Setelah 1.040 hari berkuasa, pemerintahan Jokowi – Jusuf Kalla harus menyelesaikan perencanaan ekonomi yang amburadul.
Wartapilihan.com, Jakarta – Rancangan Anggaran dan Pendapatan Belanja Negara (RAPBN) 2018 senilai Rp 2.204,4 triliun, dengan target pertumbuhan ekonomi sebesar 5,4 persen memang angka yang fantastis. Begitu pun, penerimaan perpajakan yang dipatok sebesar Rp 1.609,4 triIiun dan alokasi subsidi yang berjumlah Rp 172,4 triliun. Keempat hal tersebut akhirnya merepresentasikan optimisme tinggi Presiden Jokowi menjelang tahun pemilihan presiden.
Sayangnya, jika ditelaah secara kritis, angka-angka tersebut tampak sulit untuk direalisasikan. Kenaikan belanja yang begitu besar praktis membuat defisit anggaran semakin melebar. Defisit sebesar Rp 325,9 triliun tersebut pasti menyebabkan pembiayaan utang meningkat. Meski RAPBN hanya mencatat Rp 399,2 trihun, namun tak ada yang dapat memastikan pembiayaan utang tersebut tidak akan bertambah seperti tahun-tahun sebelumnya. Dalam APBN-Perubahan 2017 saja, pembiayaan utang meningkat 77 triliun menjadi Rp 461 triliun dari penganggaran sebelumnya.
“Target pertumbuhan ekonomi yang dibayang-bayangi fakta stagnasi perekonomian lndonesia selama tiga tahun terakhir yang rata-rata hanya berada pada level 5,0 persen. Kecenderungan tersebut bila ditambah dengan kondisi perekonomian dunia yang beIum pulih, membuat siapapun sulit percaya ekonomi Indonesia mampu bertumbuh ke level optimis Presiden,” kata Sekretaris Jenderal Forum Indonesia Suhardin Mansyur dalam sebuah diskusi di bilangan Cikini, Jakarta Pusat, Jumat (25/8).
Selain itu, lanjut Suhardin, penerimaan pajak yang diklaim bakal bersumber dari keberhasilan amnesti pajak dan pemberlakuan Sistem Pertukaran Informasi Otomatis (Automatic Exchange System of Information/AEoI) yang dianggap mampu melacak potensi pajak di Iuar negeri. Perihal ini pun tampak sulit terwujud karena fakta justru menunjukkan basis data pajak tidak bertambah signifikan usai pelaksanaan amnesti. Terlebih, mesa efektif AEol yang baru berlaku April 2018 bagi akses domestik dan global yang akan berlaku September 2018, menguatkan kemungkinan penerimaan pajak sulit tercapai.
“Alokasi subsidi yang naik menjadiARp 172,41 triliun dengan jumlah persentase kenaikan tertinggi pada anggaran subsidi energi, kami menduga kuat Presiden Jokowi akan menggunakannya sebagai modal untuk menjaga popularitas menjelang tahun pemilu. Ditengah kenaikan tarif listrik yang terjadi di sejumlah golongan pelanggan, subsidi listrik senilai 52,2 triliun saraf kaitan nya dengan politik pencitraan,” ungkapnya.
Kendati demikian, Suhardin menyatakan, optimisme Presiden masih sangat jauh dari agenda nawacita. Rasio gini yang tetap berada pada level 0,41 menunjukkan belum adanya peningkatan yang berarti dalam kualitas hidup dan kesejahteraan manusia Indonesia. Apalagi, dengan tetap terkonsentrasinya perekonomian dan investasi di pulau Jawa, tidak lebih dari janji Presiden.
“Jika ingin meningkatkan kesejahteraan rakyat, maka presiden seharusnya konsisten mendorong alokasi subsidi yang produktif. Bukan menambah subsidi energi di tahun-tahun menjelang pemilu,” saran dia.
Forum Indonesia mendesak presiden untuk merombak kabinet pemerintahan di bidang ekonomi, terutama menteri yang kinerjanya tidak sejalan dengan agenda pembangunan. Menurutnya, menteri dengan tipe tersebut biasanya tidak memahami bahwa desain APBN merupakan upaya untuk mewujudkan nawacita.
“Sebut saja, menteri BUMN yang selalu meminta suntikan Penyertaan Modal Negara (PMN) setiap tahun. Padahal hingga kini, belum tampak pula performansi atau prestasi BUMN yang melejit tinggi setelah mendapatkan PMN,” pungkasnya.
Ahmad Zuhdi