Indikatornya, empat kata kunci yang paling banyak diburu: seksualitas, perempuan, kekerasan dan bullying.
Wartapilihan.com, Depok – Peradaban macam apa yang tengah terjadi pada literasi masyarakat Indonesia? Begitu tanya Tri Shubhi Abdillah kepada para hadirin, setelah memaparkan data empat kata kunci yang paling dicari pada internet, di Aula Selatan Masjid Ukhuwah Islamiyah, Depok, Universitas Indonesia, Jum’at sore, (9/6). “Kita (kalau begitu) hanya memenuhi hasrat-hasrat primordial,” ujarnya.
Shubhi menambahkan, pola bahasa masyarakat Indonesia menjadi sangat lembek, cenderung malas berpikir, juga malas menyusun hal-hal yang abstrak. “Saya pernah lihat di Facebook, ada yang mengatakan ‘Allah itu keren’, atau ‘Nabi itu asik’. Umat ini mengalami masalah besar dalam keaksaraan,” paparnya yang disambut tawa geli hadirin.
Pimpinan Redaksi Nuun.id ini berkata, kemampuan berbahasa menunjukkan kemampuan berpikir kita. Anak SD hanya mengenal rumus kali bagi kurang tambah. Anak SMA, tentu akan mengenal istilah integral, yang notebene lebih tinggi. “Kita berpikir dengan bahasa, berdebat dengan bahasa, bahkan berdoa dengan bahasa,” terangnya.
Apa rupanya yang menyebabkan kemampuan literasi masyarakat Indonesia kian memburuk? Rupanya, hal ini pada jauh-jauh hari telah diwanti-wanti oleh seorang sastrawan Indonesia, Taufik Ismail. Shubhi menjelaskan, kala itu, Taufik Ismail berkata pada Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, sastra perlu dikembangkan di sekolah-sekolah. Kemudian, sang menteri berujar, “Mana datanya?” Maka Taufik memaparkan data tentang tingkat kewajiban membaca novel di berbagai negara.
“Lima judul novel direview setahun di Thailand. Di Perancis, 30 karya sastra mesti dihabiskan siswa selama 3 tahun di bangku SMA. Di Belanda, wajib membaca 20 buku,”
“Di seluruh SMA di Indonesia, membaca buku sastra adalah 0. Kita telah kalah oleh Malaysia dan Vietnam yang mewajibkan membaca 6 buku per tahunnya,” paparnya secara miris.
Shubhi mengungkapkan, para pendahulu bangsa seperti Hamka, Natsir, Soekarno, dan juga Hatta, adalah pembaca sastra yang kuat. Amien Rais pun berujar, “Kalau Anda membaca kurang dari 150 halaman per hari, masa depan bangsa ini akan suram.” Shubhi menekankan, betapa pentingnya generasi penerus diwajibkan membaca buku sastra. Pasalnya, sastra mengasah kemampuan berpikir dan berbahasa.
Meski demikian, pembina Depok Islamic Study Center Masjid UI (DISC UI) ini mengatakan, tidak boleh mengeluh akan keadaan ini dan juga tetap optimis. Sebab, kita tak pernah dituntut oleh Allah untuk berhasil, melainkan terus-menerus berikhtiar dengan tulus.
“Allah mudah saja membuat Indonesia jadi negeri Islam, baldatun thayyibatun wa Rabbun ghafuur, subur makmur gemah ripah loh jinawi. Mengapa Allah memberikan ujian ini kepada kita? Peradaban itu Allah pergilirkan, sebagai ujian bagi kita,”
“Menerima semua takdirnya dan harus terus berikhtiar. Mencoba bersemangat belajar menulis, membaca, hal yang penting ialah menyimak. Kita ada dalam krisis menyimak,” tandasnya.
Menurutnya, sekacau apapun dunia, para peminat ilmu tidak akan habis. Shubhi mengajak untuk tetap melihat hal-hal baik yang ada di negeri ini. “Keinginan untuk membaca dan mengkaji tumbuh. Yang jadi masalah, kita hanya belum kompak saja mengelola semua ini,” pungkasnya. [Eveline Ramadhini]