Baru-baru ini, Greenpeace bersama Aliansi Zero Waste Indonwsia (AZWI) merilis hasil audit sampah dari laut Kepulauan Seribu. Hasilnya, plastik produksi Unilever menduduki posisi teratas sebagai penyumbang sampah terbanyak setelah plastik tanpa merk.
Wartapilihan.com, Jakarta –Di Kepulauan Seribu, Greenpeace dan AZWI mendapati, sebanyak 85 persen sampah dihasilkan oleh plastik merek lain atau tanpa merek, disusul oleh Unilever yang menyumbang sampah plastik di laut sebanyak 4,2 persen; Wings (3,3%), Indofood (3,0%), Danone (2,4%), dan OT (2,1%).
Sampah plastik jadi sampah paling banyak memenuhi pantai Indonesia. Sebanyak 9 juta ton sampah memenuhi lautan setiap tahunnya. Regulasi pemerintah masih belum begitu efektif untuk meminimalisir sampah plastik.
Menanggapi hal ini, Abdul Rahman selaku pakar Kesehatan Masyarakat menjelaskan, akar persoalan dari masalah ini adalah kurangnya regulasi yang mengatur tentang tanggungjawab sampah plastik itu sendiri.
“Ada persoalan, sebetulnya ketika kita membeli produk, kita membeli produknya bukan bungkusnya. Maka, siapa yang bertanggungjawab dengan kemasannya, apakah dibebankan kepada kita atau kepada perusahaan?” Ungkap Rahman, kepada Warta Pilihan, Senin, (16/9/2017).
Di Undang-undang nomor 18 tahun 2008 tentang pengelolaan sampah, Rahman menjelaskan, dalam peraturan tidak disebutkan sampah tanggungjawab siapa. “Sehingga masalah kemasan harusnya jelas. Ketika orang membeli produk, kemasannya dikemanakan? Jadi harus ada kebijakannya juga,” tutur Rahman.
Dosen Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia ini (FKM UI) menegaskan, perusahaan sebagai produsen plastik mesti menjamin akan dikemanakan sampah tersebut. Pasalnya, berbeda dengan botol yang dapat digunakan kembali, sampah plastik akan menumpuk dan sulit hancur meski berpuluh-puluh tahun.
“Seharusnya tanggungjawab produsennya, karena yang dibeli kan isinya bukan kemasannya. Jadi, perusahaan harus menjamin akan kemanakah kemasan itu,” imbuh Rahman.
Adapun peraturan tentang plastik yang pernah dibuat harus dibeli sebesar Rp 200 di pasar-pasar swalayan, menurut dia, kebijakan itu tidak efektif. Ia juga mempertanyakan, kemana uang itu pergi.
“Lha, kalau uangnya ke produsen lagi, malah untung dong, ujung-ujungnya konsumen lagi yang bertanggungjawab. Makanya, kebijakan itu sekarang udah gak berlaku,” paparnya.
Rahman menyarankan, sebaiknya pemerintah menetapkan pajak bagi para produsen yang menyumbang sampah plastik terbesar, yang kebanyakan plastik domestik, seperti bungkus makanan, sabun, maupun kosmetik.
“Pajak sampah diberlakukan bagi produsen semestinya. Ada pajak kemasan untuk produsennya. Bisa sekian persen untuk menangani sampah itu (oleh pemerintah),” tukasnya.
Eveline Ramadhini