Redefinisi Korupsi

by
foto:istimewa

Bagaimana makna korupsi dan Islam memandang korupsi?

Wartapilihan.com, Jakarta — Korupsi merupakan salah satu isu paling krusial tidak hanya dalam diskursus keilmuan di antara para akademisi tetapi juga obrolan masyarakat awam di seluruh dunia. Hal ini tidak mengherankan karena dampak korupsi yang terbukti menghancurkan bangunan ekonomi, sosial, dan politik di berbagai levelnya dari pejabat tinggi hingga rakyat kecil di pelosok desa-dalam setiap negara.

Koffi Annan, mantan sekretaris jenderal Persatuan Bangsa-bangsa (PBB), mengatakan bahwa korupsi ibarat penyakit menular yang menjalar pelan namun mematikan, menciptakan kerusakan yang sangat luas di masyarakat. Ia merusak demokrasi dan supremasi hukum, mendorong pelanggaran terhadap hak azasi manusia, mendistorsi perekonomian, menurunkan kualitas kehidupan dan memungkinkan organisasi kriminal, terorisme, dan berbagai ancaman terhadap keamanan untuk berkembang. Pemberantasan kejahatan luar biasa (extraordinary crime) tersebut menjadi kepentingan seluruh pihak.

Para ilmuwan Muslim berbeda pendapat dalam mentransliterasikan istilah “korupsi” ke dalam bahasa Arab sebagai bahasa “resmi” agama Islam. Sebagian menyebutnya rišwah, ġulūl, ikhtilās, fasād, dan lain sebagainya. Namun begitu terminologi fasād merupakan transliterasi yang dipandang paling tepat. Hal ini juga tampak dalam transliterasi UNCAC ke dalam bahasa Arab sebagai Ittifāqiyyā al-Umam al-Muttahidā li Mukāfahā al-Fasād.

Secara etimologis fasād merupakan lawan kata dari ṣalāh, sementara istifsād ialah lawan dari istiṣlāh, dan mafsadah lawan dari maṣlahah, yang secara umum berarti dharar (bahaya). Adapun makna fasād secara terminologis yang terdekat dengan korupsi ialah sebagaimana yang dikemukakan oleh Fairuzzabadi sebagai akhżu al-māli żulman (memperoleh harta secara dzalim).

Fasād disebut paling tepat karena memiliki kedalaman dan kompleksitas makna sebagaimana “korupsi” sehingga memberikan kemungkinan untuk mewakili sebuah aktifitas atau perilaku yang tergolong dalam perilaku koruptif dengan berbagai bentuk dan tipologinya.

Wahbah Al-Zuhaili secara gamblang menyatakan bahwa pada dasarnya Al-Fasād fī al-Arḍ merupakan segala bentuk maksiat kepada Allah dan penyimpangan dari petunjuk-Nya yang mengandung bahaya bagi jiwa, harta, dan kehormatan orang lain. Setiap perbuatan fasād senantiasa mengandung unsur menyakiti orang lain sebagai anggota masyarakat.

Dampak buruk yang ada padanya terbagi menjadi dua yaitu; (1) khusus, seperti murtad yang tidak dipublikasikan dan mengkonsumsi zat yang memabukkan dan menghilangkan kesadaran. (2) umum, seperti pembunuhan, perzinahan, qażaf, pencurian, perampokan, pembelotan, kemunafikan, keluar dengan menghunuskan pedang, serta menyakiti dan mencela kaum Muslimin.

Mengkorelasikan hal tersebut dalam konteks diskursus global, Ja’far Abdussalam menegaskan bahwa pengertian korupsi mutakhir amatlah terbatas karena hanya mencakup aspek yang sempit dari korupsi itu sendiri yaitu korupsi yang dilakukan oleh para pemimpin atau pejabat publik dalam sebuah aktifitas yang melarikan keuangan negara keluar dari
peruntukannya.

Dengannya, UNCAC berfokus pada tujuan mengembalikan keuangan yang telah dicuri tersebut supaya kembali ke dalam kas negara. Sementara korupsi dalam kerangka syariat Islam mencakup aspek yang lebih luas sehingga tidak hanya terbatas pada perkara-perkara kriminal tetapi juga mencakup perkara-perkara lain non-kriminal seperti perilaku yang menyelisihi syariat.

Ia pun lantas menyebutkan setidaknya terdapat tiga bentuk korupsi; (1) Korupsi yang berkaitan dengan harta (al-fasād al muttaṣil bi al-māl), korupsi pada lingkungan (al-fasād al-bīi), dan korupsi pada manusia (al-fasād al-muttaṣil bi al-insāni). Di antara perilaku yang tergolong pada korupsi bentuk pertama ialah riba, berlebih-lebihan (isrāf), dan memanfaatkan jabatan untuk memperoleh keuntungan materi (kasb al-māl bi ṭarīq al-jāh). Karenanya, korupsi mutakhir merupakan bagian dari korupsi-dalam pemaknaan islam-yang berkaitan dengan harta (al-fasād al-māli).

Menyadari bahwa korupsi pada dasarnya merupakan perilaku maksiat kepada Allah, maka pemberantasan korupsi pada dasarnya ialah usaha-usaha untuk menghindari dan menghilangkan perilaku maksiat tersebut. Menegakkan syariat Islam secara keseluruhan merupakan pemberantasan keseluruhan bentuk korupsi di muka bumi.

Korupsi Mutakhir dalam Pandangan Islam

Syed Hussein Al-Attas. Sosiolog Melayu Melalui metode induktif merumuskan setidaknya sembilan ciri-ciri korupsi, secara ringkas sebagai
berikut;

1. Suatu pengkhianatan terhadap kepercayaan.
2. Penipuan terhadap Badan Pemerintah, lembaga swasta, atau masyarakat umumnya.
3. Dengan sengaja melalaikan kepentingan umum untuk kepentingan khusus.
4. Dilakukan dengan rahasia, kecuali dalam keadaan dimana orang-orang yang berkuasa atau bawahannya menganggapnya tidak perlu.
5. Melibatkan lebih dari satu orang atau pihak.
6. Adanya kewajiban dan keuntungan bersama, dalam bentuk uang atau yang lain.
7. Terpusatnya kegiatan korupsi pada mereka yang menghendaki keputusan yang pasti dan mereka yang dapat mempengaruhinya.
8. Adanya usaha untuk menutupi perbuatan korup dalam bentuk-bentuk pengesahan hukum, dan
9. Menunjukkan fungsi ganda yang kontradiktif pada mereka yang melakukan korupsi.

Berdasarkan sejumlah karakteristik di atas, S.H. Al-Attas kemudian mengkategorikan korupsi ke dalam tujuh tipologi;
1. Korupsi transaktif (transactive corruption), yaitu adanya kesepakatan timbal-balik antara pihak pemberi dan penerima demi keuntungan kedua belah pihak atas inisiatif aktif keduanya.
2. Korupsi yang memeras (extortive corruption), yaitu pihak penerima memaksa pihak pemberi untuk menyuap. Pemberi melakukannya untuk menghindari kerugian yang akan ia derita bila menolak.
3. Korupsi investif (investive corruption), yaitu pemberian barang dan jasa tanpa ada pertalian langsung dengan keuntungan tertentu, selain keuntungan yang diharapkan akan diperoleh di masa yang akan datang.
4. Korupsi perkerabatan (nepotistic corruption), yaitu penunjukan yang tidak sah terhadap kerabat atau keluarga untuk memegang jabatan dalam pemerintahan, atau tindakan memberikan pengutamaan dalam bentuk uang atau yang lain secara bertentangan dengan norma dan peraturan yang berlaku.
5. Korupsi defensif (defensive corruption), yaitu perilaku korban korupsi dengan pemerasan.
6. Korupsi otogenik (autogenic corruption), yaitu korupsi yang dilakukan oleh seorang dan tidak melibatkan orang lain, dengan menyetujui atau mengambil sebuah kebijakan yang ia tahu akan menguntungkannya secara finansial.
7. Korupsi dukungan (supportive corruption), yaitu perilaku apapun yang melindungi dan memperkuat korupsi yang telah ada.

Korupsi dicegah melalui ajaran moralitas Islam yang menitikberatkan segala aktifitas pada aqīdah islāmiyyah yang mengandung unsur keimanan kepada Allah, Malaikat, Kitabullah, Rosulullah, Hari Kiamat, dan Qaḍa wa al-qadar. Hal inilah yang merupakan sarana utama yang digunakan oleh Islam untuk mendidik dan membentuk jiwa seorang muslim sehingga mampu menolak segala bentuk penyimpangan dan korupsi karena kemampuannya untuk; Pertama, menciptakan pengawasan diri (raqabā ḏatiyyā) sehingga hadir rasa
takut kepada Allah dari berbuat korupsi. Kedua, menumbuhkan dorongan untuk melakukan pekerjaan secara baik dan profesional karena mengharapkan ridha Allah. Ketiga, tahan dalam
menghadapi tekanan baik materi maupun immateri, dan keempat rasa malu dan berfungsinya kesadaran hati kecil (ḍamīr).

Selain itu, Islam juga mencegah korupsi dengan berbagai sistem pengawasan yang telah dicontohkan oleh Rosulullah maupun para Khulafāʾ al-Rašidīn, di antaranya dengan pengangkatan pejabat publik yang jujur, mengangkat pejabat publik yang zuhud, mencukupi kebutuhan pejabat publik, pencatatan jumlah kekayaan pejabat publik, melakukan pembuktian terbalik, dan melakukan inspeksi mendadak.

Apabila berbagai bentuk pencegahan telah dilakukan, maka bila tetap terdapat tindak pidana korupsi, maka sanksi yang setimpal haruslah diberikan dengan seadil-adilnya. Dengan penentuan tindak pidana korupsi sebagai ġulūl dan rišwah sehingga taʿzir merupakan instrumen pemidanaan bagi para koruptor, maka sanksi terhadap pelaku tindak pidana korupsi dapat ditentukan melalui kebijaksanaan hakim maupun ketentuan pemerintah yaitu didera hukuman dengan berbagai jenisnya berdasarkan sebesar apa dampak buruk yang disebabkan olehnya.

Mulai dari teguran/peringatan, dimasukkan ke dalam daftar orang tercela (al-tašhīr), dikucilkan dari pergaulan sosial, pemecatan dari jabatan, cambuk, denda, pemenjaraan,
pengasingan, penyaliban, dan bahkan hukuman mati. Nahdhotul Ulama secara khusus memberikan penekanan pada pemberian hukuman mati terhadap pelaku korupsi dengan menganalogikannya dengan kejahatan ḥirābā.

Korupsi dalam Islam tidak hanya mencakup tindak kejahatan harta dengan nominal besar yang biasa dilakukan oleh lapisan atas masyarakat-seperti para pejabat-tetapi juga oleh mereka yang berada di ġulūl dan rišwah yang terkategorikan ke dalam korupsi mutakhir, tetapi juga bahkan ġišdan ihtikār yang dengannya korupsi mencakup tidak hanya yang
dilakukan oleh para pihak di sektor publik tetapi juga di sektor privat.

Islam telah dilengkapi oleh perangkat
pencegahan dan penindakan. Moralitas Islam dengan aqidah sebagai dasar utama seorang muslim untuk menghindari perilaku menyimpang termasuk korupsi. Hal ini didukung dengan perangkat pengawasan dan dipungkasi melalui penindakan yang penuh dengan keadilan.

Usamah Abdurrahman PKU Gontor/Zuhdi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *