Prabowo Menghidupkan Kembali Ruh Keadilan Prof Kasman Singodimedjo

by
foto:istimewa

Oleh: Dr (c) Jaka Setiawan

 

Luar biasa, pidato Presiden Prabowo pada 20 Oktober 2025 di Kejaksaan Agung. Pidato tersebut bisa dibaca sebagai “kebangkitan kembali semangat Kasman Singodimedjo” dalam konteks modern. Keduanya berbicara dari zaman yang berbeda, tetapi memiliki roh keadilan yang sama: hukum harus berjiwa tauhid, berlandaskan akhlak, dan berpihak kepada manusia — terutama rakyat kecil yang lemah dan tertindas kaum mustadh’afin.

 

Prof Kasman Singodimedjo (1904–1982) adalah salah satu tokoh generasi perintis Republik, alumnus Rechts Hoge School (Sekolah Tinggi Hukum) Batavia, anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang turut menandatangani Piagam Jakarta dan juga Pendiri Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII).

 

Ketika ditunjuk menjadi Jaksa Agung pertama RI pada 19 Agustus 1945, beliau memikul tugas berat: menegakkan hukum dalam negara yang baru lahir, di tengah situasi revolusi bersenjata, kekacauan sosial, dan transisi sistem hukum kolonial ke sistem nasional.

 

Dalam konteks ini, Kasman menyadari bahwa hukum positif semata tidak cukup. Ia harus memiliki roh moral dan spiritual agar tidak berubah menjadi alat kekuasaan.

 

Pernyataan Kasman ini merupakan kritik terhadap positivisme hukum yang hanya menilai hukum dari sisi formal — apa yang tertulis dalam undang-undang — tanpa mempertimbangkan dimensi moral dan keadilan substantif.

Prof Kasman Singodimedjo kurang lebih sering menekankan bahwa:

 

Negara hukum Indonesia bukan negara hukum yang kering, tetapi negara hukum yang berjiwa Ketuhanan Yang Maha Esa.”

 

Dengan demikian, hukum tidak boleh berhenti pada legalitas (what is written), tetapi harus mencapai legitimasi moral (what is right) — yaitu hukum yang berakar pada nilai-nilai ilahiah, keadilan, dan kemanusiaan.

 

Delapan puluh tahun setelah Prof. Kasman Singodimedjo menjadi Jaksa Agung pertama, Presiden Haji Prabowo Subianto menggemakan kembali nilai yang sama di hadapan para jaksa dan hakim pada 20 Oktober 2025.

 

Dalam pidatonya, Presiden menegaskan:

 

“Jangan kriminalisasi sesuatu yang tidak ada untuk motivasi apa pun. Jangan mencari-cari perkara, apalagi terhadap orang kecil. Orang kecil hidupnya sudah sangat susah. Jangan diperberat.”

 

Ini adalah seruan moral, rule of moral conscience — hukum yang berakar pada akhlak, keadilan, dan ketuhanan.

 

Presiden Prabowo berbicara dengan nada yang sama seperti Prof. Kasman Singodimedjo dulu — menolak hukum yang kering dari nurani, hukum yang tumpul ke atas dan tajam ke bawah.

 

Ketika beliau mengecam penegakan hukum terhadap anak kecil mencuri ayam atau ibu mencuri pohon, beliau sedang menegaskan bahwa keadilan tanpa empati adalah kezaliman.

 

Dan disinilah pesan Prof. Kasman Singodimedjo dihidupkan kembali oleh Presiden Haji Prabowo Subianto: hukum tanpa akhlak kehilangan ruhnya; hukum tanpa kasih kehilangan arah; hukum tanpa tauhid kehilangan Tuhan.

 

Dalam kerangka inilah sy ingin mengaitkan dg puluhan kali pidato yang kami dengar langsung dari Dr KH Romo. R. Muhammad Syafii SH, MHum, Wakil Menteri Agama Kabinet Merah Putih.

 

Beliau selalu memberi penjelasan filosofis yang memperkaya langkah program Presiden Prabowo.

 

Romo Syafii menjelaskan bahwa Pancasila sebagai sistem nilai yang menjiwai seluruh kehidupan berbangsa dan bernegara, di mana sila pertama — Ketuhanan Yang Maha Esa — adalah causa prima, sumber segala nilai yang lain.

 

Menurut Romo Syafii, sila pertama bukan sekadar bagian dari Pancasila, tetapi jiwa yang menghidupkan semuanya. Artinya, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan sosial hanya bermakna apabila dijalankan dalam terang nilai-nilai Ketuhanan.

 

Dengan demikian, apa yang dulu diajarkan oleh Prof. Kasman Singodimedjo, kini menemukan gaungnya kembali dalam kepemimpinan Presiden Prabowo.

 

Mereka menegaskan hal yang sama:

 

Bahwa keadilan sejati lahir dari akhlak; dan hukum yang benar adalah hukum yang menolong rakyat kecil.