Menyikapi Perbedaan 10 Dzulhijah

by
Ilustrasi saat wukuf di Arafah. Foto: Istimewa.

Perintah puasa ‘Arofah adalah “Shaum yaum ‘arofah”. Artinya “puasa pada hari ‘Arafoh” bukan puasa karena adanya perbuatan wukuf di ‘Arofah, bukan pula “puasa karena tempat ‘Arofah”.

Wartapilihan.com, Jakarta — Qurban atau kurban dalam Al-Qur’an adalah salah satu ibadah umat Islam. Kurban bermakna penyembelihan hewan ternak sebagai wujud pengorbanan. Ibadah ini dilakukan tiap tanggal 10 Dzulhijah dalam penanggalan Hijriah.

Namun, masyarakat seringkali berbeda dalam menentukan jatuhnya 10 Dzulhijah. Wakil Ketua Umum PP Persis Ustaz Jeje Zaenuddin mengatakan, setidaknya ada 7 alasan shah dan kuatnya pendapat yang mengharuskan mengikuti penanggalan hasil ru’yat negeri setempat.

Pertama, penyebutan istilah “hari ‘Arofah” pada asalnya adalah untuk tanggal, bukan pada tempat atupun aktivitas tertentu. Hari ‘Arofah adalah tanggal sembilan Dzulhijah, baik ada yang wukuf ataupun tidak, baik ada yang puasa ataupun tidak.

Karena penyebutan nama hari jika pada nama hari-hari dalam sepekan maka maksudnya adalah benar-benar nama hari tersebut secara hakiki. Umpamanya “yaum isnaen” artinya Hari Senin, tidak ada kaitannya dengan tanggal. Hari Senin bisa tanggal berapa saja. Tetapi jika disebut nama hari yang bukan kepada nama hari yang tujuh dalam seminggu itu maknanya adalah tanggal.

“Umpamanya dikatakan, ayyamul bid (hari-hari purnama) maksudnya adalah tanggal 13, 14, dan 15 setiap bulan yaum tarwiyah artinya tanggal delapan Dzulhijah, yaum tasyrik artinya tanggal 11, 12, dan 13 Dzulhijjah, tidak peduli ia jatuh pada hari apa saja. Maka demikian juga jika dikatakan shaum yaum ‘arofah, maksudnya puasa tanggal sembilan dzulhijah, tidak peduli jatuh pada hari senin, selasa, rabu, kamis, jum’at, sabtu, ataupun ahad,” papar Ustaz Jeje.

Kedua, lanjutnya, perintah puasa ‘Arofah adalah “Shaum yaum ‘arofah”. Artinya “puasa pada hari ‘Arafoh” bukan puasa karena adanya perbuatan wukuf di ‘Arofah, bukan pula “puasa karena tempat ‘Arofah”.

“Perhatikanlah perbedaannya dengan cermat karena di sinilah letak perselisihannya. Sebab jika ‘Arofah sebagai tempat dan sebagai aktivitas wukuf menjadi syaratnya, maka puasa Arofah hanya ada jika ada yang wukuf di ‘Arofah,” katanya.

Ketiga, ungkap Ustaz Jeje, puasa ‘Arofah sudah disyariatkan sejak tahun kedua Hijrah sedang syariat ibadah haji baru pada tahun ke enam atau ke sembilan Hijrah.

“Jadi selama empat atau tujuh tahun, kaum muslimin puasa ‘Arofah tanpa memperhatikan kapan jamaah haji wukuf, atau tanpa memperhatikan ada atau tidak adanya yang wukuf di ‘Arofah,” ujarnya.

Keempat, pelaksanaan puasa ‘Arofah dengan tidak memperhatikan penanggalan setempat akan menimbulkan permasalahan baru yang lebih sulit, yaitu penentuan hari lebaran Idul Adha nya. Kalau memang ada dalil yang diperselisihkan tentang pengertian puasa ‘Arofah, apakah untuk Idul Adhanya juga harus mengikuti penanggalan Saudi?

“Maka akan terjadi kekacaun penanggalan bulan Dzulhijah selanjutnya yaitu setelah tanggal sepuluh. Kecuali kalau mau konsisten untuk sepanjang tahun tidak menggunakan penanggalan negeri masing-masing tetapi menggunakan penanggalan tunggal mengikuti hasil ru’yat Saudi dengan konsekwensi negeri-negeri muslim seluruh dunia tidak akan punya kalender melainkan menunggu ketetapan ru’yat Negara Saudi pada setiap awal bulan,” paparnya.

Kelima, fakta ilmiyah menunjukan bahwa negeri-negeri muslim terbagi pada dua wilayah mathla’ (tempat munculnya hilal) yang terkadang berbarengan terkadang berbeda. Karena munculmya hilal tidak menetap pada posisi dan ketinggian yang sama setiap awal bulan nya. Demikian juga perbedaan waktu antara satu negeri muslim di wilayah barat dengan negeri muslim di wilayah timur ada yang terpaut sampai 12 jam. Sementara pelaksanaan wukuf hanya sekitar enam jam, yaitu dari bada Zhuhur sampai Magrib.

“Sehingga jika kaum muslimin yang tinggal di sebagian benua Amerika yang beda waktunya antara tujuh sampai delapan jam, maka ia tidak dapat menunaikan ibadah puasa ‘Arofah karena pelaksanaan wukufnya sudah selesai. Sebaliknya kaum muslimin yang ada di Australia juga tidak bisa puasa ‘Arofah karena ketika wukuf baru mulai mereka sudah waktu malam,” terang Ustaz Jeje.

Keenam, fakta historis bahwa selama berabad-abad lamanya kaum muslimin di dunia melaksanakan puasa Ramadhan maupun Arofah berpatokan kepada penanggalan negara masing-masing. Sejak wafatnya Rasulullah hingga abad ke dua puluh, tidak ada satupun negeri muslim yang menyesuaikan penanggalan mereka kepada ru’yat negara Saudi, keculai setelah diketemukannya alat komunikasi dan transformasi yang canggih sekarang ini.

“Bagaimana mungkin akan memberi tahukan hasil ru’yat di Saudi ke pusat khalifah Islam di Bagdad dan Qordova pada masa itu, atau ke pusat Islam di Jawa dan Sumatra, atau ke pusat Islam di India, dan lain sebagainya. Kecuali ke negeri-negeri Islam yang berada di sekeliling Mekah atau Jazirah Arab, dan itu memang hal yang rasional serta realistis,” tandasnya.

Ketujuh, tidak ada dalil yang mengkhususkan atau yang membedakan antara ketentuan ru’yat untuk Idul fitri dengan ru’yat Idul Adha. Rasul bahkan bersabda, “Siapa di antara kamu yang sudah melihat Hilal Dzulhijah dan hendak berqurban, maka janganlah ia mencukur rambut dan jangan menggunting kukunya”. (hadits Sahih Muslim).

“Demikian pula sabda Rasulullah, Lebaran adalah pada saat kalian berlebaran dan berkurban adalah pada saat kalian berqurban”. (Hadits sahih riwayat Tirmidzi). Kedua hadits tersebut berlaku bagi setiap negeri muslim, bukan hanya untuk Saudi Arabia saja.
Wallahu’alam,” tutupnya.

Sementara itu, Wakil Ketua Umum MUI Zainut Tauhid Sa’adi mengimbau kepada umat Islam untuk tidak mempertentangkan perbedaan pelaksanaan hari raya Idul Adha 1439 H. MUI mengharapkan kepada umat Islam untuk bisa menerima perbedaan Idul Adha ini dengan dewasa, sikap tasamuh dan toleran, saling menghargai dan menghormati.

“MUI di dalam menentukan awal Ramadhan, Syawal dan Dzulhijjah tetap berpedoman pada Fatwa MUI No. 2 Tahun 2004 yaitu dengan menggunakan methode rukyatul hilal dan hisab,” katanya.

Pada Sidang Istbat yang diselenggarakan oleh Kementerian Agama tanggal 11 Agustus 2018, setelah mendengarkan laporan dari tim pemantau hilal di 92 titik pengamatan hilal di seluruh Indonesia menunjukkan bahwa posisi hilal masih di bawah ufuk atau minus satu derajat 43 menit sehingga hilal tidak mungkin untuk dilihat (imkanur ru’yah).

“Untuk hal tersebut Sidang Isbat menetapkan bulan Dzulkaidah 1439 H disempurnakan dengan cara istikmal artinya, digenapkan 30 hari, sehingga tanggal 1 Dzulhijjah diputuskan jatuh pada Senin 13/8/2018 dan hari raya idul Adha jatuh pada tgl 10 Dzul Hijjah 1439 H bertepatan dengan tgl 22 Agustus 2018,” jelasnya.

Adapun terjadinya perbedaan penetapan jatuhnya Idul Adha antara Arab Saudi dengan Indonesia pada tahun 2018 ini karena ada perbedaan mathla’ atau lokasi terbitnya hilal. Meski Indonesia lebih awal dari sisi waktu karena perhitungan matahari, tapi karena hilal yang terlihat di mathla’ berbeda, menyebabkan perbedaan menentukan 1 Dzulhijjah.

Bagi sebagian umat Islam yang mengikuti penetapan isbatnya sesuai dengan negara Arab Saudi hari ini sudah berlebaran karena 1 Dzulhijjahnya jatuh hari Ahad, 12 Agustus 2018. Sementara sebagian umat Islam yg lain di Indonesia sekarang masih melaksanakan ibadah puasa Arofah dan baru berlebaran esok hari karena penetapan 1 Dzulhijjahnya jatuh pada hari Senin 13 Agustus 2018.

“Untuk hal tersebut kami mengharapkan kepada umat Islam untuk bisa menerima perbedaan Idul Adha 1439 H dengan sikap dewasa, tasamuh, toleran, dan saling menghargai pendapat masing-masing,” ujar dia.

Ahmad Zuhdi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *