Sekolah Darurat Kurang Sosialisasi

by
Sekolah darurat gempa. Foto: Istimewa.

Koordinasi yang baik antara pusat dan daerah menjadi keniscayaan. Pekerjaan rumah pasca penanganan bencana menanti. Perbaikan dan rehabilitasi sekolah menjadi prioritas agar setiap anak mendapatkan hak pendidikan.

Wartapilihan.com, Jakarta — Indonesia merupakan Negara kepulauan yang memiliki potensi dan rawan terjadinya berbagai bencana alam. Seperti letusan gunung berapi, gempa bumi, tsunami, banjir, dan tanah longsor.

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menunjukkan bahwa Indonesia merupakan salah satu negara dengan tingkat kegempaan yang tinggi di dunia, lebih dari 10 kali lipat tingkat kegempaan di Amerika Serikat .

Gempa bumi yang terjadi di Lombok kemudian disusul dengan gempa dan tsunami di Palu menjadi fakta yang jelas bahwa Indonesia menjadi Negara yang rawan dengan bencana.

Gempa berskala cukup besar yang terjadi baik di Lombok maupun Palu mengakibatkan banyaknya korban luka dan meninggal dunia. Serta menghancurkan berbagai sarana dan prasarana yang ada di wilayah tersebut.

Ketua Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Generasi Ena Nurjanah mengatakan, kondisi bencana memberikan dampak yang berat bagi setiap orang. Adapun pihak yang paling rentan terhadap bencana adalah anak-anak. Dibandingkan orang dewasa, anak-anak paling terpapar dengan kondisi kebencanaan.

“Hal ini karena kehidupan anak-anak masih bergantung sepenuhnya dengan orangtua, kemudian kondisi fisik yang lemah dalam masa pertumbuhan membuatnya harus menghadapi beban yang lebih berat dibandingkan orang dewasa, baik dari segi kesehatan fisik dan mental,” ujar Ena di Jakarta, Jumat (12/10).

Berdasarkan data dari Kemendikbud, tercatat sebanyak 770 sekolah di Lombok dan 2.736 sekolah di Sulawesi tengah rusak pasca gempa dan tsunami. Proses perbaikan dan rehabilitasi sekolah rusak tersebut membutuhkan waktu minimal setahun.

Dalam kondisi darurat, menurut Ena, sekolah harus tetap bisa diupayakan demi terpenuhinya hak pendidikan anak-anak korban bencana. Respon cepat Kemendikbud dengan mendirikan tenda-tenda sebagai sekolah darurat cukup patut diapresiasi.

“Namun, sekolah darurat ini nampaknya berjalan dengan segala keterbatasan dan kedaruratan yang kurang diantisipasi sebelumnya sehingga terlihat sangat minim kesiapan dalam penyelenggaraannya,” katanya.

Berdasarkan pantauan terhadap sekolah darurat di wilayah Lombok, KPAI mendesak Kemendikbud dan Kemenag untuk menyiapkan kurikulum sekolah darurat bagi wilayah terdampak bencana.

“Berbicara tentang kurikulum sekolah darurat, sebenarnya hal ini sudah tertuang dalam permendikbud (peraturan menteri pendidikan dan kebudayaan) Nomor 72 tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Pendidikan Layanan Khusus,” ujar Ena.

Permendikbud 72/2013 Bab I Pasal 1 menjelaskan bahwa Pendidikan layanan khusus yang selanjutnya disebut PLK adalah pendidikan bagi peserta didik di daerah terpencil atau terbelakang, masyarakat adat yang terpencil, dan/atau mengalami bencana alam, bencana sosial, dan yang tidak mampu dari segi ekonomi.

“Sekolah darurat merupakan satuan pendidikan formal yang didirikan pada saat situasi bencana alam dan/atau bencana sosial yang bersifat sementara,” katanya.

Dalam Pasal 7 – 10 dijelaskan lebih lanjut tentang penggunaan kurikulum nasional bagi sekolah darurat dengan tetap memperhatikan kesesuaian terhadap kebutuhan setempat. Waktu belajar sekolah darurat lebih fleksibel sesuai kesepakatan bersama antara penyelenggara, pendidik dan peseta didik. “Kemudian juga tempat belajar disesuaikan dengan ketersediaan dan kelayakan,” Ena memaparkan.

Dalam permendikbud tersebut, menurutnya, termuat dengan jelas bagaimana seharusnya penyelenggaraaan sekolah darurat. Hanya saja permendikbud ini nampaknya kurang tersosialisasikan dengan baik di tingkat daerah. “Sehingga pengimplementasian sekolah darurat di daerah seringkali masih perlu arahan dari pusat,” ungkapnya.

Kemendikbud, simpul Ena, harus segera melakukan sosialisasi permendikbud no 72 tahun 2013 secara masif ke seluruh dinas pendidikan di setiap daerah. Hal ini untuk bisa menjawaban atas kondisi Indonesia sebagai Negara yang rawan bencana.

“Sehingga tidak ada lagi kegagapan dalam penyelenggaraan sekolah darurat yang merupakan hak pendidikan bagi anak yang berada di daerah bencana,” pungkasnya.

Ahmad Zuhdi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *