Memimpin dengan Kolaboratif

by
foto:istimewa

Konsep pemimpin hari ini masih cenderung berpatok pada ketokohan yang pada akhirnya hanya melahirkan kediktatoran, ketaatan semu, kesalahan dan kefatalan dalam mengambil kebijakan karena “one man show”. Perlu dikonseptualisasikan ulang, pemimpin ialah pihak yang berani berkolaborasi dan menjadikan orang lain sebagai pemimpin juga.

Wartapilihan.com, Jakarta — Hal tersebut disampaikan oleh Harry Santosa, pakar parenting pendidikan berbasis fitrah.

“Hari ini dunia nampaknya berfikir ulang, konsep pemimpin dan kepemimpinan seperti itu “merasa pintar sendiri”, membentuk pengikut yang pengekor buta yang membahayakan semuanya, koruptif karena muncul banyak penjilat, dan seterusnya,” kata Harry, Rabu, (27/6/2018).

Ia pun mengamati, para pakar leadership banyak menyuarakan pentingnya collaborative leadership untuk kepentingan bersama, bukan coalition leadership untuk kepentingan golongan golongan jangka pendek.

“Dalam perspektif ini, penting untuk membentuk kepemimpinan sistem (system leadership) dimana semua orang dianggap leader sehingga orang didorong untuk mampu mengambil alih tanggungjawab (responsibliity) berinisiatif memberi kontribusi bagi kepentingan bersama,” tutur dia.

Itulah mengapa dalam Islam, kepempinan yang benar dan sejati tidak disebut Sultan, Malik, Raja, Penguasa dan seterusnya, tetapi disebut sebagai Khalifah yang bermakna wakil Allah, atau Amirul Mukminin yang bermakna orang yang mengurusi atau melayani urusan kaum beriman.

“Bayangkan bahwa setiap member dalam jama’ah dinilai dan dihitung sebagai orang beriman, punya nilai atau value yang berharga,” terang dia.

Kepemimpinan para pemimpin ini tentu saja harus bersifat collaborative leadership atau kepemimpinan yang sanggup mengkolaborasikan seluruh potensi potensi yang ada di dalam komunitasnya atau keluarganya sehingga menjadi ledakan energi dahsyat karena kekuatan bersinergi.

“Tiada lagi arogansi sektoral, atau pulau pulau (silos) kekuasaan, yang ada kolaborasi integral tanggungjawab bersama,” imbuh Harry.

Sehingga dengan demikian nampak jelas bahwa keluarga atau organisasi mampu bersinergi, maka harus dirancang system leadership atau kepemimpinan sistem dimana di dalamnya terjadi penghargaan atas potensi potensi unik (talents) lalu muncul kemampuan mengkolaborasikan potensi-potensi dan kepemimpinan di dalamnya.

Menurut Harry, semua diawali dengan membangun kerangka berfikir sistem, bahwa semua unsur atau member harus bisa saling mendukung dalam cara pandang sistem yang sama atau worldview yang sama namun tetap dalam potensi keunikan masing masing.

“Berfikir Sistem berarti pula mendahulukan wisdom sebelum rules, memdahulukan believe sebelum teknis, lalu memadukan keduanya,”

Dengan demikian, membina sebuah keluarga (‘usroh), bangsa (‘ummah), komunitas (‘jama’ah) dstnya sesungguhnya seperti membina seorang perempuan (krn ‘usroh, ‘ummah, ‘jama’ah dll kata berjenis mu’anats alias perempuan) sehingga seorang pemimpin harus mendahulukan wisdom sebelum rules.

“Karena wisdom itulah ranah seorang perempuan dan sistem adalah berjenis kelamin perempuan,” tukasnya.

Sebuah sistem kepemimpinan pun menurutnya harus mendahulukan Wisdom driven (mothership) bukan Rules driven (fathership), walau pada proses lanjutannya diperlukan kombinasi leadership dan followership, atau fathership dan mothership

“Peran kelelakian atau fathership atau leadership sesungguhnya bukan hanya bicara bagaimana memberi komando, memerintah, mengatur, mengendalikan dstnya sebagaimana nampak di permukaan, namun sesungguhnya jauh di bawah permukaan ia adalah seorang great listener, great emphatizer sehingga secara bijak memahami mendalam kebutuhan keluarganya, anak dan istrinya,” terang Harry.

Maka dari sifat-sifat itulah kemudian kecintaan anggota keluarga muncul berupa relasi yg kuat, keyakinan berupa rasa nyaman dan aman berada di naungannya lahir, serta kebanggaan karena ada pengakuan serta penghargaan atas setiap potensi unik keluarganya. Dan ujung dari itu semua adalah tentu saja ketaatan yang tulus dan kritis.

Maka dari itu, sebuah keluarga, organisasi, komunitas atau bangsa idealnya disetir oleh “wisdom” sebelum “rules”, dan seorang pemimpin itu idealnya adalah seorang yg memiliki kemampuan collaborative leadership yaitu mengkolaborasikan potensi potensi baik keimanan, bakat, belajar dan inovasi, ego dan perasaan, logika maskulintas dan empati femininitas di dalam wilayah yg dipimpinnya.

Ketaatan dan kepatuhan, ucap Harry, merupakan bagian akhir dari kolektiftas kecintaan, kenyamanan, ketenangan dan kebanggan.

“Maka hal mendasar seorang untuk menjadi pemimpin adalah jadilah human being atau manusia seutuhnya yang tumbuh semua aspek fitrahnya agar kelak mampu menghargai, mengkolaborasi dan mensinergikan semua potensi fitrah keluarga dan komunitasnya menuju sinergi peran peradaban mewujudkan misi peradaban keluarganya atau komunitasnya,” pungkas dia.

 

Eveline Ramadhini

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *