kristen. Sebab, menurut mereka, identitas Hindu dibajak untuk tujuan pengkristenan orang Hindu.
Majalah Media Hindu, (edisi November 2011) menulis tentang masalah ini: “Sebenarnya bahaya laten yang seolah tidak kelihatan tapi jauh lebih berbahaya adalah upaya-upaya sistematis orang-orang Kristen untuk menjadikan seluruh penduduk Bali menjadi pengikut Yesus (menjadi Kristen) dan saat ini pun masih berjalan terus. Penampilan fisik yang sama dengan pura, memakai upacara mirip “Hindu Bali” bisa menyesatkan orang-orang Bali beragama yang umumnya lugu dan toleran. Lebih lagi bila sebutan tuhan yang disembah di “Pura Gereja” ini dimirip-miripkan dengan Tuhan orang Hindu Bali, misalnya Sang Hyang Yesus, Sang Hyang Allah Aji, Ratu Biang Maria, misalnya.”
Tahun 2011, Penerbit Paramita Surabaya, menerbitkan buku berjudul “Membedah Kasus Konversi Agama di Bali: Kronologi, Metode, Misi dan Alasan di Balik Tindakan Konversi Agama dari Hindu ke Kristen dan Katolik di Bali serta Pernik-pernik Keagamaan di Dunia”, karya Ni Kadek Surpi Aryadharma.
Penulis buku ini mengkritik penggunaan atribut kebudayaan Hindu Bali dalam aktivitas keagamaan Kristen: “Jika dicermati, sesungguhnya apa yang dilakukan oleh umat Kristen di Bali adalah keliru. Sebab dalam aturan yang disepakati oleh lembaga-lembaga agama dan pemerintah telah ditentukan tidak boleh mengambil tatanan ibadah dari agama lain. Karena itu orang Kristen di Bali mestinya tidak mengambil simbol-simbol keagamaan Hindu.” (hal. 55). “…karena itu budaya agama Hindu itu 100% tidak boleh digunakan oleh orang Kristen.” (hal. 260).
Salah satu yang diprotes kaum Hindu tadi adalah penggunaan istilah Hindu untuk menyebut Tuhan kaum Kristen, seperti “Sang Hyang Yesus”, “Sang Hyang Allah Aji”, “Ratu Biang Maria”, dan lain-lain.
Salah satu yang sempat menjadi perdebatan hebat di Malaysia dan Indonesia adalah penggunaan kata Allah untuk menyebut Tuhan dalam agama Kristen. Pemerintah Malaysia melarang kaum Kristen menggunakan kata Allah untuk menyebut Tuhan mereka. Sebab, Allah adalah nama Tuhan yang resmi disebut dalam al-Quran. Allah – dalam al-Quran – memiliki sifat-sifat tertentu yang tidak bisa diberi sifat sembarangan. Misalnya, Allah sendiri yang menjelaskan sifat-sifat-Nya, bahwa Dia tidak beranak dan tidak diperanakkan; bahwa Dia tidak serupa dengan sesuatu pun.
Sementara itu, kitab kaum Kristen – baik Perjanjian Lama (bahasa aslinya Ibrani) dan Perjanjian Baru (bahasa aslinya Yunani Kuno) – memang tidak menyebut nama Tuhan mereka. Karena itulah, dalam tradisi Kristen, tidak ditemukan penyebutan nama Tuhan yang baku, sehingga mereka boleh menyebut Tuhan mereka, sesuai dengan tradisi atau kemauan mereka.
Pendeta A.H. Parhusip, dalam sebuah buku kecil yang ditulisnya, dengan judul Waspadalah terhadap Sekte Baru, Sekte Pengagung Yahweh (2003), menulis tentang kebebasan menyebut nama Tuhan ini: ”Lalu mungkin ada yang bertanya: Siapakah Pencipta itu dan bagaimanakah kalau kita mau memanggil Pencipta itu? Jawabnya: Terserah pada Anda! Mau panggil; Pencipta! Boleh! Mau panggil: Perkasa! Silahkan! Mau panggil: Debata! Boleh! Mau panggil: Allah! Boleh! Mau panggil: Elohim atau Theos atau God atau Lowalangi atau Tetemanis…! Silakan! Mau memanggil bagaimana saja boleh, asalkan tujuannya memanggil Sang Pencipta, yang menciptakan langit dan bumi… Ya, silakan menyebut dan memanggil Sang Pencipta itu menurut apa yang ditaruh oleh Pencipta itu di dalam hati Anda, di dalam hati kita masing-masing. Lihat Roma 2:14-15.”
Kaum Kristen punya tradisi sendiri dalam menyebut nama Tuhan mereka. Itu berbeda dengan umat Islam yang memiliki panduan yang ketat dalam menyebut nama Tuhan. Agama-agama lain pun punya tradisi sendiri. Untuk menjaga keharmonisan hidup bermasyarakat berbangsa dan bernegara, sepatutnya masalah yang muncul diselesaikan dengan musyawarah, dengan cara seksama dan dalam tempo sesingkat-singkatnya. Wallahu A’lam bish-shawab. (Bogor, 24 Juni 2022).