Jika kita perhatikan awal surat Al Baqarah ayat 183, Allah SWT menggunakan redaksi wahai orang-orang yang beriman (ya ayyuhal ladzina amanu), bukan wahai sekalian manusia (ya ayyuhan nasu). Ini artinya puasa merupakan undangan eksklusif untuk orang beriman, bukan untuk orang yang menyatakan dirinya sebagai muslim.
Oleh: Ahmad Zuhdi
Oleh karena itu, ada perbedaan kualitas iman dengan Islam, ada perbedaan kualitas muslim dengan mukmin, seperti Allah terangkan dalam surat Al Hujurat ayat 14 ketika orang-orang arab Badui datang kepada nabi dan menyatakan dirinya telah beriman. Namun kata nabi ‘kamu belum beriman’, tetapi katakanlah ‘kami telah tunduk’, ‘karena iman belum masuk ke dalam hati kalian’.
Begitupun anak yang belum dewasa dan melaksanakan perintah agama, seperti shalat dan shaum, mereka secara lahiriyahnya muslim, tetapi belum layak disebut mukmin, karena hatinya belum tentu yakin dan tulus dalam mengerjakan perintah tersebut. Muslim belum tentu mukmin, tetapi mukmin sudah tentu muslim.
Maka kalau kita perhatikan orang yang tidak berpuasa tanpa ada uzur, berarti keimanannya dipertanyakan. Karena wujud dari iman salah satunya dimanifestasikan dalam bentuk amal perbuatan. Secara lahiriyah dia muslim, tetapi bisa jadi iman belum sampai ke dalam hatinya.
Tentu jika tidak berpuasa tanpa ada uzur syar’i, dia berdosa. Sebab puasa Ramadhan hukumnya wajib dan meninggalkan kewajiban adalah dosa. Sesuatu yang wajib jika dikerjakan mendapat pahala, jika ditinggalkan mendapat dosa.
Apalagi sudah tidak berpuasa, kemudian makan siang di restoran yang jelas-jelas pernah terdeteksi mendukung Israel, tentu saja standar moralnya sangat rendah. Karena moralitas atau akhlak akan berjalan seiringan sesuai dengan kadar keimanan seseorang, dengan kata lain akhlak atau moral adalah buah dari keimanan kepada Allah SWT.
Dari beberapa hikmah puasa, ada dua hal yang dapat kita ambil sebagai pendidikan jiwa, yaitu tahdzib an-nafs (melatih mengendalikan hawa nafsu) dan talyin al-masyair (memperhalus perasaan).
Nafsu tentu berguna untuk meningkatkan etos kerja, tetapi nafsu akan berbahaya jika tidak bisa dikendalikan. Puasa akan melatih kita untuk menahan nafsu makan, minum, dan syahwat. Jika nafsu ini berhasil dikendalikan, maka manusia akan selamat.
قَدْ أَفْلَحَ مَن زَكَّىٰهَا
وَقَدْ خَابَ مَن دَسَّىٰهَا
Artinya: Sungguh beruntung orang yang dapat mensucikan nafsunya (jiwanya) dan sungguh merugilah orang yang mengotorinya. (QS al-Syams 9-10).
Kemudian dengan puasa manusia dituntut untuk memiliki perasaan yang halus, penuh perhatian, dan kasih sayang kepada yang lain, lebih khusus kepada saudara-saudara di Palestina. Kalau kita hanya menahan lapar dan dahaga selama 12 jam, maka rakyat Palestina menahan lapar dan dahaga sampai waktu yang tidak bisa dipastikan.
Bahkan banyak dari mereka yang mati kelaparan dan ratusan syahid ketika sedang mengantri bantuan. Kekejaman membunuh dengan cara mati kelaparan jelas sangat menyakitkan dibanding dengan peluru atau roket yang langsung membuat seseorang meninggal. Singkatnya dengan puasa akan melatih rasa, karsa, dan asa kita sebagai seorang mukmin.
Tetapi jika nalar dan naluri seseorang belum tersentuh melihat pembantaian di Palestina itu sama saja seperti patung. Jasadnya seorang manusia, tetapi hakikatnya dia tidak mempunyai ruh. Tidak ada ruh keimanan, ruh kemanusiaan, dan ruh kedermawanan.
Ketika sudah menjadi patung, maka dia akan mudah terombang-ambing yang akhirnya dapat menjerumuskan kepada kebinasaan atau biasa dikenal dengan istidraj. Allah berikan dia banyak harta, kedudukan, kehormatan, tetapi hanya kesenangan semu yang akan berujung pada kehancuran dan penyesalan. Semoga kita dijauhkan dari hal-hal tersebut.
Mahasiswa doktoral Universitas Islam Jakarta