Bagai masalah yang tak pernah habis, praktek perpeloncoan di masa orientasi siswa masih terjadi.
Wartapilihan.com, Jakarta — KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia) baru saja menerima laporan dugaan kekerasan yang terjadi saat berlangsungnya Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS) tahun ajaran 2018/2019 di salah satu SMA di Bali, bahkan diduga kuat kekerasan tersebut menimbulkan satu korban jiwa, dan pelapor bukanlah orangtua dari korban.
Hal tersebut disampaikan Retno Listyarti, Komisioner Bidang Pendidikan. Ia mengatakan, korban diduga mengalami kelelahan berat saat melaksanakan berbagai tugas individu selama MPLS beralangsung. Namun, orangtua korban mengikhlaskan dan tidak mempersoalkannya.
“Dugaan ini tentu perlu didalami, namun demikian ada orangtua yang berharap praktik-praktik semacam ini tidak terulang kembali,” kata Retno prihatin, Senin, (6/8/2018).
Lebih lanjut Retno mengatakan, kekerasan terhadap peserta didik baru dilakukan melalui berbagai tugas yang menguras waktu, tenaga dan pikiran peserta didik baru sehingga banyak yang mengalami kekurangan waktu tidur dan kelelahan fisik luar biasa selama MPLS berlangsung.
“Tugas-tugas tersebut terdiri atas tugas individu dan tugas kelompok. Tugas-tugas individu rata-rata dikerjakan di rumah dan untuk esai (karangan) harus ditulis tangan di kertas double folio,” katanya.
Seluruh tugas merupakan tugas tambahan yang dikerjakan di rumah antara 17-20 Juli 2018. Diperkirakan rata-rata seorang anak mengerjakan tugas itu hingga pukul 03.00 wita dinihari dan sudah harus tiba di sekolah pukul 5.30 wita, dan pulang pukul 14.30 wita.
Untuk diketahui, sebelum MPLS, di sekolah ini ada masa Pra MPLS yang berlangsung tanggal 9-11 Juli 2018. Di masa ini ada 9 tugas dalam seminggu yang harus diselesaikan di rumah.
Oleh karena itu, untuk mendalami kebenaran dari laporan yang diterima, maka sesuai tugas dan fungsinya, KPAI menurunkan tim ke Bali untuk melakukan pengawasan.
Tim terdiri dari Retno Listyarti, Komisioner KPAI bidang pendidikan didampingi Indah Mulyani, asisten bidang pendidikan. Tim akan melakukan pengawasan pada 6-7 Agustus 2018.
“KPAI akan menemui Gubenur Bali beserta jajaran OPD (Organisasi Perangkat Daerah) terkait di Bali untuk meminta penjelasan dan klarifikasi. Namun sebelumnya, KPAI sudah mengumpulkan data-data awal terkait dugaan kekerasan selama MPLS tahun 2018 di salah satu SMA di Bali tersebut,” tegasnya.
KPAI juga dijadwalkan bertemu dengan I Wayan Koster, Gubenur Bali Terpilih 2018-2023 di kantor transisi untuk membicarakan perlindungan anak ke depannya di provinsi Bali, terutama mendorong sekolah ramah anak (SRA) seprovinsi Bali.
“Selanjutnya dari hasil pengawasan, KPAI akan berkoordinasi dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) serta Kementerian Permberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) untuk memastikan penyelenggaraan perlindungan anak di sekolah-sekolah. Lembaga pendidikan seharusnya menjadi tempat yang aman dan nyaman bagi peserta didik,” terang dia.
Aturan tentang MPLS
Permendikbud No. 18 tahun 2016 tentang MPLS sebenarnya dalam lampiran sudah mengatur larangan perploncoan dan bentuk kekerasan lainnya di MPLS, namun, kata Retno, permendikbud memang tidak secara rinci menyebutkan larangan memberikan tugas-tugas menulis dan membuat esai yang melampaui kewajaran atau diluar batas kemampuan seorang anak.
“Dalam Permendikbud No. 82 tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di sekolah menyebutkan bahwa, bentuk kekerasan Perpeloncoan merupakan tindakan pengenalan dan penghayatan situasi lingkungan baru dengan mengendapkan (mengikis) tata pikiran yang dimiliki sebelumnya,” tukasnya.
Pemberian tugas yang berlebihan dalam penulisan esai, menurut Retno, adalah bentuk perploncoan yang sangat jelas membentuk pikiran baru bahwa tugas-tugas tersebut sesuai dengan sekolah unggul dan favorit.
Seperti diketahui, berdasarkan hasil monitoring dan evaluasi Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) pada April 2012 terhadap sembilan Provinsi yaitu Sumatera Barat, Lampung, Jambi, Banten, Jawa Tengah, DIY, Jawa Barat, Jawa Timur, dan Kalimantan Timur ditemukan angka kekerasan yang cukup tinggi di sekolah.
Umumnya, kekerasan ini terjadi saat kegiatan MOS. Dari total responden 1.026 anak ternyata menyatakan 66,5 persen atau 628 anak pernah mengalami kekerasan yang dilakukan guru, 74,8 persen 767 anak pernah mengalami kekerasan yang dilakukan teman sekelas (74,8 %), dan sebanyak 578 anak pernah mengalami kekerasan yang dilakukan teman lain kelas (56,3 %).
Eveline Ramadhini