Ta’aruf Online Jadi Tren, Bagaimana Pandangan Syariat?

by

Kemajuan internet dan ponsel pintar ternyata tidak otomatis memberikan kesempatan kepada semua pihak untuk mendapatkan jodohnya. Kadang perlu peran orang lain atau teknologi sebagai mediator ta’aruf sebelum menikah. Bagaimana dengan ta’aruf online?

Wartapilihan.com, Jakarta – Tak ketinggalan, media sosial sebagai aplikasi yang banyak diminati generasi muda juga menyediakan berbagai platform, yang mirip dengan ‘biro jodoh online’. Bahkan tak sedikit dari mereka melanjutkan ke jenjang pernikahan. Dalam pandangan Islam, bagaimana hukum ta’aruf online?

Pakar telematika Dr Munawar menjelaskan, pada dasarnya ta’aruf sebelum nikah diperbolehkan dalam Islam. Hal ini sesuai dengan surat Al-Hujurat ayat 13 yang berbunyi:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَٰكُم مِّن ذَكَرٍ وَأُنثَىٰ وَجَعَلْنَٰكُمْ شُعُوبًا وَقَبَآئِلَ لِتَعَارَفُوٓا۟ ۚ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ ٱللَّهِ أَتْقَىٰكُمْ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ

“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal”. (QS Al-Hujurat: 13).

“Nah, tetapi ta’aruf berbeda dengan pacaran. Ta’aruf bisa dilakukan secara langsung dengan mempertemukan laki-laki dan perempuan dengan didampingi mahram untuk menghindari fitnah,” kata Dr Munawar dalam diskusi daring yang diselenggarakan Islamic Center Universitas Esa Unggul baru-baru ini.

“Persoalannya, di masa sekarang, karena sesuatu dan lain hal tidak semua orang memiliki keberuntungan melakukan ta’aruf sehingga dilakukan secara online atau melalui biro jodoh,” imbuhnya.

Karena itu penting ditekankan adab-adab dalam melakukan ta’aruf, termasuk dalam hal ini ta’aruf online. Pertama, diniatkan untuk ibadah, bukan untuk main-main. Kedua, lakukan proses ta’aruf dengan hanya satu wanita pada satu waktu. Sebagaimana hadits Nabi Saw:

“Janganlah salah seorang dari kalian meminang (wanita) yang telah dilamar oleh saudaranya, hingga pelamar sebelumnya meninggalkan si wanita atau memberi izin kepadanya.” (Muttafaqun ‘alaihi).

“Adab ketiga, tidak boleh berduaan tanpa mahram termasuk dengan video call. Ini yang harus menjadi perhatian, karena banyak yang setelah ta’aruf merasa leluasa,” ujarnya.

Menurut dia, hal tersebut termasuk ke dalam ikhtilath meskipun dilakukan secara virtual. Seperti sabda Nabi: “Jangan sampai kalian berdua-duaan dengan seorang wanita (yang bukan mahramnya), karena setan adalah orang ketiganya.” (HR. Ahmad dan dishahihkan Syu’aib al-Arnauth).

Keempat, miliki batasan yang jelas dari sisi lama waktu, informasi apa yang ingin diketahui dan hal-hal lain yang relevan sehingga jika tidak jadi menikah hubungan kedua belah pihak tetap bisa terjaga.

“Kemudian lakukan shalat istiharah karena kita tidak pernah tahu apa yang terbaik buat kita dan berikan jawaban yang jelas setelah masing-masing pihak memiliki tenggang waktu yang cukup untuk merenung dan berfikir,” ujar Munawar.

“Setelah ada jawaban yang tidak bertepuk sebelah tangan, lakukan tatap muka secara langsung. Dalam konteks ini jarak mestinya tidak menjadi kendala sebagai bukti keseriusan,” sambungnya.

Adapun terkait ketentuan melihat calon istri, Munawar berpendapat bahwa jumhur (mayoritas) ulama menyatakan sunnah melihat calon istri.

Dari Mughirah bin Syu`bah bahwa dia pernah meminang seorang perempuan. Kemudian Nabi SAW mengatakan kepadanya:`Lihatlah dia! Karena melihat itu lebih dapat menjamin untuk mengekalkan kamu berdua.` Kemudian Mughirah pergi kepada dua orang tua perempuan tersebut, dan memberitahukan apa yang diomongkan di atas, tetapi tampaknya kedua orang tuanya itu tidak suka. Si perempuan tersebut mendengar dari dalam biliknya, kemudian ia mengatakan: Kalau Rasulullah menyuruh kamu supaya melihat aku, maka lihatlah. Kata Mughirah: Saya lantas melihatnya dan kemudian mengawininya. (HR. Ahmad, Ibnu Majah, Tarmizi dan ad-Darimi)

Dalam padangan Hanabilah pun boleh melihat calon istri

عن جابر َال :َال رسول الله صل الله عليه و سلم (“اذا خطب احدكم المرءة ,فان استطاع ان ينظر منها ال ما يدعوه ال نكاحها فليفعل .)رواه احمد و ابو داود و رجاله ثقات و صححه الحاكم

Dari jabir RA berkata, Rasulullah SAW bersabda: “Apabila seorang di antara kalian meminang seorang wanita, sekiranya ia dapat melihat bagian tubuhnya yang mendorongnya untuk menikahinya, hendaklah ia lakukan” (HR. Ahmad, Abu Daud).

“Nah, tetapi harus diniatkan ingin menikah. Jumhur ulama (Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanabillah) mensyaratkan laki-laki yang melihat calon istrinya harus punya keyakinan bahwa wanita tersebut akan menerimanya,” katanya.

Sementara, jelas Munawar, Hanafiyah tidak mensyaratkan sejauh itu, namun sebatas ada niat menikahinya. Adapun batas yang boleh dilihat Jumhur ulama, yaitu wajah dan kedua tangan hingga pergelangan tangan boleh.

“Sedangkan Hanafiyah (pengikut Mazhab Hanafi) membolehkan melihat kedua kaki hingga mata kaki dan Hanabillah membolehkan melihat wajah, leher, tangan dan kaki, tidak boleh menyentuh, dan harus didampingi mahram,” ujarnya.

“Kalau ingin memastikan ada cacat atau hal-hal lain yang tidak disukai dari calon istri, bisa mengirimkan utusan wanita sehingga bisa melihat rambut, kulit, dan lain-lain, asal bukan kita yang melihatnya,” imbuhnya berkelakar.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *