Persaudaraan Muslimin Indonesia (PARMUSI) dideklarasikan membawa dan meneruskan visi dan misi serta perjuangan Masyumi.
Oleh: Ahmad Zuhdi
Jurnalis Wartapilihan.com
Wartapilihan.com, Jakarta –Keluarga besar Bintang Bulan telah melahirkan generasi baru, yang menyebar hampir di seluruh fora perjuangan. Kebanyakan dari generasi muda ini tidak mengenal jati diri Parmusi, sebagai kelanjutan dari Masyumi. Sementara berkembang di luar beberapa partai yang menetapkan diri seolah sebagai pewaris tunggal Masyumi, tanpa melihat catatan sejarah demikian pula sekalipun Partai Muslimin Indonesia (PARMUSI) di fusikan bersama partai politik Islam Iainnya menjadi Partai Persatuan Pembangunan (PPP), maka Persaudaraan Muslimin Indonesia (PARMUSI) sebagai organisasi kemasyarakatan Islam, bukan berarti menjadi bagian dari fusi tersebut. Persaudaraan Muslimin Indonesia (PARMUSI) dideklarasikan membawa dan meneruskan visi dan misi serta perjuangan Masyumi.
Akar sejarah Parmusi adalah perjalanan panjang Masyumi yang berdiri pada tanggal 7 November 1945. Penegasan ini penting disampaikan, karena semasa Jepang tepatnya 24 Oktober l943, telah berdiri Masyumi hasil peleburan MIAI (Majlis Islam A’la Indonesia).12 Masyumi yang dibentuk untuk kepentingan Jepang ini bukan partai, tetapi merupakan federasi dari empat organisasi Islam masa itu, yaitu Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, Persatuan Umat Islam, dan Persatuan Umat Islam Indonesia.”
Adapun Masyumi dimaksud adalah Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Consultative Council of Muslim Indonesians) yaitu partai politik yang didirikan melalui Kongres Umat Islam di Ketanggungan, Yogyakarta, pada 7-8 November 1945. Kongres dihadiri oleh sekitar lima ratus orangutusan organisasi sosial keagamaan yang mewakili hampir semua organisasi Islam waktu itu. Lahirnya Masyumi dalam kongres ini, ditujukan menjunjung tinggi asas musyawarah. kedaulatan rakyat, dan hak-hak asasi manusia.
Dalam kiprah politiknya, Masyumi adalah salah satu partai pembela demokrasi yang paling terkemuka dan konstitusional dalam teori dan praktek. Kasimo, tokoh Partai Katolik pernah berujar, bahwa dirinya lebih senang bekerjasama dengan Masyumi walaupun secara ideologi berbeda, karena mereka sangat memegang prinsip-prinsip sebagai demokrat dari pada sebagai seorang politisi.
Bagi Masyumi, nilai-nilai perjuangan merupakan masalah prinsip yang mesti dipegang teguh. Tidak jarang hal ini dilakukan dengan sikap frontal dan argumentatif konstitusional. Lihatlah bagimana sikap Masyumi yang secara tegas menentang NII yang diploklamirkan oleh Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo, setelah menerima hasil Konferensi Meja Bundar, yang dipimpin Moh Hatta di Den Haag, Belanda, yaitu Belanda akan menyerahkan kedaulatan kepada Republik Indonesia Serikat (RIS) pada akhir bulan Desember 1949.
Sikap Masyumi yang mendapatkan persetujuan dalam Muktamar Masyumi di Yogyakarta bulan Desember 1949 ini, secara konsisten diperankan oleh M. Natsir dalam Kabinet Natsir yang dibentuk pada tangga17 September 1950, setelah RIS kembali menjadi RI, pada tangga| 15 Agustus 1950, Natsir mengirim surat kepada SM Kartosoewirjo mengajak untuk bersatu kembali dalam batas-batas hukum negara. Meskipun ditolak oleh SM Kartosoewirjo.
Secara kelembagaan Masyumi juga mengeluarkan statement keras, “Masyumi hendak mencapai maksudnya melalui jalan yang sesuai dengan Undang Undang Dasar dan semua Undang Undang Negara RI dan tidak dengan jalan kekerasan. atau dengan jalan membentuk Negara dalam Negara RI”.
Bahkan untuk mempertahankan prinsip perjuangan, Masyumi telah mengambil keputusan yang fatal. Misalnya dalam kasus PRRI, Masyumi bahkan rela membubarkan diri setelah jatuh vonis dalam Keputusan Presiden, Nomor: 200/1960 sebagai maklumat membubarkan Masyumi, yang pembubarannya dilakukan sendiri oleh Masyumi. Dengan pernyataan, jika dalam tempo seratus hari, Masyumi tidak membubarkan diri, maka partai itu dinyatakan sebagai partai terlarang. Sebab itulah Ketua Umum Masyumi Prawoto Mangkusasmito dan Sekjennya Muhammad Yunan Nasution, mengeluarkan pernyataan politik membubarkan Masyumi, mulai dari pusat sampai ke daerah-daerah.
Namun demikian ketua Masyumi Prawoto Mangkusasmito, tidak menghiraukan tekanan pemerintah agar mengutuk pemimpin-pemimpin Masyumi yang terlibat dalam pemberontakan tersebut. la menolak dan tetap pada pendiriannya bahwa Masyumi sebagai institusi tidak terlibat dalam pemberontakan tersebut. Sehingga, menurutnya, Masyumi tidak perlu mengutuk seperti yang diminta oleh Pemerintah saat itu.
Dalam perjalanan waktu, sikap tidak mengutuk para anggota Masyumi yang terlibat dalam PRRI ini mengandung hikmah yang besar. Berbeda dengan PSI yang mengutuk Sumitro Djoyohadikusumo teIah berakibat perpecahan yang hebat di kalangan PSI. Toh para pimpinan PSI tetap saja diseret dan dijebloskan ke penjara.
Oleh karena itu tidak salah apabila jejak perjuangan Masyumi untuk ummat dan bangsa ini tidak bisa begitu saja dihapuskan, di era kekinian Masyumi tetap menjadi inspirasi paling aktual dan relevan bagi dunia kepartaian dan perpolitikan di tanah air.
Antitesa Parmusi sebagai Organisasi Masyarakat
Pada saat di deklarasikan tanggal 26 September 1999 di Hotel Ambarukmo Yogyakarta, bukanlah Parmusi sebagai Partai Politik, tetapi sebagai Organisasi Masyarakat (Ormas) Islam. Akan tetapi sejarah mencatat bahwa keberadaan Parmusi sebagai Ormas tidak bisa dipisahkan dari Parmusi yang merupakan reinkarnasi Partai Masyumi.
DaIam AD/ART terakhir sebelum dibubarkan tahun1960, dalam pasal III tertera tujuan Partai Masyumi yaitu: Terlaksananya hukum Islam di dalam kehidupan orang seorang, masyarakat, dan Negara Republik Indonesia menuju keridhaan ilahi.
Sejarah juga mencatat bahwa Masyumi berjuang untuk mengembalikan bentuk Negara Indonesia ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), sebagaimana yang diperankan oIeh H.M. Natsir melalui Mosi Integralnya pada tahun I950, kaIa itu Indonesia sedang berjuang untuk mempertahankan kedauIatan Negara agar penjajah tidak kembali menjajah Indonesia.
Sebagai penerus cita-cita Partai Masyumi sebagai, Parmusi sebagai Ormas yang bertujuan “Terwujudnya masyarakat madani, sejahtera Iahir dan batin dalam kehidupan bangsa Indonesia yang diridhai Allah SWT, senantiasa melakukan berbagai usaha untuk mencapai tujuan tersebut, salah satunya adalah: “Meningkatkan derajat keislaman, keimanan, keikhlasan, ketakwaan, kejujuran, keadilan, kedisiplinan, dan kebersamaan”.
lmplementasi usaha tersebut dilakukan Parmusi melalui perubahan dan pencanangan paradigma baru Parmusi sebagai Connecting Moslem dengan fokus menjadikan dakwah sebagai suatu gerakan dalam dimensi iman dan taqwa (Imtaq), ekonomi, sosial dan pendidikan. Hal ini telah dilakukan Parmusi selama 2 tahun terakhir, pasca Mukernas I bulan Oktober tahun 2015 dengan strategi menata, menyapa dan membela.
Kegiatan Dakwah yang dilakukan Parmusi tingkat Pusat, bukan saja berupa penugasan da’i ke daerah perbatasan, pulau terluar dan suku terasing di beberapa provinsi di Indonesia, tetapi juga Parmusi turut berjuang dalam beberapa kali Aksi Bela Islam (ABI) di Jakarta dengan menurunkan Laskar Parmusi dan kader-kader Parmusi. Bahkan dalam kurun waktu bulan Desember 2016 sampai dengan bulan Mei 2017, PP PARMUSI tetap istiqomah dengan menurunkan Laskar dan kader Parmusi sebanyak 28 kali untuk mengawal persidangan kasus Penistaan Agama Islam dengan tertuduh Gubernur DKl Jakarta saat itu yaitu Basuki Tjahaya Purnama mulai disidangkan tanggal 13 Desember 2016 sampai dengan keputusan pengadilan menyatakan Ahok bersalah dan ditahan selama 2 tahun pada tanggal 9 Mei 2017.
Parmusi juga menggugat Presiden RI melalui PTUN untuk segera mencopot Ahok dari jabatan Gubernur, sesuai dengan UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah pasal 83 ayat (1), meskipun pada proses pengadilan di PTUN tuntutan Parmusi tidak di kabulkan.
Meneladani Dakwah Politik Mohammad Natsir
Pokok pikiran pencetus Mosi Integral Mohammad Natsir mengenai Islam dan Kebangsaan dalam konteks dakwah dan politik dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Islam bukan semata-mata agama dengan arti ibadah kepada Allah subhanahu wa ta’ala.
2. Islam menentang penjajahan manusia atas manusia. Jadi, umat Islam wajib berjuang untuk kemerderkaannya.
3. Islam memberi dasar-dasar yang tentu untuk satu negara yang merdeka (ideologi).
4. Umat Islam wajib mengatur negara yang merdeka itu atas dasar bernegara yang ditetapkan oleh Islam.
5. Tujuan ini tidak akan dicapai oleh umat Islam apabila mereka turut berjuang mencapai kemerdekaan dalam partai kebangsaan semata-mata, apalagi yang sudah bersifat membenci Islam.
6. Oleh karena itu umat Islam masuk dan memperkuat perjuangan mencapai kemerdekaan berdasarkan cita-cita Islam dari semula.
Sebagai Ustadz berpendidikan Barat dan terjun ke politik, Natsir akhirnya kembali ke dakwah. Menurut Natsir, politik dan dakwah tidak dapat dipisahkan. “Kalau kita berdakwah dengan membaca Quran dan Hadits-itu berpolitik. Ketika di Masyumi, berdakwah lewat jalur politik. Saat di Dewan Dakwah, itu berpolitik lewat jalur dakwah. Politik tanpa dakwah, hancur,” kata Natsir.
Khulasah
Siklus gerakan dakwah dan politik Parmusi tidak pernah surut oleh dinamika zaman dan rezim yang berkuasa. Sebaliknya, dhomir hati (panggilan) dari hati terdalam untuk mengimplementasikan Islam rahmatan lil alamiin dalam konteks keislaman dan keindonesiaan mampu diwujudkan dalam formula gerakan dakwah dan politik.
Semangat untuk menjalankan amar ma’ruf nahi munkar telah dilakukan Parmusi sejak Orde Lama, Orde Baru dan pasca Reformasi meskipun berbeda format gerakan. Pak Natsir mengatakan, tantangan terbesar hari ini adalah sekularisasi, kristenisasi dan nativisasi. Maka, untuk membendung arus yang dapat menggerogoti aqidah umat Islam tersebut adalah dengan menghidupkan masjid, pesantren dan kampus sebagai candradimuka calon pemimpin, da’i Ilallah dan otoritas ilmu.
Secara konsep strategis dan taktis, sarana untuk menegakkan tiga pilar tersebut adalah dengan kekuasaan. Segenggam kekuasaan yang dimiliki oleh sang da’i merupakan infaq atau jihad dalam menegakkan amar ma’ruf nahi munkar. Karena itu, calon pemimpin masa depan i da’i pelaksana melalui pengkaderan Parmusi mulai dari tingkat Kecamatan sampai Pusat harus dikader sejak awal dengan konsep kepemimpinan transformasional.
Dalam khazanah leadership manajemen semacam Sarros dan Hater dan Bass (1988), Yammarino Tichy dan Devana (1990), Bass serta Bryman (1992), menyebut model kepemimpinan transformasional atau metanoiac sebagai model Ideal. Sebab, 1a memiliki empat dimensi kepemimpinan atau The Four I’s’.
Pertama, idealized influence. Pemirnpin dipersyaratkan memiliki perilaku yang membuat para pengikutnya mengagumi, menghormati dan sekaligus mempercayainya.
Kedua, inspirational motivation, pemimpin hams mampu mengartikulasikan pengharapan yang jelas terhadap prestasi pengikutnya, mendemonstrasikan komitrnennya terhadap seluruh tujuan organisasi dan mampu menggugah spirit tim melalui penumbuhan entusiasme dan optimisme.
Ketiga, intellectual stimulation. Pernimpin transformasional hams mampu menumbuhkan ide-ide baru, memberikan solusi yang kreatif terhadap permasalahan-permasalahan yang dihadapi bawahan/pengikut, memberikan motivasi pada bawahan untuk mencari pendekatan-pendekatan baru dalam melaksanakan tugas-tugas organisasi.
Dan keempat, individualized consideration, mau mendengarkan dengan penuh perhatian masukanmasukan bawahan/pengikut serta secara khusus mau memperhatikan kebutuhan bawahan/pengikut akan pengembangan karir.
Menurut Kotter (1997) dan juga Covey (2000), untuk dapat meng-eover empat dimensi kepemimpinan melamine, seseorang disyaratkan memiliki tujuh syarat pokok. Yakni: Worldview, Nilai-nilai Pribadi, Motivasi, Pengetahuan mengenai ‘industri’ dan organisasi, Relasi yang kuat dalam industri dan organisasi, Kemampuan/keahlian kepemimpinan seperti manajemen, keorganisasian, komunjkasi, pengambilan keputusan, dan kemampuan penunjang lainnya, serta Memiliki reputasi dan catatan rekor.
Masalah lain leadership di Indonesia yang lebih prinsipil adalah kualitas keislaman dan keberpihakan pemimpin pada Islam. Padahal, seperti dikatakan Mantan PM Turki Necmettin Erbakan: “Orang Islam yang tidak peduli pada politik, akan dipimpin oleh politisi yang tidak peduli pada Islam”.
Karenanya, da’i Parmusi harus mampu menampilkan wajah dan wijhah Islam dalam kepemimpinan nasional sebagaimana yang dilakukan para founding fathers bangsa Indonesia. Hal ini menjadi keniscayaan agar politik tidak lagi diisi oleh oknum-oknum yang ingin mengaburkan nilai politik dengan kepentingan pragmatis. Sehingga, masyarakat tidak lagi apatis terhadap politik dan cita-cita untuk mewujudkan baldatun thayyibatun wa rabbun gafuur dapat terwujud. Wallahu A’lam.
Sumber:
1. Mohammad Roem; Bunga Rampai dari Sejarah. 1988. Bulan Bintang. Jakarta.
2. Sekretariat Jenderal PP PARMUSI; Pedoman Dakwah PARMUSI. 2018. Parmusi Center. Jakarta.
3. Lukman Hakiem; Buku Ensiklopedia 17 Tokoh Penerima Parmusi Award. 2016. Parmusi Center. Jakarta.
4. Saifuddin Bahrun; Transformasi Kepemimpinan dari Sekuler Menuju Spiritual dan Syariah. 2017. LAZNAS Dewan Da’wah. Jakarta.