Wajibkah Sertifikasi Halal?

by

Menurut Elvina, ketetapan Sertifikasi Halal wajib untuk semua barang gunaan yang beredar di NKRI ini, sangat memberatkan. Terutama untuk industri kecil dan rumah tangga. Sekalipun prosesnya bertahap, dimana prioritas utama adalah produk makanan dan minuman.

Wartapilihan.com, Jakarta — Wakil Direktur LPPOM MUI Muti Arintawati, mengatakan bahwa setelah UU JPH diimplementasikan, Halal akan menjadi wajib di Indonesia, setiap produk yang masuk ke Indonesia harus jelas kehalalannya, kecuali yang memang dimaksudkan sebagai barang haram.

“Perusahaan tidak perlu khawatir untuk mengimplementasikan halal karena itu butuh waktu, karena setelah sertifikasi halal diwajibkan dan BPJPH beroperasi penuh, LPPOM MUI pun tetap akan melakukan sertifikasi halal, dan sertifikat halalnya pun akan tetap berlaku sampai masa berlakunya habis atau diperpanjang lagi,” tegas Muti.

LPPOM MUI sebagai lembaga Sertifikasi Halal akan terus melakukan tugasnya selama ini, jadi perusahaan yang ingin mensertifikasi produknya tidak perlu khawatir dan menunggu sampai UU JPH ini benar-benar diimplementasikan.

“Subtansi halal tidak akan berubah, standard maupun fatwanya, bahkan pemerintah akan memperkuat posisi MUI, hanya saja sertifikasi halal akan dilakukan juga oleh lembaga sertifikasi halal lainnya,” tegas Muti.

LPPOM MUI tetap akan melakukan sertifikasi halal, saat ini sebelum UU JPH diimplementasikan sampai seterusnya,  keputusan fatwapun masih dibawah MUI.

Saat ini LPPOM MUI memiliki 1.058 auditor di seluruh Indonesia dan 3 auditor lokal China untuk melakukan audit sertifikasi halal. Cina merupakan mitra perdagangan paling tinggi diatas Amerika Serikat, Jepang. India dan Singapura. Juga negara kedua dengan jumlah sertifikasi halal terbesar dibawah Indonesia.

Seperti halnya training Sertifikasi Halal lain yang telah diadakan sebelumnya, training ini juga diselenggarakan oleh Indonesia Halal Training Education Centre (IHATEC). IHATEC sendiri merupakan institusi yang melakukan training dan edukasi meliputi seluruh aspek halal termasuk produk halal, pelayanan halal, gaya hidup halal, dan seluruh aspek lainnya terkait halal.

Sementara, pengamat halal Elvina Rahayu Wiyono mengatakan pemerintah seharusnya memaknai UU No. 33 tahun 2014 tentang JPH tidak terbatas hanya mengurusi soal sertifikasi. Karena jaminan produk halal tidak hanya sebatas sertifikasi. Sertifikasi itu bisa diberikan kepada lembaga privat/swasta sesuai dengan UU, tetapi Jaminan produk halal yang memiliki kewenangan adalah pemerintah, karena memiliki kekuasaan /law enforcement

“Sertifikasi itu tidak perlu wajib, tetapi yang wajib adalah jaminan produk halal,” kata Wakil Kepala Lembaga Sertifikasi Keamanan Pangan LT IPB ini di Jakarta, Senin (21/1).

Menurut Elvina, ketetapan Sertifikasi Halal wajib untuk semua barang gunaan yang beredar di NKRI ini, sangat memberatkan. Terutama untuk industri kecil dan rumah tangga. Sekalipun prosesnya bertahap, dimana prioritas utama adalah produk makanan dan minuman.

“Coba Anda bayangkan bagaimana caranya mensertifikasi bakso keliling dan tukang gorengan? Coba tolong sampaikan caranya bagaimana,” ujarnya.

Elvina yang pernah berada di Lembaga sertifikasi halal selama 20 tahun itu, menyampaikan UU JPH dan turunannya jika hanya mendefinsikan bahwa JPH sebatas sertifikasi halal adalah sungguh kemunduran. Kemunduran langkah 30 tahun sebagaimana usia berdirinya LP POM MUI sebagai lembaga sertifikasi halal yang diakui oleh pemerintah.

Menurut dia, jaminan produk halal adalah wajib untuk Umat Islam di Indonesia, karena persentase umat Islam di Indonesia sebagai mayoritas, maka sudah sewajarnya pemerintah menjamin kehalalan bagi konsumen Muslim Indonesia.

“Nah jika negara ingin hadir untuk menjamin hak konsumen muslim Indonesia melalui UU JPH, maka tepatnya bukan pada proses sertifikasi. Melainkan jaminan peredaran produk daging, alkohol dan turunannya yang masuk dan beredar di Indonesia. Hulunya yang dijaga. Karena itu merupakan poin kritis dalam kehalalannya,” kata dia.

Elvina menambahkan, Indonesia sudah punya aturan teknis yang cukup rigid sebenarnya terkait dengan halal. Dia mencontohkan misalnya aturan Permentan no 34 tahun 2016 terkait dengan pemasukan karkas, daging, jeroan dana atau olahannya kedalam wilayah NKRI. Aturan itu sudah ada, tinggal diberdayakan saja aturan yang ada itu. Pada tataran tersebutlah harusnya UU JPH berperan dengan cara standarisasi dan sertifikasi petugas yang melakukan fungsi tersebut.

“Saat ini fungsi karantina kita tidak jalan sepenuhnya. Makanya tidak heran kasus celeng masuk ke Jawa dari Sumatera kerap menjadi kejadian yang berulang. Karena peran karantina antar pulau kita lemah,” jelasnya.

“Kemudian kalau point point kritis itu tidak ada jaminannya, apakah kemudian Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) akan efektif melakukan tugas pemeriksaan? Siapa yang akan menjamin kehalalannya kalau ternyata pedagang kecil membeli daging di pasar?,” tanyanya.

Karena itu, ia menyarankan bahwa RPP JPH tidak hanya membatasi kegiatan JPH pada aktifitas sertfikasi. Sertifikasi itu bisa diserahkan pada lembaga pemeriksa yang kredibel melalui proses akreditasi.

“UU JPH juga seakan menggambarkan bahwa BPJPH adalah lembaga sertifikasi sekaligus akreditasi. Ini persoalan lain lagi yang membingungkannya,” katanya

Elvina yang merupakan alumni master professional teknologi pangan IPB, menyampaikan bahwa dirinya sangat berharap UU JPH mampu menaungi kepentingan konsumen muslim Indonesia terhadap jaminan produk halal. Dan jaminan itu bukan sekedar bertumpu pada sertifikasi halal.

“Tapi peran pemerintah untuk mengawasi, menjamin kompetensi dan mekanisme jaminan halal terhadap proses yang terjadi di pintu masuk NKRI serta aktifitas antar pulau yang terjadi terkait dengan jaminan halal,” pungkasnya.

Adi Prawira

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *