Truk sampah itu parkir di jalanan kecil di sebuah komplek perumahan di Bojong Kulur, Kabupaten Bogor. Supirnya kelihatan hampir putus asa melihat sampah campur lumpur yang menumpuk di depan rumah setiap warga. Kapasitas truk sudah pasti takkan mampu memindahkan sampah-sampah tersebut dalam sekali angkut.
Wartapilihan.com, Bogor– Saya baru saja melemparkan bongkahan sampah terakhir dari depan sebuah rumah yang sekaligus pesantren. Lima santrinya kelelahan. Saya salami dan tanya sedikit sampai mana air menggenangi rumah mereka. “Tuh Pak,” tunjuk seorang dari mereka. Bekas batas air mencapai plafon rumah.
Di seberang pesantren, kru sampah bersama 2-3 warga plus saya dan beberapa relawan mulai mengangkuti sampah di rumah seorang ibu, yang saya ketahui kemudian bermarga Simanjuntak (saya tahu nama lengkapnya, tapi baiknya disamarkan). Mereka berasal dari Tarutung, Sumatera Utara. Tahu kalau saya juga dari provinsi sama, mereka lumayan terbuka.
Wajah Bu Simanjuntak sama seperti kebanyakan warga: lelah, sedikit gundah. Adik lelaki si ibu sempat bincang dengan saya, dan melontarkan keresahannya karena tak bisa berbuat banyak sejak 4 hari silam akibat kekurangan tenaga yang membantu. Semua warga sudah kelelahan memberesi rumah, sampah, dan lumpur di kediaman masing-masing.
Hampir seluruh barang keluarga ini rusak. Ranjang kayu, kasur, bantal, selimut, hingga CPU komputer, buku-buku, lemari, dan sebagainya. “Tak tersisa, Pak,” kata Bu Simanjuntak, lirih. Semua kami angkut bergotong-royong ke bak truk. Supirnya terus cemas. “Sudah penuh belum, Mas? Saya khawatir nanti truk ini tak bisa keluar komplek dan sampah-sampahnya nyangkut atau berceceran di jalanan,” katanya kepada saya.
Tak sengaja, mata saya melihat onggokan sampah yang warna-warni, bersalut lumpur tebal. Itu pohon Natal. Saya tanya spontan ke Bu Simanjuntak, “Bu, pohon natalnya habis semua?”
Wajahnya lebih sedih lagi. “Ya, mau bagaimana lagi, Pak?” balasnya. Saya reflek saja mencoba menghibur si ibu dengan mengatakan padanya bahwa harta kita datang dari Tuhan Yang Mahaesa. Jika harta diambil kembali lewat berbagai jalan, mudah-mudahan kita sabar. “Nanti mudah-mudahan Ibu dapat lebih harta pengganti lebih baik,” kata Saya.
Tak dinyana, ia mengangguk dan senyum. Merasa terhibur. Mudah-mudahan saja.
Ketika pamit, berikut truk sampah yang berjalan pelan terseok-seok kepenuhan beban, si ibu dan adiknya menyampaikan terima kasih. Meski sudah berkali-kali turun di operasi tanggap darurat bencana di Indonesia, perasaan seperti ini amat susah dilukiskan. Perasaan bahwa kita mampu saling memanusiakan manusia.
Jalan sekitar satu kilometer balik ke pos transit.
Pada akhirnya, saya, Bu Simanjuntak dan keluarganya, adalah manusia yang punya perasaan sama. Kali ini saya beruntung dapat membantunya, walau tak seberapa. Lain waktu, mungkin uluran tangan Bu Simanjuntak, Mas Theodorus, atau Bli Wayan di tempat lain, yang membantu saya ketika tengah terkena musibah.
Kita semua Indonesia. Saya sedih jika ada yang gagal berfikir demikian. (ah)
Catatan: ini refleksi pribadi saat turun membantu di kawasan terdampak banjir di Kab Bogor dan Bekasi, pekan lalu.
Ahmad Husein (Tim Aksi Relawan Mandiri, HA IPB)