Natalius Pigai: Pemerintah Jangan Membisu

by
Foto: Rilis.id

Sebelum Burma merdeka 1942 oleh kerajaan Inggris, etnik Rohingya telah menghuni lama di wilayah rakhine yang sekarang disebut Rakhine state.

Wartapilihan.com, Jakarta –Etnik Rohingya, telah berabad-abad lamanya menempati teluk benggal. Di seberang barat wilayah kehidupan mereka dihuni oleh bangsa Bangladesh dan di Timur bangsa Burma. Mereka adalah suku Benggal penghuni selatan dan penghuni utara suku bangsa austro Asia atau Thai Khadal yang kebanyakan menyebut suku bangsa Sino Tibetian.

Komisioner Komnas HAM Natalius Pigai memersolakan penyebab yang terjadi dengan mereka, yang membuat ribuan etnik Rohingya terusir dari negerinya, Rakhine State. Saat ini, ribuan manusia perahu menyeberangi samudera India, teluk Bengali dan laut Andaman yg terkenal ganas hanya untuk mencari hidup dan kehidupan.

“Di saat suasana tragedi bangsa muslim Rohingya sangat naif jika Indonesia diam seribu bahasa, Jokowi berpangku tangan, bahkan terkesan membiarkan tanpa intervensi kemanusiaan. Kita tidak mampu melakukan perang diplomatik dengan Myanmar. Seharusnya kita tingkatkan tekanan diplomatik untuk menghentikan kejahatan kemanusiaan terhadap umat muslim oleh Pemerintah Myanmar,” kata Natalius Pigai dalam keteringan tertulisnya di Jakarta, Ahad (3/8).

Terlebih, lanjut Pigai, politik luar negeri bangsa Indonesia adalah aktif menciptakan perdamaian dunia, Indonesia sebagai negara ASEAN juga sebagai negara muslim terbesar dunia tidak boleh takut mengambil resiko untuk menekan pemerintah Myanmar. Pemerintah jangan takut tekan Pemerintah Myanmar hanya karena terikat dengan traktat Asean yang non intervensi urusan domestik.

“Jokowi harus belajar dari  pengalaman Sukarno. Meskipun Sukarno dan Nehru adalah sahabat karib, bahkan India menyediakan tanah 5 Hektar untuk kantor kedutaan besar di Canakyapuri, New Delhi. Namun ketika perang India dan Pakistan 1965, Sukarno mengirimkan kapal perang angkatan laut bantu Pakistan karena solidaritas Islam. Bahkan Sukarno memusuhi Nehru yang sahabat karibnya,” ungkap Pigai.

“Kalau Sukarno saja bisa meninggalkan persahabatan dengan Nehru India, mengapa Jokowi begitu takut terhadap Myanmar? Apakah Jokowi memang membawa agenda internasional untuk menghancurkan umat muslim? Mengapa tidak bisa mengambil sikap tegas dengan memutuskan hubungan diplomatik?,” tanyanya.

Semua negara di dunia ini, kata Pigai, memiliki kewajiban untuk melndungi kejahatan kemanusiaan sebagai tindakan yang tidak disukai umat manusia di dunia (Hostis humanis generis).

“Oleh karena itu tidak ada yang salah kalau bangsa ini secara aktif berperan menciptakan perdamaian abadi di Myanmar Selatan,” tandasnya.

Sementara itu, Ketua SETARA Institute Hendardi menyatakan, pembiaran dunia internasional atas Rohingya diduga kuat memiliki motivasi politik ekonomi kawasan, sehingga Aun San Su Kyi terus memperoleh proteksi politik, karena belum ada rezim pengganti yang potensial dan akomodatif menjaga kepentingan sejumlah negara-negara yang memiliki kepentingan kuat.

“Krisis Rohingya lebih merupakan krisis yang lebih besar didorong oleh dinamika politik dalam negeri Myanmar. Dengan demikian, potensi gangguan keamanan terhadap kawasan tidak akan menyebar sebagaimana penyebaran kelompok ideologis ISIS. Gangguan keamanan dalam negeri dan kawasan lebih berupa meningkatnya asylum seeker atau pencari suaka ke Indonesia dan sejumlah kawasan lain. Para pencari suaka adalah problem human security dan kewajiban negara-negara untuk mencari resolusi terbaik bagi Rohingya,” ujarnya.

Pemerintah Indonesia, kata Hendardi, secara politik, harus mengantisipasi kelompok-kelompok masyarakat yang mengkapitalisasi isu ini untuk kepentingan politik dalam negeri. Populisme agama akan mendapat tempat kokoh di tengah krisis kemanusiaan semacam ini, apalagi aktor yang terlibat dalam krisis, berbeda secara diameteral dalam soal agama dan etnis.

“Diskriminasi ganda dan dugaan genosida atas dasar agama dan etnis yang dialami oleh Rohingya sangat mungkin menghimpun solidaritas dan dukungan publik. Jika pemerintah tidak mengambil langkah politik, potensi ketegangan sosial di dalam negeri juga cukup tinggi,” tukas dia.

Indikasi keterlibatan tentara Myanmar menurutnya, merupakan bukti bahwa kekerasan tersebut dipelopori oleh negara. Selain intervensi kemanusiaan, advokasi Myanmar juga sangat memungkinkan untuk dipersoalkan dalam kerangka kejahatan universal, karena genosida merupakan salah satu  kejahatan internasional yang termasuk kompetensi absolut International Criminal Court (ICC) dengan yurisdiksi internasional.

“Pemerintah Indonesia harus menjadi pelopor penanganan Rohingya,” pungkasnya.

Ahmad Zuhdi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *