Tantangan Menulis Novel Sejarah

by
Dinar Kania Dewi ketika sedang mengisi materi dalam seminar tentang Andalusia dan Transmisi Ilmu dari Islam ke Barat bertajuk 'Ilmu dan Peradaban serta Peluncuran Novel Jejak Cahaya dan Air Mata', di Gedung Rabithah Alawiyah, Jakarta Selatan yang diselenggarakan oleh Kerjasama Ma'had 'Aly Hujjatul Islam, Rabithah Alawiyah, Yayasan Adab dan Insan Mulia, serta Nuun.id, Ahad, (10/9/2017).

Menulis idealis bermuatan sejarah bukan hal yang mudah. Pasalnya, menceritakan sejarah dalam kemasan cerita bukan sesuatu yang tren sekarang ini. Mengapa?

Wartapilihan.com, Jakarta –Dinar Kania Dewi, penulis novel Jejak Cahaya dan Air Mata ini membenarkan hal tersebut. Dewasa ini, konsumen pembaca lebih menyenangi novel bermuatan romansa percintaan dibandingkan novel yang sarat akan sejarah. Menurutnya, hal ini terjadi karena pemahaman yang dikonstruksi oleh media, sehingga luput memperhatikan bahwa sebenarnya terdapat problem besar dalam kehidupan daripada sekedar percintaan.

“Pemahaman itu terjadi karena dibentuk media, sekarang trennya seperti itu, cinta-cintaan. Kegalauan, percintaan, jadi orang hanya melihat yang kecil. Tidak bisa melihat ada problem besar di antara kita. Moral yang runtuh, dan sebagainya,” ungkap Dinar, ketika ditemui Warta Pilihan, Rabu, (13/9/2017), di Gedung Rabithah Alawiyah, Jakarta Selatan.

“Kita justru malah merayakan duka. Pusatnya kesitu. Media mendukung dengan gencar, akhirnya tren. Buku itu sekarang makin simpel, tidak seperti jaman dulu yang kompleks (materinya). Itu akhir nya jadi PR bagaimana menyelaraskan selera masyarakat dengan (idealisme) kita,” Dinar menambahkan.

Penulis yang memiliki nama pena Nexhma Sheera ini mengatakan, novel yang dibuatnya ini cenderung ringan, bisa dibaca oleh anak sekelas SMP maupun SMA. “Artinya bukan sesuatu yang berat-berat amat. Mereka butuh sesuatu yang lebih menantang. Tapi tren media membuat pasar begitu,” tandas Dinar.

Novel Jejak Cahaya dan Air Mata yang baru diluncurkan pada Minggu, 9 September lalu menekankan bahwa sejarah adalah hal yang fardhu ‘ain (wajib mutlak) bagi kehidupan. Pasalnya, hampir semua elemen ilmu memerlukan sejarah. Mulai dari sains, sosial, hingga ilmu agama. Ia mengajak pembaca agar sadar sejarah sebagai ilmu yang penting untuk masa depan agar bisa belajar darinya.

“Sains itu tidak bisa dilepaskan dari sejarah. Sosial juga lebih membutuhkan lagi. Belajar tafsir juga harus lihat sejarah konteksnya kenapa itu diturunkan. Untuk Islam saja sejarah penting. Jadi, sejarah itu jadi ilmu fardhu ain bagi kita. Karena tidak bisa dilepaskan. Novel yang sangat cair saja bisa dikemas dengan konteks sejarah,”

Perempuan yang sudah menyukai menulis sastra sejak lama ini telah menerbitkan dua novel, satunya lagi berjudul ‘Misi dari Langit’ yang juga bernuansa sejarah. Ia mengaku, tulisan-tulisannya telah lama mengendap di arsipnya hingga ada yang menawarkan untuk menerbitkannya.

“Novel ini sebenarnya sudah lama banget. Sebagian besar novel ini sudah dibuat sebelum S3 bahkan. Sebelum 2009 atau tahun 2008. Sempat 5 tahun novel itu tidak dikirim naskahnya. Jadi mengendap di rumah. Baru 2013 dibikin. Sudah setengah jalan, tapi saya pending karena S3,” ujar Dinar.

Perempuan yang sedang melakukan studi S3-nya pada bidang Pemikiran Islam di Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) dengan beasiswa ini mengatakan, dalam proses penerbitan dan penjualan novel ini, ia tidak memperhitungkan royalti, oleh pasal untuk kepentingan dakwah.

“Enggak ada ribut royalti, kepentingannya untuk dakwah. Untuk modal menyebarkan dakwah lagi, dibikin dalam waktu lama karena saya gak mau ke sembarang penerbit juga,” pungkas dia.

Dalam proses pembuatan novel ini, ia mengaku terinspirasi dari Majalah Islamia yang ia telah berlangganan sejak 2006. Hingga kini ia tak menyangka menjadi bagian dari INSISTS karena awalnya tidak mengenal guru-guru dari INSISTS. “Lewat (majalah) Islamia, sebelum kenal INSISTS justru pelanggan Islamia dari 2006. Tapi saya sendiri belum pernah ketemu INSISTS. Jadi awalnya pelanggan, tapi sekarang sudah jadi peneliti,” imbuh Dinar.

Eveline Ramadhini

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *