Parenting Lokal di Kampung Naga

by
Potret keluarga Sunda pada tempo dulu. Foto: Indonesia Zaman Doeloe.

Dalam tradisi Sunda, memiliki anak sangat erat kaitannya dengan spiritualitas.

Wartapilihan.com, Jakarta — Hal tersebut disampaikan Yeni Rachmawati, peneliti soal parenting lokal di Kampung Naga, Tasikmalaya. Ia mengatakan, pada dasarnya, proses Parenting dimulai dari hal yang mendasar, yaitu cara pandang terhadap manusianya, atau bagaimana orang tua menilai kehadiran seorang anak.

Yeni melihat, rupanya cara pandang terhadap anak atau ‘the Value of Children’ berbeda antara satu negara dengan negara lainnya. Di belahan dunia lain, riset tentang nilai seorang anak ini bukan hal yang baru, dan sudah dilakukan sejak tahun 1970an (Hoffman & Hoffman, 1973).

Cara pandang ini menurut Yeni penting, karena menurut Hoffman, itu pula salah satu faktor yang membuat hari ini di negara maju, terjadi penurunan yang signifikan terhadap keinginan “punya bayi” . perspektif orang tua tentang nilai seorang anak, memberikan pengaruh terhadap kelahiran seorang anak.

“Dalam tradisi Sunda, memiliki anak sangat erat kaitannya dengan spiritualitas. Misalnya orang tua umumnya menilai anak itu sebagai “titipan Tuhan”, “anugerah/ganjaran”, “kepercayaan Tuhan terhadap dirinya”, “membawa rezeki”, “anak sebagai penyempurna orang tuanya”, kata Yeni, dalam grup Anak dan Keluarga, Rabu, (8/8/2018).

Sedangkan di negara Taiwan, berdasarkan hasil wawancara Yeni, oleh karena kehidupan yang cenderung individualis, memiliki anak di negara tersebut cenderung menjadi ‘beban’ karena minimnya spiritualitas dan juga memperhitungkan biaya anak dari kecil hingga beranjak dewasa yang harus diperhatikan oleh orangtua.

“Jika manusia dihitung dalam angka matematika atau materi (misalnya berapa biaya dokter saat hamil, biaya melahirkan, makanan, sekolah, dan sebagainya, sehingga diperoleh angka sekian, sebagai persiapan memiliki bayi, maka bayi
tak ubahnya seperti benda material,” terang Yeni.

Adapun sebab-sebab yang membuat orangtua di tanah Sunda cenderung ‘welcome’ terhadap keberadaan anak ialah soal sejauh mana manusia dipersepsi sebagai makhluk luhur.

Pada tataran berikutnya, konsep keluhuran manusia Sunda (yang dipengaruhi oleh kosmologi Sunda dan agama) ini di wujudkan ke dalam penyambutan yang “luar biasa” terhadap kehadiran sorang
bayi.

“Misalnya, tradisi lokal selama hamil, melahirkan, bayi berusia 40 hari yang memiliki makna. Ada juga falsafah indung, dimana ibu memiliki kedudukan tinggi dalam masyarakat Sunda. Ibu sebagai
pemilik “pohon hayat”, ibu sebagai ksatria pertama, Rahim ibu adalah surga kedua, ibu adalah jembatan langit dan bumi, dan anak adalah tanggungjawab bersama,” tegas perempuan yang menamatkan studi doktoralnya di Taiwan ini.

Hal yang lebih unik lagi, di dalam tradisi Sunda, memiliki anak merupakan tanggungjawab bersama. Semua unsur masyarakat terlibat aktif dalam pengasuhan anak. Mulai dari ayah, kakek-nenek, tetangga, para sesepuh semua memiliki peran masing-masing.

Yeni sempat menceritakan pengalamannya ketika meneliti di kampung Naga, dimana pada saat seorang ibu hamil di usia 9 bulan, maka orang sekampung bergiliran ronda malam, mereka lakukan setiap hari.

“Dalam satu malam, mereka bisa berkumpul sekitar 20 orang untuk menemani sang ibu dan ayah menunggu kelahiran bayinya. Semangat gotong royong masih kuat diantara mereka. ketika saya tanya, mengapa mereka mau melakukannya?

‘Ya untuk bersiaga, kita tidak pernah tahu kapan sang ibu akan melahirkan bayinya, kalau ada kami kan semua terbantu, bisa berbagi tugas, siapa yang mencari mobil, memapah atau menggendong ibu hamil jika di perlukan’,” kenang Yeni.

Ia melanjutkan, dengan adanya kesadaran kolektif, tanggungjawab bersama, saling bantu, beban yang “mungkin” dirasakan sebagian ibu, setidaknya dapat tereduksi.

“Di sebagian negara maju yang lebih “individual”, semua harus ditangani sendiri, mungkin akan terasa berat, lalu kehidupan yang diukur dengan materi dengan menghitung segala biaya ketika “having a baby hingga ia dewasa”, berapa biaya yang harus disiapkan sebagai orang tua, membuat sebagian mereka mundur dan tidak ingin punya anak,” pungkas dia.

Kendati di Kampung Naga tradisi gotong royong tersebut masih ada, namun pola pengasuhan sudah mulai bergeser, terutama di wilayah perkotaan yang mulai terkontaminasi arus modernisasi.

“Salah satu niatan eksplorasi budaya lokal ini juga arahnya kesana, yakni bagaimana kita membangun kembali nilai luhur yang pernah kita miliki,” pungkas dia.

Eveline Ramadhini

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *