UU Ormas Masuk Prolegnas Prioritas

by
foto:zuhdi

Pada akhir Oktober 2017 lalu, Mendagri akan menyiapkan rancangan revisi UU Ormas pada awal 2018. Namun, hingga saat ini, belum ada keterangan resmi poin-poin apa saja yang akan dibahas. Bahkan, Organisasi HTI tidak pernah menerima surat peringatan terkait pembubaran.

Wartapilihan.com, Jakarta – Peraturan Pemerintah Pengganti Perundang-Undangan tentang Organisasi Masyarakat (Perppu Ormas) telah diketok palu pada 24 Oktober lalu di sidang paripurna DPR RI. Dari 10 Fraksi, 3 Fraksi menolak, 3 Fraksi menerima dengan catatan (revisi) dan 4 fraksi menerima 100 persen.

Komitmen dan semangat revisi tersebut seharusnya dimasukkan ke dalam Prolegnas (program legislasi nasional) Prioritas 2018. Namun, pagi tadi, Senin (20/11) DPR tidak memasukkan Perppu Ormas ke dalam Prolegnas Prioritas karena belum memiliki Nomor Undang-Undang. Selain itu, syarat untuk masuk ke dalam Prolegnas adalah memiliki naskah akademik dan draft RUU. Hal itu disampaikan politisi PPP Arsul Sani dalam sebuah diskusi di Tebet, Jakarta Selatan, Senin (20/11).

“Tetapi hal itu menjadi catatan Badan Legislasi, apabila Perppu Ormas sudah memiliki nomor, maka akan otomatis menggantikan RUU Perubahan Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja di luar negeri. Sebab RUU itu (Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja di luar negeri) akhir Oktober lalu sudah disahkan,” papar Arsul Sani.

Arsul menjelaskan, pemerintah memiliki dua alternatif dalam memberikan treathment kepada Ormas yang dituduh anti Pancasila dan NKRI. Pertama, diberikan jangka waktu atau peringatan sebelum dilakukan pembubaran. Kedua, Undang-Undang Ormas harus dirubah dengan semangat pembinaan.

“Sebab, pemerintah adalah administrator pemerintahan. Sehingga tidak boleh berlaku represif,” jelasnya.

Selain itu, dia menyarankan pemerintah untuk tidak menjudge suatu organisasi dengan kacamata UU Ormas. Pemerintah, kata Asrul, harus mengajak seluruh stake holder dalam pengkajian. Sehingga pemerintah tidak dapat di cap sebagai rezim otoriter. Dalam teori hukum, apabila usulan revisi di atas 50 persen, maka diajukan Undang-Undang baru.

“Prosedur pembubaran tanpa Pengadilan menurut saya tidak dapat di toleransi. Seperti dalam RKUHP, tidak ada lagi kata penodaan atau penistaan agama, tetapi kita masukkan ke dalam kluster pembinaan. Karena itu, seharusnya aspirasi disampaikan ke Pemerintah agar dimasukkan ke dalam DIM (daftar inventarisasi masalah),” tandasnya.

Direktur LSM Imparsial Al Araf menambahkan, dalam dinamika bernegara dan reformasi, negara memberikan jaminan kebebasan berpendapat, berkumpul dan berserikat. Namun, ranah demokrasi harus memberikan batasan-batasan agar kebebasan tersebut tidak melanggar Undang-Undang.

“Undang-Undang Ormas ini membuat tumpang tindih antar penegak hukum. Sebab, berbeda antara UU Ormas dengan Yayasand oleh karena itu, politik hukum dengan mengembalikan pembubaran kepada pemerintah, sama saja kembali ke Orde Baru yang penuh dengan dimensi represifitas,” ujarnya.

Saat ini, DPR memasukkan 50 RUU dalam Prolegnas Prioritas 2018. Diantaranya, RUU Terorisme, RUU Masyarakat Adat, RUU Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah, RUU Kekerasan Seksual, RUU Larangan Minuman Beralkohol, RUU Pertembakauan, RUU Mahkamah Konstitusi, RUU Wawasan Nusantara, RUU Pendidikan Agama dan Pesantren, RUU Penyadapan, RUU Transaksi Uang Kartal, dan RUU Narkotika.

Ahmad Zuhdi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *