Pendidikan nasional Indonesia dinilai gagal membentuk generasi yang siap hidup mandiri dan bertanggung jawab, meski anak-anak menghabiskan lebih dari 12 tahun di bangku sekolah.
Dalam dialog bersama Ustaz Adian Husaini, dibahas bahwa sistem pendidikan saat ini masih mewarisi pola pikir kolonial, yang lebih menekankan pada penciptaan tenaga kerja ketimbang pembangunan karakter dan peradaban1.
Menurut pandangan Islam, anak usia 15 tahun sudah seharusnya dianggap dewasa dan siap bertanggung jawab, berbeda dengan sistem sekarang yang baru menuntaskan pendidikan dasar-menengah di usia 18-19 tahun. Ada usulan agar masa sekolah dipangkas, misalnya SD cukup 4 tahun, agar anak-anak lebih cepat matang dan siap menghadapi tantangan hidup—bukan sekadar menjadi penghafal teori1.
Ustaz Adian menyoroti bahwa tujuan utama pendidikan menurut syariat bukan hanya mencari kerja, melainkan membekali anak untuk hidup di dunia dan akhirat. Ia menilai sistem pendidikan sekarang terlalu menekankan hafalan dan nilai, serta kurang memberi ruang pada pembentukan akhlak dan kemandirian. Ia juga mengkritik orientasi pendidikan yang terlalu mengejar ijazah sebagai syarat kerja, padahal kompetensi dan karakter jauh lebih penting1.
Sejarah pendidikan Indonesia, menurut Ustaz Adian, sudah dikritik oleh Ki Hajar Dewantara sejak awal abad ke-20. Sekolah-sekolah kolonial didirikan untuk mencetak buruh dan pegawai, serta menekan fanatisme agama. Sementara pendidikan pesantren dan sekolah-sekolah Islam justru menanamkan nilai kemandirian, akhlak, dan keimanan. Ia menegaskan, konstitusi Indonesia sudah jelas mengamanatkan pendidikan untuk meningkatkan keimanan, ketakwaan, dan akhlak mulia, namun pelaksanaannya masih jauh dari harapan.
Ia juga menyinggung perlunya seleksi akhlak dalam kelulusan, khususnya bagi mahasiswa Muslim, agar pendidikan benar-benar melahirkan manusia berkarakter, bukan hanya sarjana berijazah. Di era digital dan kecerdasan buatan, menurutnya, keunggulan manusia terletak pada akhlak dan kebijaksanaan, bukan sekadar pengetahuan yang bisa diakses lewat internet.
Pada akhirnya, pendidikan tidak boleh disempitkan hanya pada sekolah formal. Pendidikan adalah proses pembentukan karakter yang bisa terjadi di mana saja, dan sekolah hanya salah satu bagiannya. Jika sekolah gagal menanamkan akhlak dan kemandirian, maka sekolah justru kehilangan makna pendidikannya