PP harus memberikan kepastian peran kedua institusi sesuai dengan amanat UU JPH yang telah disahkan 5 tahun silam.
Wartapilihan.com, Jakarta — Indonesia Halal Watch (IHW) kembali menyelenggarakan talkshow halal, bertema “Urgensi Kemandirian Badan Halal” di Auditorium Gedung Sindo, Cikini, Jakarta Pusat, Rabu (14/8).
Direktur LPPOM MUI, Lukmanul Hakim, menjelaskan, MUI terus mendorong penerapan Undang-undang No. 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal yang akan diterapkan pada 17 Oktober 2019 mendatang. Namun, perlu diperjelas dalam Peraturan Pemerintah (PP) sebagai aturan pelaksana mengenai peran dan fungsi masing-masing pihak yang terlibat, terutama MUI dalam proses sertifikasi halal di Indonesia.
“Sejak dibahas UU pada 10 tahun silam, MUI berperan pada substansi sertifikasi halal, karena halal merupakan hukum yang bersumber dari syariat Islam,” kata Lukmanul.
Peran substantif tersebut di antaranya, penetapan fatwa halal melalui komisi fatwa MUI. Selain itu, MUI berperan dalam sertifikasi auditor halal, karena auditor merupakan perwakilan para ulama.
“MUI juga mempunyai peran penting dalam pengakuan lembaga sertifikasi halal luar negeri (LSHLN),” ujarnya.
Menurutnya, pengakuan ini semata-bukan hanya kerjasama antar kedua belah pihak, tapi juga standar yang digunakan oleh LSHLN harus sesuai dengan standar persyaratan sertifikasi halal MUI. Hal ini tidak terlepas dari peran LSHLN sebagai perwakilan di luar negeri untuk melindungi dan memberikan ketenteraman pada masyarakat Indonesia dalam mengkonsumsi produk-produk impor.
“Sedangkan peran pemerintah, lebih pada administratif dan penguatan peran MUI. Saat sertifikat halal menjadi keunggulan bersaing dalam industri bagi para pengusaha di Indonesia,” katanya.
Dari sektor ini, peran pemerintah menjadi penting dalam mengeluarkan dokumen negara yang dapat dipertanggung jawab dan pertanggung gugatkan dalam perdagangan internasional. “Oleh karena itu, PP harus memberikan kepastian peran kedua institusi tersebut sesuai dengan amanat UU JPH yang telah disahkan 5 tahun silam,” ujar Lukmanul Hakim.
Pada kesempatan sama, Direktur Eksekutif Indonesia Halal Watch (IHW), Ikhsan Abdullah, mengkritisi Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) yang belum bisa menjalankan amanat UU tersebut. “Dengan kondisi seperti ini, maka tidak ada kepastian hukum yang akan berdampak pada industri makanan dan minuman di Indonesia,” ujar Ikhsan.
Ikhsan menganggap hal tersebut berpotensi menimbulkan kerugian bagi masyarakat karena terjadinya discontinyuitas pasokan produk halal, terganggunya industri halal, dan membanjiri produk halal luar negeri yang berakibat pada ekonomi nasional. Hal ini diamini oleh ketua Ketua Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (GAPMMI), Adhi S. Lukman.
Adhi mengatakan bahwa ketidakpastian ini dapat menimbulkan keresahan di kalangan pengusaha makanan dan minuman, terutama kerugian biaya yang ditimbulkan, salah satunya kemasan. Ia mencontohkan kerugian dalam mencetak kemasan.
“Dengan adanya wacana penggantian logo halal, maka berapa kemasan yang harus dicetak kembali, bisa ribuan bahkan jutaan untuk pengusaha besar. Tidak terbayangkan berapa nominal kerugian yang diderita pengusaha mamin,” tuturnya.
Ia menilai, GAPMMI dan ribuan perusahaan lain sudah nyaman dengan sertifikasi halal yang diselenggarakan oleh MUI. Sudah lebih dari 11.000 pengusaha mamin yang telah bersertifikat halal MUI.
“Sertifikasi halal sangat mudah karena bisa dilakukan secara online melalui Cerol-SS23000. Apalagi dengan Cerol-SS23000 versi 3.0 proses sertifikasi halal MUI menjadi semakin mudah dan cepat,” kata Adhi.
Hadir sebagai narasumber, Direktur Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI), Dr. Lukmanul Hakim, M. Si., Direktur Eksekutif Indonesia Halal Watch (IHW), DR. Ir. Ikhsan Abdullah, SH., MH., dan Ketua Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (GAPMMI), Adhi S. Lukman.
Adi Prawiranegara