Baru-baru ini dikabarkan dari Kabupaten Luwu, Sulawesi Selatan, seorang siswi Sekolah Menengah Pertama (SMP) diperkosa oleh 21 orang, di antaranya termasuk anak-anak. Bagaimana pandangan psikologis terhadap korban yang diperkosa, juga anak-anak yang memperkosanya?
Wartapilihan.com, Jakarta –Generasi jaman now. Begitulah frasa negatif yang sering dilontarkan kepada remaja jaman sekarang, dengan segala kemelekan teknologi canggih.
Terdapat sisi negatif dan juga positif dalam waktu bersamaan. Bagai dua belah mata pisau, kecanggihan teknologi dapat bermanfaat, di sisi lain juga dapat bermudarat karena tak sesuai dengan norma yang ada.
Salah satunya, seperti adanya pemerkosaan yang dilakukan secara masal oleh 21 orang, bahkan di antaranya berupa anak-anak. Ada seorang anak berusia 13 tahun yang akhirnya dipulangkan karena masih di bawah umur.
Sherly Meydia Ova sebagai psikolog anak menjelaskan, banyak dampak yang dapat terjadi bagi perempuan yang diperkosa. Menurut dia, akan terjadi pengalaman traumatis yang membuat korban depresi hingga bisa bunuh diri.
“Dampak yg kemungkinan dapat terjadi adalah pengalaman traumatik bagi korban, perasaan tidak berharga/menurunnya self-esteem dari diri korban, dan jika berdampak parah akan dapat membuat korban depresi bahkan memiliki kecenderungan untuk bunuh diri,” papar Sherly, kepada Warta Pilihan, Rabu malam, (26/10/2017).
Sedangkan bagi anak sebagai pelaku pemerkosaan, mereka akan mendapatkan sanksi sosial dari orang sekitarnya dan itu juga dapat menimbulkan perasaan bersalah pada diri mereka. Perasaan tidak berharga tersebut, lanjut Sherly, juga cenderung ditandai dengan penilaian negatif terhadap diri sendiri.
“Namun, kemungkinan akan muncul jg intensi untuk mengulangi kembali kejadian tersebut atau menjadi terokupasi pada hal-hal seksual, karena seksualitas tidak lagi menjadi hal yg asing bagi mereka,” terang Sherly.
Lulusan sarjana Psikologi Universitas Indonesia ini menegaskan, anak yang usia 13 tahun dan dipulangkan tentu harus diberikan pembinaan dan pengawasan dari lingkungan sekitarnya, salah satu caranya ialah dengan memantau kegiatan anak secara intensif.
“Selalu ada sisi positif dan negatif atas kepulangan tersangka di bawah umur dari penjara. Sisi positifnya, mereka dapat meraih kembali masa depan mereka dan berubah menjadi sosok yg lbh baik lagi,” tutur dia.
“Namun sisi negatifnya, jika tidak diberikan pengawasan dan pembinaan, anak tersebut dapat melakukan kembali perkosaan dan perilaku kriminal lainnya,” lanjut Sherly.
Alih-alih menghakimi dan memberi stigma, penemu Komunitas Anak Pintar ini menekankan, sebaiknya masyarakat mendampingi anak tersebut; juga menjadi kawan bercerita dan mengawasi tindakan sang anak.
“Semisal korban, jangan sampai ia menjadi depresi untuk bunuh diri, atau sebagai pelaku, mengawasi ruang geraknya termasuk pergaulan agar tidak kembali memunculkan peluang untuk memperkosa lagi,” tandasnya.
Sementara itu, Reza Indragiri Amriel sekali aktivis Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI) mengatakan, UU tentang Sistem Peradilan Pidana Anak masih belum adil dan seharusnya dapat direvisi. Menurutnya, anak-anak yg melakukan terorisme, pembunuhan, perkosaan, dan penculikan semestinya mendapat perlakuan layaknya pelaku dewasa.
“Ini bejat, rusak. Tapi apa boleh buat, sekeji apapun para pelaku, krn kita kadung pny UU Sistem Peradilan Pidana Anak, kita tampaknya harus siap menerima kenyataan bahwa kelak pelaku yg diperkirakan msh berusia kanak-kanak itu tidak akan mendapat hukuman seberat yang publik angankan,” papar Reza.
Ia mengkhawatirkan nasib korban yang di dalam UU Perlindungan Anak diatur, yakni anak yang berupa korban berhak mendapatkan restitusi berupa ganti rugi dan juga rehabilitasi.
“Persoalannya, berapa besaran restitusi bagi korban tersebut? Bagaimana jika para pelaku tidak sanggup membayarnya? Akankah negara mengambil alih tanggungjawab itu menjadi kompensasi bagi korban?” tandasnya.
“Juga, dengan pencederaan fisik dan psikis sedemikian parah, sudah sepantasnya korban memperoleh rehabilitasi sepanjang hayat,” pungkas Reza.
Eveline Ramadhini