Novanto dan Sirkus Politik

by
https://nusantaranews.co

“Jadi, jejak Novanto selama 20 tahun belakangan ini, menunjukkan bahwa bangsa kita memang memproduksi elit-elit nasional dengan karakter Novanto. Manusia dengan karakter minus intelektualitas, gemar korupsi, dan mempersepsikan kekuasaan sebagai alat pencari kekayaan,” ujar Syahganda.

Wartapilihan.com, Jakarta –-Berbagai media, baik mainstream maupun medsos, memberitakan pemburuan Setya Novanto (SN), Ketua DPR Republik Indonesia, oleh KPK. Dari mulai KPK dan polisi yang mengejar SN ke rumahnya, sampai urusan pemburuan SN. Bahkan, sebuah LSM Anti Korupsi, MAKI, mengeluarkan sayembara hadiah 10 juta rupiah untuk informasi SN di mana berada. Dan juga LSM IPW meminta polisi menembak di tempat jika Novanto melawan polisi yang hendak menangkapnya. Hal itu disampaikan Direktur Sabang Merauke Circle Syahganda Nainggolan kepada Wartapilihan.

“Hiruk pikuk soal menghilangnya Novanto ini, didominasi caci maki dan kebencian yang amat dahsyat terhadap sosok SN, yang memang dalam perkara korupsi E-KTP ini berkali kali mampu mematahkan tuduhan KPK terhadap dirinya. Bahkan, SN sudah berkali kali pula sebelumnya menghadapi perkara perkara besar, mulai dari Cessie Bank Bali, papa minta Saham, dan terakhir skandal E-KTP, yang merugikan negara triliunan rupiah,” ujar Syahganda.

Caci maki ini, lanjut dia, telah membuyarkan beberapa substansi persoalan Novanto dalam perspektif berbangsa. Yang jika masyarakat tidak sensitif, maka sesungguhnya publik tidak menyentuh persoalan sesungguhnya. Setidaknya ada tiga hal penting yang harus di dalami dalam situasi ini.

“Pertama, Novanto bukanlah penjahat dalam pengertian hitam putih. Artinya, kita sulit menempatkan diri kita sebagai alat ukur yang sah untuk menilai Novanto sebagai penjahat, seperti yang kita lakukan terhadap maling, pencuri, pembunuh, pelacur dan lain sebagainya,” papar dia.

“Mengapa demikian? Karena Novanto dalam sistem sosial politik kita merupakan bagian dari sistem politik yang ada. Sistem politik ini adalah sebuah sistem yang memang permisif dan toleransi atas orang orang yang berkarakter seperti Novanto,” sambungnya.

Selain itu, kata Syahganda, Novanto adalah tangan kanan Jokowi saat ini. Dia bekerja dalam simbiosis mutualisma dengan Jokowi, baik dalam mendukung Jokowi untuk kembali jadi presiden 2019, maupun dalam mengamankan DPR RI untuk memuluskan agenda rezim Jokowi di parlemen.

“Novanto adalah tangan kanan Prabowo Subianto pada pilpres 2014 lalu. Dia bekerja siang malam untuk memenangkan Prabowo jadi presiden. Novanto juga tangan kanan Jusuf Kalla ketika JK menjadi ketua umum Golkar beberapa tahun lalu. Novanto merupakan bendahara yang berfungsi mencari sumber sumber pembiayaan Partai dan politik JK. Bahkan, Novanto adalah pendukung utama Ahok dalam pilkada DKI. Bersama Yorys Raweyai, Novanto menggalang konglomerat konglomerat berpawai kebhinnekaan untuk mendukung Ahok,” terangnya.

Dalam arus rakyat, kata Syahganda, Novanto adalah pemilik gelar GUS. Dia mendapatkan kartu anggota NU diberikan langsung oleh ketua Dewan Syuro dan ketua Tanfidziah NU, beberapa saat lalu. Bahkan dia melalukan safari politik ke pesantren pesantren.

“Jadi, jejak Novanto selama 20 tahun belakangan ini, menunjukkan bahwa bangsa kita memang memproduksi elit-elit nasional dengan karakter Novanto. Manusia dengan karakter minus intelektualitas, gemar korupsi, dan mempersepsikan kekuasaan sebagai alat pencari kekayaan,” tukasnya.

Kedua, kasus Novanto yang berani melawan KPK ini sebenarnya terjadi ketika KPK sebagai institusi anti korupsi yang awalnya sangat didambakan, terjebak dalam arus politik kekuasaan. Novanto melakukan Pra Peradilan atas pentersangkaannya tentu karena ada preseden pra peradilan atas Budi Gunawan yang ditersangkakan kasus “rekening gendut” dan pentersangkaan Surya Dharma Ali. Rakyat melihat berbagai kasus, baik di masa SBY, seperti “kasus Hambalang” maupun di masa Jokowi, kasus Sumber Waras dan “bus Transjakarta”, terkesan ada pilih kasih dalam memilih tersangkanya.

“Menurunnya kredibilitas KPK, tentu saja membuat Novanto dan pengikutnya di DPR berani melawan KPK secara terbuka tanpa malu dihadapan rakyat,” ucap Syahganda.

Ketiga, persoalan Novanto ini berimpit dengan sosoknya sebagai ketua DPR RI. DPR RI adalah simbol sistem konstitusi dan hukum di negara ini. Karena mereka memproduksi UU dan (bersama DPD) juga mengamandemen UU Dasar.

Sudah jelas bahwa Novanto menjabat DPR RI karena dukungan rezim yang berkuasa. Bahkan, sebelumnya dia ketua DPR yang sudah mundur karena dicurigai melakukan tindakan aib untuk menjual kekuasaannya dalam kasus “Papa Minta Saham” Freeport. Namun, rezim mendukung kembali Novanto mengambil alih kepemimpinan Golkar dan seklaigus DPR RI, dengan barter politik dukungan Golkar secara dini untuk Jokowi 2 periode. Dengan posisinya sebagai ketua DPR, sekali lagi Novanto adalah simbol Rakyat Indonesia.

“Dari tiga persoalan yang kita bahas di atas, muncul pertanyaan bagi kita: apakah kebencian yang muncul secara bombastis terhadap Novanto saat ini merupakan refleksi adanya keinginan rakyat untuk mendelegitimasi sistem sosial politik korup yang ada ataukah sekedar situasional dan temporer?,” tanyanya.

“Pertanyaan ini penting untuk melihat tanggung jawab kita sebagai sebuah bangsa yang “civilized”. Yang hari ini simbol rakyatnya dijadikan buronan dan disaksikan seluruh dunia,” tandas dia.

Jika rakyat menginginkan perubahan, terang Syahganda, tentu delegitimasi atas sistem sosial yang ada harus diwujudkan dan gerakan rakyat harus menunjukkan kemarahan besar. Kemarahan besar harus merujuk pada keinginan menyingkirkan sistem sosial politik busuk yang mengkooptasi bangsa ini. Lalu juga menyingkirkan elit elit politik busuk, semuanya. Serta membangun sistem sosial dan elit politik yang ideal, seperti yang dilakukan bangsa bangsa besar.

“Sebaliknya, jika yang terjadi hanya puas pada sirkulasi elit dari Novanto yang asli ke Novanto novanto lainnya, maka sesungguhnya rakyat pun sudah masuk dalam jebakan sistem sosial politik busuk yang berkepanjangan. Saat ini adalah saat bangsa kita mengukur diri kita,” pungkasnya.

Ahmad Zuhdi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *