Gelatin dan kolagen yang banyak digunakan pada produk pangan maupun non-pangan sangat perlu diperhatikan karena memiliki peluang besar untuk menjadi haram daripada halal.
Wartapilihan.com, Jakarta — Ayub Su, Pimpinan LPPOM MUI Cina mengatakan, kebanyakan gelatin dan kolagen tidak halal karena seringkali dicampurkan antara gelatin dan kolagen yang terbuat dari campuran babi dan juga binatang ternak.
“Maka dari itu, muslim harus berhati-hati karena yang kita konsumsi sehari-hari, misalnya Anda sarapan pagi makan susu dan roti, apakah itu halal?” Kata Ayub, dalam Seminar Internasional ‘Assuring Halalness of Animal Protein’: From Slaughterhouse to Table’, Jum’at, (2/11/2018).
Permintaan dan juga kebutuhan gelatin ini sangat diminati oleh hampir seluruh negara, sedangkan bagi muslim belum begitu terakomodasi untuk memasok gelatin dan juga colagen yang halal untuk dikonsumsi.
“Dari daging sangat mudah dideteksi apakah itu haram atau halal. Tulang perlu dikaji terlebih dahulu. Tapi gelatin, sulit dideteksi karena seringkali antara yang haram dan halal dicampur,” terang dia dalam bahasa Inggris.
Hal tersebut turut dibenarkan oleh Muti Arintawati, Wakil Direktur LPPOM MUI. Dia mengatakan, sejauh ini, ada 116 perusahaan baik dalam maupun luar negeri yang menggunakan gelatin dalam produknya. Colagen banyak di produk kosmetika, sedangkan gelatin banyak digunakan untuk makanan.
“Gelatin yg digunakan sumbernya ada di beberapa negara, ada dari Thailand, Indonesia, Malaysia, Brazil, India dan Cina. Tapi, sayangnya kita masih bergantung ke luar, ternyata jumlah ketergantungan kita sangat tinggi terhadap gelatin,” jelas dia.
Di Indonesia, hanya ada 11 produsen, hanya dari MUI daerah karena kapasitas sangat kecil. “Selebihnya paling banyak ada di Cina,” pungkasnya.
Menurut Lukmanul Hakim selaku Direktur LPPOM MUI, titik kritis pada hewan protein
bisa ditentukan dari Fatwa dari MUI yang dipertimbangkan berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah dan juga melihat teknologi sains yang berkembang. Ia melihat, kendala sering terjadi pada masyarakat dalam memahami fatwa MUI karena masyarakat masih mengalami pemahaman terbatas
“Pasti ada kajiannya tidak akan terlepas dari Alquran dan Sunnah. Hanya saja, masyarakat dengan pemahaman yang terbatas mungkin tidak sampai sehingga banyak gagal paham.
Karena bidang yang jauh dijangkau masyarakat memerlukan sosialisasi yang mendalam. Komisi fatwa MUI sudah melakukan kajian mendalam dalam hukum penetapan fatwa,” tukas lelaki yang sudah25 tahun bekerja di LPPOM MUI ini.
Menurut dia, kolaborasi antara LPPOM MUI dengan fatwa MUI sangat hebat karena dirinya melihat, di luar negeri masih banyak fatwa yang hanya melihat pada teks tapi tidak melihat pada hal yang kontekstual.
“Komisi fatwa MUI yang terhebat di dunia karena yg saya temui selama perjalanan saya bertemu dengan lembaga fatwa belum akomodatif terhadap sains dan teknologi. Komisi Fatwa MUI justru lebih agresif dan moderat dalam mencari sains, malahan ada yg hobi terhadap teknologi,” pungkasnya.
Sementara itu, Asrorun Niam selaku Sekretaris Komisi Fatwa MUI mengatakan dalam kesempatan yang sama, bahwa pada dasarnya yang halal telah dijelaskan secara eksplisit di Al-Qur’an, dan terdapat juga yang dijelaskan secara tidak eksplisit.
“Namun ada juga yang syubhat, seiring teknologi pangan. Proses auditing penting untuk memastikan apakah ini halal atau haram. Ketemu tulang sapi belum tentu boleh, saat disembelih halal atau tidak? Kalau tidak benar ini disembelihnya berarti dia najis,” tukas dia.
Adapun proses hingga keluarnya sertifikasi halal, proses yang harus dilakukan yaitu produsen yg mengajukan minta fatwa terkait kehalalan produk.
“Setelah itu proses audit dari LPPOM MUI, terdapat report, setelah tuntas prosesnya ada fatwa komite, untuk kepentingan menjelaskan hasil audit, ada masalah atau tidak, kemudian terdapat keluaran berupa diterima atau tidak diterima,” pungkas dia.
Eveline Ramadhini