Pajak yang Membajak Hati Penulis

by
https://cdn.brilio.net

Setelah PPh final dikenakan bagi Usaha Kecil Menengah (UKM) yang diberlakukan baru-baru ini, pajak bagi penulis diberlakukan. Salah satu penulis produktif, Tere Liye, mengumumkan dirinya memutus kerjasama dengan pihak penerbit oleh pasal pajak yang sangat tinggi. Bagaimana nasib para penulis di Indonesia selama ini?

Wartapilihan.com, Jakarta –Pemutusan kerjasama ini dikonfirmasi oleh CEO Republika Penerbit, Arys Hilman. Ia mengatakan, adalah benar Tere Liye dan pihak penerbit sudah bersepakat menghentikan penerbitan buku-bukunya.

“Ini keputusan yang patut ditangisi karena Tere Liye adalah tipe penulis produktif dan bervisi dengan karya-karya yang sarat nilai-nilai kebaikan; novel-novelnya berkisah tentang kekuatan keluarga, perjuangan, cinta kasih, keadilan, kesabaran, kejujuran.
Kami turut merasakan ketidakadilan beleid perpajakan terhadap penulis dibandingkan profesi-profesi lain. Jelas posisi kami bersama Tere Liye,” ungkap Arys, dalam pernyataan tertulisnya, pada web republika.id, Rabu, (6/9/2017).

Ia mengatakan, kampanye “no tax on knowledge” gagal dalam dunia perbukuan sebagaimana halnya dalam pers. Dari hulu ke hilir termasuk penulis harus kena pajak. “Anda sebagai pembaca pun kena PPN waktu beli buku. Bandingkan dengan pertunjukan sirkus, fashion show, karaoke, atau masuk diskotek, Anda dapat melenggang tanpa PPN,” ujarnya prihatin.

Setelah Tere Liye yang mundur dari dunia buku penerbitan dan memilih menulis dan menjual buku di media sosial, di balik itu rupanya memang bukan tanpa alasan. Hal ini juga dialami beberapa penulis lain, seperti halnya Anto (bukan nama sebenarnya) dan Madjid.

Anto yang sudah menulis puluhan buku ini mengemukakan pendapatnya, “Jelas keberatan (tuntutan pajak pemerintah). Penghasilan penulis itu kecil,” juga Madjid yang mengatakan hal yang sama, “Memang, pajak untuk penulis di Indonesia terhitung sangat besar, jika dibandingkan dengan pajak lain,” begitu yang disampaikan Anto dan Madjid kepada Warta Pilihan.

Dampaknya, menurut Anto, penulis menjadi tidak berkembang karena mau tidak mau mencari ‘penghasilan tambahan’ menjadi pegawai atau pedagang. Akhirnya banyak penulis jadi memilih kerja jadi pegawai atau dagang. “Mana ada orang waras yang mau jadi penulis murni? Akhirnya ya nggak nulis lagi, selain iseng,” papar Anto prihatin.

Madjid menambahkan, pengalamannya sebagai penulis, ia mesti membayar pajak hingga 15% dari royalti yang diterimanya.
“Itu pun kalau punya NPWP. Jika tidak, dikenakan pajak 30%,”

Sementara, royalti untuk penulis tidak begitu besar. Hanya 15% – 20%, tergantung dari kebijaksanaan penerbit.

“Misal begini, harga satu buku 50.000. Royalti yang didapat penulis 20%, berarti ia mendapat 10.000. Kemudian, dipotong pajak penulis, 15%. Yang dia dapat dari penjualan satu buku hanya 8.500 saja,”

“Jika bukunya laku 2.000 eksemplar, dari pendapatan kotor 100.000.000, yang sampai ke kantong penulis hanya 17.000.000. Kecil sekali, bukan? Jika dibandingkan dengan pajak lain, pajak penulis lebih besar,” imbuh Madjid.

Sementara itu, pakar ekonomi Universitas Indonesia, Yusuf Wibisono mengatakan, penerimaan pajak oleh pemerintah pada dasarnya ialah tulang punggung APBN. Menurutnya, hal itu layak saja untuk ditingkatkan. Pasalnya, tax ratio (rasio pajak) di Indonesia masih rendah. “Penerimaan perpajakan adalah tulang punggung utama APBN, layak jika terus ditingkatkan, terutama karena tax ratio kita masih rendah,” jelas Yusuf, kepada Warta Pilihan, Jumat, (8/9/2017).

Menurutnya, hal yang justru jadi permasalahan adalah kejahatan yang masih signifikan di bidang perpajakan. Juga, kebijakan yang cenderung tidak adil antara kelompok kaya dan kelompok miskin. “Kejahatan perpajakan masih marak, transfer pricing belum tersentuh. Kelompok kaya cenderung menanggung beban pajak yang lebih ringan dari kelompok miskin. Kasus Tere Liye ini lebih merupakan isu keadilan,” tandas Yusuf.

“(Sebabnya) otoritas pajak yang tidak mampu, entah karena birokratnya yang korup dan inkompeten atau kerangka hukumnya tidak mendukung,” pungkasnya.

Eveline Ramadhini

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *