Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) meminta Kementerian Agama membuat database dakwah, bukan hanya sekedar nama-nama Muballigh.
Wartapilihan.com, Jakarta – Hal tersebut disampaikan Ketua ICMI Jimly Asshidiqqie dalam menanggapi polemik daftar 200 mubaligh/penceramah yang dirilis Kementerian Agama (Kemenag).
“Kemenag saya anjurkan membuat database keagamaan yang lengkap. Termasuk membimbing semua rumah ibadah punya database,” kata Jimly, berdasarkan siaran pers yang diterima Warta Pilihan, Kamis, (24/5/2018).
Jimly menjelaskan, bahwa diperlukannya database dakwah, data dasar untuk dakwah, data jemaah, data mubaligh, data ulama agar dapat dijadikan referensi dalam menyusun ceramah. Oleh sebab itu, ICMI menyarankan Kemenag membuat database dakwah, bukan hanya database mubaligh.
Sehingga Jimly mengatakan tidak sepakat apabila Kemenag membuat daftar rekomendasi mubaligh. Sebab menurutnya, tiap hari jumlah mubaligh terus bertambah.
“Jadi nggak ada gunanya kalau 200 ditambahin 400, ini konsepnya sudah dimarahin banyak orang, sudah disalahpahami. Mubaligh di Indonesia tiap hari ada seribu muncul, bertambah mubaligh baru,” tutur Jimly.
Selain itu, Jimly juga menegaskan agar Kemenag melakukan pendataan, bukan hanya sekedar pencatatan dalam menyusun database dakwah.
Biarkan Masyarakat Memilih
Sementara itu, Fahira Idris selaku Ketua Komite III DPD RI yang membidangi persoalan keagamaan mengatakan,
di era teknologi informasi yang begitu pesat seperti sekarang ini masyarakat begitu mudah mencari rekam jejak seseorang, apalagi seorang mubaligh, ustadz/ustadzah atau penceramah agama.
“Kelompok pengajian/kajian, organisasi, atau perkumpulan yang ingin mengadakan kajian agama pasti terlebih dahulu mencari referensi ke berbagai sumber agar penceramah yang hadir bukan saja mempunyai kompetensi ilmu sesuai tema yang dibawakan, punya integrasi dan reputasi baik, tetapi juga tentunya cinta tanah air,” kata Fahira.
Ia berharap, kebijakan Kementerian Agama (Kemenag) mengeluarkan 200 nama mubaligh agar tidak menjadi polemik yang berkepanjangan, sehingga tidak mengganggu kekhusukan umat beribadah puasa dan rutinitas pengajian di berbagai kelompok masyarakat yang biasanya semakin intensif selama ramadan.
Menurut Anggota DPD RI DKI Jakarta ini, iklim demokrasi di Indonesia menjamin hak warga negara untuk melakukan berbagai kegiatan kajian keagamaan termasuk berhak menentukan siapa saja pencermah yang akan diundang.
Masyarakat atau kelompok pengajian pasti sudah mempunyai saringan tersendiri termasuk melihat rekam jejak sebelum memilih penceramah.
“Bagi kita yang terbiasa aktif di pengajian pasti paham kalau masing-masing pengajian sudah mempunyai saringan sendiri dalam memilih penceramah. Mulai dari melihat rekam jejak, kualitas keilmuan dan cara penyampaian dan biasanya semua hal ini dimusyawarahkan sebelum menentukan pilihan.
Hemat saya, kebijakan ini hanya rekomendasi bukan kewajiban,” ujar Fahira di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta (22/5).
Menurut Fahira, jika Kemenag khawatir ada kelompok masyarakat yang salah atau keliru memilih penceramah seharusnya cukup mengeluarkan kreteria-kreteria penceramah seperti apa yang direkomendasikan untuk diundang.
Bukan mengeluarkan list nama-nama mubaligh seperti yang saat ini menjadi polemik di publik.
“Mungkin saja niatnya baik, tetapi tidak memperhitungkan dampaknya di masyarakat. Masyarakat beraksi, para mubaligh beraksi, malah ada mubaligh yang minta dikeluarkan dari list tersebut.
Ini kan membuat publik semakin bingung. Saya berharap kita sudahilah polemik ini. Mari kita lanjutkan Ramadan ini dengan penuh kesejukan,” pungkas Fahira.
Eveline Ramadhini