Mendudukkan Makna Moderasi Islam

by
foto:Tuan Guru Bajang. Foto: Zuhdi

“Bicara moderasi Islam bukan saja kepentingan umat Islam, tapi juga kebutuhan rakyat Indonesia untuk menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia,” ujar Tuan Guru Bajang.

Wartapilihan.com, Jakarta — Organisasi Internasional Alumni Al-Azhar Cabang Indonesia akan menggelar Konferensi Internasional Moderasi Islam di Mataram, Nusa Tenggara Barat, 26-29 Juli 2018.

Ketua Organisasi Internasional Alumni Al-Azhar Cabang Indonesia Muhammad Zainul Majdi atau disapa Tuan Guru Bajang mengatakan, pemahaman moderasi yang lahir di tengah umat, menurutnya akan melahirkan kenyamanan dan ketentraman. Sebaliknya, jika yang hidup adalah pemikiran ekstrem (ghuluw). Maka, kekacauan dan inkondusifitas akan terjadi seperti di Timur Tengah.

“Kondisi Timur Tengah awalnya sangat nyaman seperti Indonesia. Namun karena pemikiran mainstream yang berkembang adalah ekstrim dan terorisme, kehancuran dan pertumpahan darah terjadi dan tak dapat dihindari,” ujar TGB di bilangan Jakarta Selatan, Jumat (20/7).

Menurut dia, hal itu menjadi early warning dan buffer guna menjaga persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia.

“Bicara moderasi Islam bukan saja kepentingan umat Islam, tapi juga kebutuhan rakyat Indonesia untuk menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia,” tuturnya.

TGB menjelaskan, wasatiyah (moderasi) bukan bahasa baru, wasatiyah adalah merangkum semua pemikiran Islam untuk diambil jalan tengah. Mulai dari teologi, fiqih, hukum, politik, dan tasawwuf.

“Nah, perlu diingat, wasatiyyah berdiri di atas pemahaman agama yang kontekstual, sehingga melahirkan pemikiran liberal. Ada juga yang tekstual, sehingga menjadi pemikiran ekstrim.

Menurut dia, wasatiyyah adalah mayoritas keagamaan yang dipegang umat Islam di dunia ini. Yang terpenting adalah umat Islam memiliki frame yang sama yaitu Ahlussunnah wal Jama’ah,” katanya.

“Jika hari ini masyarakat mendudukan konsep wasatiyyah dan melihat realitas keindonesiaan untuk saling mengisi, maka kita tidak akan menjadikan kontroversi sebagai polemik,” tandas dia.

Wakil Ketua INSIST Hamid Fahmi Zarkasyi mengatakan wasathiyah itu identik dengan keadilan, menunjukkan kemuliaan, kebaikan, keseimbangan dunia-akhirat, tidak berlebihan tidak juga meremehkan ibadah atau perintah agama. Sehingga wasathiyah merupakan sifat dari Islam itu.

Menurut Hamid, lawan istilah wasathiyah adalah ghuluw (berlebih-lebihan atau ekstrem). Contoh praktik keagamaan yang ekstrem dicontohkan dalam al-Qur’an adalah apa yang telah dilakukan kaum Yahudi dan Nasrani.

“Contoh, dalam tradisi agama Nasrani, kesucian itu dengan menghindari seks. Artinya, orang yang suci itu tidak menikah. Tetapi di dalam Islam, tidak ada batasan kalau paling suci paling alim itu yang tidak menikah. Ternyata Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassalam menyatakan sendiri, ‘saya Nabi tapi saya menikah, makan, pergi ke pasar’,” jelasnya.

Hamid juga menambahkan, ghuluw itu adalah melampaui atau melewati batas yang ditentukan. Yang diharamkan dihalalkan. Yang dihalalkan agama diharamkan.

“Contoh ghuluw dalam akidah misalnya berlebihan dalam masalah imamah. Seperti berlaku dalam Syiah. Sikap yang tidak wasathiyah. Jadi para imam itu (dianggap) maksum seperti Nabi,” tambahnya.

Dalam diri umat Islam saat ini muncul tantangan, yaitu populernya istilah Islam moderat. Ternyata istilah moderat ini muncul dari Barat, dengan definisi sendiri, arti sendiri, dan pemahaman sendiri.

“Muslim moderat menurut Barat, adalah dengan ciri-ciri Muslim yang tidak anti semith (tidak anti Yahudi), kritis terhadap Islam dan menganggap Nabi Muhammad tidak mulia dan tidak perlu diikuti, pro kesetaraan gender, menentang jihad, menentang kekuasaan Islam, pro pemerintahan sekuler, pro Israel, pro kesamaan agama-agama, tidak merespons terhadap kritik-kritik kepada Islam dan Nabi Muhammad, anti pakaian Muslim, tidak suka jilbab, anti syariah dan anti terorisme. Inilah arti moderat menurut Barat,” tegas Hamid.

Jadi, syariah itu tidak moderat bagi Barat. Tapi moderat perspektif Barat itu adalah yang percaya pada demokrasi, toleransi, pendekatan politik tanpa kekerasan, perlakuan yang sama terhadap wanita dalam hukum.

“Moderat dalam pikiran Barat itu identik dengan liberal. Sehingga tidak sama dengan wasathiyah,” pungkasnya.

Ahmad Zuhdi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *