Ustaz Zaitun: Pemberitaan Umat Islam Tidak Seimbang

by
Zaitun Rasmin. Foto: Istimewa

“Bangsa Indonesia harus saling percaya, jangan sampai termakan propaganda oleh pemberitaan yang menyudutkan Islam dan umat Islam,” ujar Ustaz Zaitun.

Wartapilihan.com, Jakarta — Pasca peristiwa 11 September 2001, kaum muslimin selalu disematkan dengan stigma negatif seperti ekstrimisme, terorisme, radikalisme, dan intoleransi. Wakil Ketua Komisi Hubungan Luar Negeri MUI Ustaz Zaitun Rasmin tak menampik fenomena tersebut juga terjadi di Indonesia, kendati jumlahnya dapat dihitung dengan jari.

“Kalaupun ada pasti jumlahnya tidak banyak, hanya memang yang sedikit memberi dampak luar biasa, sehingga memerlukan perhatian. Kaum muslimin di Indonesia tidak berperilaku seperti itu, orang Indonesia murni tidak radikal, sangat toleran dan menjaga persatuan,” ujar Zaitun dalam sebuah seminar Penanggulangan Bahaya Ekstrimisme dan Terorisme di Indonesia di Jakarta, Rabu (3/10).

Meski perilaku ekstrimisme (ghuluw) kerap terjadi, ungkap Zaitun, stigma terorisme tidak boleh disematkan kepada kaum muslimin, terutama di Indonesia. Ia menduga ada konspirasi pihak tertentu yang sengaja menyematkan stigma tersebut kepada umat Islam.

“Coba saja lihat pemberitaan, jika yang berbuat adalah umat Islam, diberitakan secara masif, sedangkan orang non-islam selalu tidak dikaitkan dengan agama. Jadi kita harus benar-benar melihat media secara bijak,” kata dia.

“Tujuan (konspirasi) itu mungkin saja kepentingan ekonomi, menguasai umat Islam dan menguasai negeri-negeri kaum muslimin. Wallahu a’lam kita tidak tahu persisnya,” sambung pimpinan Wahdah Islamiyah itu.

Karena itu, saran Ustaz Zaitun, media Islam harus memberikan berita yang dapat menghapus stigma negatif, walaupun kekuatan media tidak berimbang. Selain itu, bangsa Indonesia harus saling percaya, jangan sampai termakan propaganda oleh pemberitaan yang menyudutkan Islam dan Umat Islam.

“Masyarakat yang mendapatkan isu terorisme jangan diterima mentah-mentah, kuliti dulu. Serahkan pada yang berwenang. Ada MUI dengan Badan Penanggulanham Ekstrimisme dan Terorisme (BPET), sehingga tidak satu suara saja. MUI Insya Allah dengan pengajaran akhlak mulia bisa diatasi, supaya tidak ada penyimpangan dalam masalah ini,” tandasnya.

Dalam kesempatan sama, Ketua GNPF-Ulama Ustaz Yusuf Muhammad Martak menjelaskan, stigma negatif seperti intoleransi, terorisme dan ekstrimisme adalah suatu labelling dari pihak Amerika.

“Umat Islam adalah umat yang rahmatan lil alamiin. Jadi (tuduhan-tuduhan) itu tidak benar semua. Contohnya seperti Al-Qaeda, ISIS, apakah organisasi yang dibuat umat Islam bisa besar seperti itu? Itulah yang dinamakan hidden agenda atau agenda besar konspirasi global,” ujar Yusuf.

Karena itu, lanjut dia, GNPF-Ulama akan berupaya meng-counter dengan stigma positif. Ia mencontohkan, jika umat Islam adalah biang terorisme, maka dengan jumlah prosentase umat Islam yang besar di Indonesia, setiap harinya akan terjadi perpecahan.

“Toh nyatanya adem-ayem kan? Tapi kenapa umat Islam selalu dipojokkan dengan ketidakadilan dan selalu diprovokasi. Nah, itulah yang akhirnya menimbulkan kemarahan. Itu bukan radikal, bukan terorisme,” ujar dia.

Senada dengannya, mantan Ketua Umum Persis KH Maman Abdurrahman menuturkan, ahlul kitab dari Yahudi dan Nasrani seperti digambarkan dalam Al-Qur’an selalu ingin membuat permusuhan dengan umat Islam. Salah satunya adalah dengan memberikan stigmatisasi negatif.

“Karena itu, sekarang bagaimana peran umat Islam kembali dakwah kepada tuntutan agama dengan cara-cara yang baik, membangun ukhuwah, baik ukhuwah Islamiyah, diniyyah dan wathaniyah. Kita sama-sama menjaga NKRI seperti yang dilakukan oleh para founding fathers, diantaranya Pak Natsir,” ungkap dia.

Mengenai internal Persis, ia menyarankan agar tetap menguatkan peran jam’iyyah dan jamaah. Selain itu, perlu diselenggarakan kajian secara intensif untuk santri lulusan pesantren agar tidak terbawa oleh faham yang menyimpang.

“Kita harus hati-hati. Al-Qur’an sudah menjelaskan agar kita selalu waspada dan menasehati atau berdebat dengan cara yang baik,” terangnya.

Sementara, Ketua Badan Penanggulangan Ekstremisme dan Terorisme (BPRET) Majelis Ulama Indonesia (MUI) Zainut Tauhid Sa’adi mengatakan, seminar ini diselenggarakan sebagai salah satu bentuk komitmen MUI dalam menjaga umat dan keikutsertaan dalam menyelesaikan persoalan kenegaraan dan kebangsaan, khususnya dalam penanggulangan radikalisme dan ekstremisme di Indonesia

“MUI sebagai wadah ulama, zuamma dan cendekiawan muslim dalam beberapa tahun belakangan ini, merasakan prihatin terhadap munculnya perilaku masyarakat yang mudah tersulut oleh tindakan radikal dan ekstrim,” kata dia.

“Apakah ini efek masyarakat era milenial? Era milenial dicirikan dengan penggunaan peralatan teknologi komunikasi dan informasi canggih, semisal smartphone dan internet,” imbuhnya.

Menurutnya, di era milenial juga muncul perilaku kategori baru seperti agresi, mudah tersulut emosi, atau bahkan menyerang orang lain.

“Perilaku radikal dapat berbentuk tindakan dan pernyataan verbal. Perilaku (tindakan) radikal berwujud segala tindakan atau perilaku radikal, menyerang, dan mengandung unsur kekerasan,” tandasnya.

Ahmad Zuhdii

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *