Kurang dari waktu sebulan, hampir 500.000 orang Rohingya harus mengungsi ke Bangladesh–yang notabene merupakan negara berkembang yang punya banyak masalah. Rohingya dinobatkan sebagai orang-orang paling menderita di dunia karena kekerasan ganda (multiple violence).
Wartapilihan.com, Depok -‘Bisakah Anda bayangkan, hidup di dalam sebuah negeri yang tidak diakui kewarganegaraannya, sehingga sulit mengakses pendidikan dan kesehatan. Pun ketika mengungsi, hampir tidak diterima dimana-mana; Pergi naik perahu, tidak kuat dengan kehidupan laut.
Heru Susteyo sebagai pakar hukum menjelaskan, hal ini disebut sebagai multiple violence (kekerasan ganda). Pasalnya, selain tidak diakui sebagai etnis di Myanmar, juga mengalami diskriminasi yang sistematis.
“Tidak punya kewarganegaraan, sekolah susah, kesehatan susah, mengungsi enggak ada yang nerima, tidak dianggap sebagai etnis yang sah, etnis Rohingya tidak disukai. Tidak hanya Rohingya, tapi juga etnis lainnya,” ungkap Heru, dalam acara Diskusi Publik Rohingya, di Fakultas Teknik Universitas Indonesia, Depok, Senin, (2/10/2017).
Heru menekankan, bangsa Rohingya yang tidak memiliki kewarganegaraan merupakan masalah yang serius. Pasalnya, hal ini dapat berdampak pada akses pendidikan dan kesehatan yang sulit. “Di Indonesia saja, kalau kita enggak punya KTP dan KK susah mau sekolah, mau bikin BPJS,” imbuh Heru.
Heru menambahkan, negara Myanmar secara konseptual belum selesai membangun jati diri bangsanya. Secara hukum, pemerintah Myanmar belum bisa mengakui minoritas. Sejauh ini, penduduk Bakar/Burma menjadi mayoritas mencapai 68%.
“Mereka belum selesai proses membangun jati diri bangsanya. Myanmar perlu belajar dari Indonesia. Kita mungkin tidak ideal, tapi lebih ideal dari hal mengelola perbedaan bangsa.” lanjut dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia ini.
Indonesia sejauh ini bersikap tidak begitu keras terhadap kejahatan internasional yang dilakukan Myanmar terhadap pembantaian Rohingya. Berbeda dengan Malaysia dan Turki yang berupaya memboikot Myanmar dari berbagai aspek.
“Indonesia masih soft diplomacy. Berbeda dengan Malaysia dan Turki yang sangat keras kepada Myanmar. Indonesia masih membangun constructive engagement dan pendekatan keadilan,” pungkas Heru.
“Sikap kita, seharusnya to forgive, but not to forget. Memaafkan, tetapi tidak melupakan,” tandas dia.
Eveline Ramadhini