Meneger Nasution: Pemerintah Harus Mempersiapkan Segalanya

by
Foto: Istimewa

Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan permohonan uji materi ( judicial review) terhadap pasal 61 Ayat (1) dan (2), serta pasal 64 ayat (1) dan (5) UU Administrasi Kependudukan (Adminduk) mengenai pencantuman kepercayaan dalam KTP.

Wartapilihan.com, Jakarta — Dalam amar putusannya, MK menyatakan kata ‘agama’ dalam Pasal 61 ayat (1) dan Pasal 64 ayat (1) UU tersebut bertentangan dengan UUDNRI tahun 1945. Kata itu juga disebut tak berkekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak termasuk penganut aliran kepercayaan.

Permohonan uji materi dengan perkara 97/PUU-XIV/2016 itu diajukan Nggay Mehang Tana, Pagar Demanra Sirait, Arnol Purba, dan Carlim. Para pemohon merupakan penghayat kepercayaan dari berbagai komunitas kepercayaan di Indonesia.

“Salah satu yang menarik dalam putusan MK kali ini adalah soal posisi Pemerintah dan DPR. Posisi Pemerintah dan DPR kali ini terbilang unik. Biasanya, Pemerintah dan DPR selalu ngotot untuk mempertahankan UU yang digugat ke MK. Karena UU itu adalah produk Pemerintah dan DPR. Tapi kali ini, posisi Pemerintah dan DPR bergandeng tangan mendukung gugatan tersebut. Tapi, sudahlah, itu soal lain,” ujar Direktur Pusat Studi dan Pendidikan HAM (Pusdikham) Uhamka Meneger Nasution dalam keterangan tertulis di Jakarta, Rabu (8/11).

Keputusan MK, lanjutnya, bukan soal pengakuan terhadap agama atau kepercayaan warga negara. Karena hak untuk menganut agama atau kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa merupakan hak konstitusional ( constitutional rights) warga negara, bukan merupakan pemberian negara. Dalam gagasan negara demokrasi yang dianut dalam UUDNRI tahun 1945, negara dibentuk justru untuk menegakkan, melindungi, menghormati, dan memenuhi hak-hak tersebut. Keputusan MK itu hanya mengabulkan gugatan Penghayat Kepercayaan agar bisa tercantum di kolom agama di KTP.

“Penggugat, dalam hal ini penghayat kepercayaan tentulah menyambut baik putusan MK tersebut. Bagi mereka putusan tersebut penting untuk kenyamanan mereka dalam menjalankan kewajiban dan hak konstitusionalnya,” jelasnya.

Dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, keputusan MK itu bersifat final dan mengikat ( final and binding). Hanya dalam implementasinya, patut diperhitungkan tingkat kesiapan pemerintah. Indonesia memang bukan negara agama. Tetapi warga negaranya adalah orang yang beragama. Oleh karena itu, pemerintah hadir mengadministrasikan dan mengatur relasi umat beragama.

“Selama ini, dalam melayani enam agama saja tidak mudah. Oleh karena itu, Kementerian Menteri Agama, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Pendidikan mengkaji proses administrasi lebih lanjut terkait putusan MK terbaru ini,” terang mantan Komisioner Komnas HAM itu.

Lebih lanjut, kata Meneger, mengurus, mengadministrasi, dan memfasilitasi enam agama saja sekarang tidak mudah, apalagi nanti banyak aliran-aliran yang ada. Mesti diantisipasi persiapan pemenuhan infrastruktur, struktur kelembagaan, dan keuangan negara. Untuk itu, Kemendagri perlu berkoordinasi dengan Kementerian Agama dan Kementerian Pendidikan. Koordinasi diperlukan untuk mengetahui jumlah penghayat kepercayaan di Indonesia.

“Yang pasti akan ada dampak administrasi yang ditimbulkan dari putusan MK tersebut. Putusan tersebut akan berimbas pada pendataan identitas warga negara. Dia akan terkait dengan administrasi KTP, Kartu Keluarga, dan lain-lain. Itu satu sisi dampak dari pengakuan itu yang harus diantisipasi oleh pemerintah,” tegasnya.

Aparat pemerintah dan publik, simpul dia, harus diedukasi. Masyarakat harus mampu menjaga diri untuk tidak memasuki forum internum beragama orang lain. Aparat pemerintah pun harus mampu secara proporsional dan profesional hadir mengatur forum eksternum warga negara. Dengan itu, diharapkan terjadi suasana saling menghargai dan dialog berkejujuran. Sebaliknya, tidak saling menegasikan dan menistakan.

“Tugas pemerintah adalah menjadi juri yang adil bagi warga negara. Masyarakat yang merasa diuntungkan dengan keputusan MK itu juga jangan terlalu agresif dan demonstratif. Tokoh-tokoh agama juga harus bekerja keras untuk mengedukasi umatnya masing-masing untuk bisa menghindari ekses negatif yang timbul dari implementasi keputusan MK itu,” tandasnya.

Sementara itu, Warga Baduy, Kabupaten Lebak, Banten, menyambut gembira keputusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan permohonan pencantuman kepercayaan dalam KTP. Selama ini warga Baduy yang berkepercayaan Sunda Wiwitan telah lama memperjuangkan pencantuman identitas itu dalam KTP.

Hal itu terungkap dalam dialog dalam rangka reses Anggota DPR RI Komisi II Fraksi Partai GOLKAR, Ace Hasan Syadzily, yang disampaikan Jaro Saidi, salah seorang tokoh masyarakat Baduy di Leuwidamar, Lebak Banten, pada Rabu, 8/11/2017.

“Selama ini dalam kolom agama KTP kami tidak pernah dicantumkan agama kami,” kata Saidi. “Padahal kolom agama kami juga penting dicantumkan karena kami diakui,” lanjutnya.

Menanggapi atas keputusan tersebut, Ace Hasan mengatakan bahwa keputusan itu harus kita hormati. MK telah memutuskan berdasarkan pada landasan konstitusi negara kita.

“Semua warga negara Indonesia memiliki memiliki hak untuk dilindungi dalam beragama dan berkeyakinan sesuai dengan agama dan keyakinan masing-masing,” ujar Ace.

Ahmad Zuhdi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *