“Jangankan siapa nama setelah Setnov, hingga hari ini saja KPK tidak berani menangkap dan memenjarakan Novanto kalau memang dia terbukti melakukan korupsi,” kata Haris Rusli.
Wartapilihan.com, Jakarta –Kasus e-KTP yang merugikan keuangan negara sebesar Rp 2,3 triliun terus mencuat. Dari dua belas nama yang disebut dalam sidang, nama Setya Novanto masih mendominasi nama-nama lain. Pasalnya, hingga saat ini Novanto tetap menjabat sebagai Ketua DPR RI dan Ketua Umum Partai Golkar.
Aktivis Petisi 28 Haris Rusli mengatakan, korupsi APBN senilai Rp 2,3 triliun merupakan korupsi yang tidak berkeprimanusiaan. Dia menilai, korupsi e-KTP bukan hanya masalah pribadi, tetapi sudah menyangkut institusi negara.
“Kasus e-KTP ini seperti belah semangka, anggaran langsung di belah di depan dan dibagi hampir 50 persen. Urusan kita dengan Setya Novanto bukan urusan kita dengan Golkar, tetapi merupakan tanggungjawab konstitusional,” kata Haris dalam diskusi Persatuan Pergerakan di bilangan Tendean, Jakarta Selatan, Rabu (29/11).
Lebih lanjut, Haris meyesalkan, tidak ada satu anggota DPR yang kritis terhadap kasus e-KTP yang menimpa Ketua DPR. Bahkan, dia menilai, tidak hanya menimpa legislatif, korupsi e-KTP juga terjadi pada eksekutif. Hal itu terlihat dari intensitas kedatangan Luhut Binsar Panjaitan menemui Novanto usai menjalani sidang praperadilan.
“Pemerintah sengaja melakukan sandera terhadap lembaga legislatif. Sehingga check and balance tidak akan terjadi. Secara politik, institusi-institusi kita sudah dibajak oleh oligarki politik dan kartel kekuasaan,” tegasnya.
Haris mencurigai, apabila Majelis Hakim mengabulkan praperadilan Setya Novanto, dia melihat KPK ikut terlibat dalam kasus mega proyek e-KTP. Sehingga melakukan pelemahan bukti hukum dan dramaturgi kepada publik.
“Kita sepenuhnya juga belum percaya terhadap KPK. Sebab, mulai dari Pimpinan, Komisioner, Deputi, Penyidik bahkan Anggota kompak tidak memenjarakan Setya Novanto dengan memberikan P21 (pelimpahan berkas ke Kejaksaan),” imbuhnya.
Senada hal itu, mantan juru bicara Presiden Abdurrahman Wahid, Adhie Masshardi, menyebut istilah trias koruptika. Menurutnya, korupsi tidak hanya terjadi pada legislatif dan eksekutif bahkan menimpa yudikatif.
“Kita dapat melihat Nazaruddin yang hanya mengelola APBN seumur jagung ketika menjadi anggota DPR, dia dapat menyeret beberapa orang. Apalagi, Novanto yang sudah belasan tahun memegang angaran APBN. Makanya kalau nanti kurang dari 100 nama, saya anggap KPK bohong itu,” tutur Adhie.
Aktivis Komite Bangkit Indonesia ini menjelaskan, apabila di jaman Orde Baru korupsi dilakukan di tahap pelaksanaan APBN, pasca reformasi korupsi di lakukan pada dua level. Yaitu tahap perencanaan dan pelaksanaan. Kendati 15 tahun, Komisi Pemberantasan Korupsi berjalan, dia setuju dengan Fahri Hamzah untuk melakukan reformulasi KPK dalam melakukan pencegahan dan pemberantasan korupsi.
“Selama 15 tahun saya tidak pernah melihat KPK berbuat apa-apa, hanya agenda hura-hura saja. Yang dilakukan KPK hanya permukaan saja. Sehingga menimbulkan distrust antar institusi dan anak bangsa. Misalkan kasus gula rafinasi, saya memberikan informasi kepada mereka (KPK), mereka juga meminta alat bukti. Terus apa yang dilakukan KPK?,” tanyanya.
Koordinator Generasi Muda Partai Golkar (GMPG) Ahmad Doli Kurnia menandaskan, kegaduhan Novanto menyebabkan tatanan sosial, politik dan hukum di Indonesia ikut gaduh. Terlebih, kata Doli, Novanto melakukan manuver dengan menghadapkan secara diametral antara institusi penegak hukum.
“Sebetulnya kita membangun pesimisme dalam melakukan pemberantasan korupsi. Tetapi perlu di ingat, KPK merupakan produk reformasi. Dan pemeberantasan ini tidak hanya diselesaikan oleh KPK saja. Oleh karena itu, KPK harus terus melakukan perbaikan meskipun lahirnya ad hoc,” pungkasnya.
Ahmad Zuhdi