Sistem Pendidikan kita, menurut Dr. Hamid Fahmy Zarkasy, telah gagal melahirkan Peradaban. Penyebabnya adalah tidak berbasiskan pada Adab. Menurunya, hanya dengan berbasis adab-lah, sebuah pendidikan mampu melahirkan peradaban atau secara personal mampu melahirkan manusia yang adil dan beradab.
Wartapilihan.com, Jakarta –Hal ini disampaikan oleh Harry Santosa, pakar parenting dan pemerhati pendidikan. Ia mengungkapkan, alpanya Adab dalam sistem pendidikan, sesuai yang dikatakan Fahmy, setidaknya nampak pada 3 hal, yaitu kezhaliman (miskonsepsi), kebodohan (malfungsi) dan kegilaan (misorientasi).
Miskonsepsi ialah karena salah meletakkan atau menerapkan konsep. Konsep yang digunakan sama sekali tidak relevan dengan peradaban. Dalam pandangan pendidikan berbasis fitrah, salah Konsep ini terkait dengan salah memahami lansekap peradaban, yang meliputi 3 unsur peradaban. Prof. Dr. Malik Bennabi, menyebutkan bahwa ada tiga unsur peradaban yaitu potensi (fitrah) peradaban, pendidikan peradaban dan peran peradaban.
“Bennabi melihat bahwa potensi peradaban itu ada empat dimensi, yaitu dimensi manusia (fitrah alGharizah dalam diri manusia) sebagai aktor peradaban, dimensi tempat atau tanah (fitrah bumi) dimana manusia ditakdirkan lahir, dimensi waktu (fitrah kehidupan dan zaman) disaat manusia ditakdirkan hidup dan dimensi sistem hidup (Kitabullah atau fitrah almunazalah) yang memandu semua potensi tadi,” tutur Harry, di akun Facebook pribadinya beberapa waktu lalu.
Keempat potensi peradaban ini, menurut Harry sangat perlu diintegrasikan dan ditransformasikan oleh sistem pendidikan peradaban (tarbiyah hadhoriyah) sehingga berujung pada peran peradaban (daurul hadhoriyah).
Sistem pendidikan modern, lanjut Harry, justru biadab atau tidak beradab karena mencerabut manusia dari akar fitrah dirinya, fitrah alamnya, fitrah zamannya dan akar nilai nilai Kitabullah.
“Walhasil kita saksikan outcomenya adalah manusia yang tak memiliki peran peradaban sehingga tak mampu menebar rahmat dan manfaat bagi dirinya maupun semesta,” tukasnya prihatin.
Akhirnya, manusia yang menjalani sistem pendidikan itu, gagal menjadi manusia yang adil dan beradab karena gagal menebar rahmat dan manfaat karena gagal untuk memiliki peran peradaban atas karunia potensi fitrah peradabannya.
“Sistem Pendidikan sejatinya tidak berangkat dari konsepsi bahwa manusia itu dilahirkan kosongan tanpa potensi sehingga muncul mindset harus sebanyak banyaknya diisi, dengan menambah jam mengajar dan jam belajar yang tak relevan dengan potensi anak, potensi alam dimana mereka tinggal dan potensi zaman disaat mereka hidup lalu tanpa dipandu dengan sistem nilai atau Adab,” paparnya.
Soal kebodohan atau malfungsi, menurutnya karena buta jalan sehingga tak tahu cara menemukan jalan menuju peran peradaban, lalu gagalah tegaknya peradaban. Kegagalan memperoleh Cara menemukan jalan sukses atau disebut How to Find Your Why sesungguhnya terjadi karena sibuk pada upaya menemukan cara sukses atau How to Find Your How.
“Menemukan jalan sukses jauh lebih penting daripada menemukan cara sukses. Jika tahu jalan yang benar namun salah cara, akan tetap dapat sampai ke tujuan. Namun tahu cara yang benar, namun salah jalan, maka sampai kapanpun tak pernah akan sampai ke tujuan,”
Sistem Persekolahan modern yang diadopsi oleh negara, menurutnya telah gagal memfungsikan fitrah manusia untuk menemukan jalan sukses, karena sejarah sistem persekolahan modern bukan untuk find your why, namun hanyalah alat mesin kolonial untuk mencetak kuli administratur dan enjineuur dalam rangka membantu menjalankan mesin kolonial tersebut.
“Itulah mengapa di negeri dimana sistem persekolahan modern dilahirkan, ada yang menyebut sistem persekolahan modern adalah pacuan yang tak kemana mana (race to no where), atau ada juga yang menyebut hanya proses learning for learning bukan learning for being, atau ada juga yang menyebut sebagai cara sukses mencetak human thinking dan human doing, namun gagal melahirkan human being,”
Fitrah manusia akhirnya menjadi gagal difungsikan menjadi potensi karena penyeragaman dan cara cara fabrikasi sehingga kemudian gagal dihantarkan menuju jalan suksesnya atau alasan kehadirannya di dunia, yaitu peran spesifik peradabannya. Karenanya gagal menjadi peradaban.
Sistem Pendidikan sejatinya tidak salah memfungsikan manusia bahwa manusia itu dilahirkan dan disiapkan bukan untuk mengejar pekerjaan dan mengejar upah, sehingga muncul mindset bahwa bersekolah adalah untuk menjadi pekerja atau mencari uang lalu manusia harus dikompetisikan dengan standar fungsi kepentingan negara yang tidak sesuai fitrah manusia.
Dari kezhaliman (miskonsepsi) dan kebodohan (malfungsi) di atas, Harry mengatakan, maka muaranya adalah kegilaan atau misorientasi. Orang gila jelas tak mampu membedakan mana nyata dan mana ilusi, mana kesejatian dan mana kepalsuan atau angan angan.
“Maka lahirlah masyarakat ilusi, yang semua aktifitasnya tak punya orientasi peradaban yang jelas. Narasi narasi besar peradaban gagal dikonstruksi dalam masyarakat yang penuh ilusi karena mereka bergerak hanya karena orientasi pendek dan sesaat. Mereka bergerak tanpa maksud yang jelas (unpurposefull) dan tanpa makna (unmindfulness),”
Maka dari itu, ia menghimbau untuk membangun Indonesia yang adil dan beradab, dengan pendidikan berbasis adab, namun memulai itu semua dengan lebih dahulu menumbuhkan semua aspek fitrah (tarbiyah), baik fitrah personal maupun fitrah komunal sebagai titik tumpunya sehingga kemudian menjadi jalan menuju peran peradaban.
“Adablah atau nilai-nilai Kitabullah kemudian yang memandu jalan itu sehingga menjadi peran peradaban yang sempurna, indah dan berbahagia atau kita mengenalnya dengan manusia yang adil dan beradab. Beradab pada Tuhannya, beradab pada masyarakatnya, beradab pada alam dan kearifannya, beradab pada keluarga dan keturunannya,” pungkas Harry.
Eveline Ramadhini