Membully Tanpa Sadar

by
http://ciricara.com

Di tengah hiruk-pikuk kawan yang mem-bully teman sejawatnya, tanpa disadari, keluarga secara tak langsung dapat mem-bully anak, yang sering dinamai familly bullying. Bagaimana bisa terjadi?

Wartapilihan.com, Jakarta –Menurut Dan Olweus, Bullying merupakan aktifitas berbentuk agresi/kekerasan dengan tujuan untuk menyakiti orang lain baik secara fisik maupun mental yang dilakukan secara berulang-ulang. Elly Risman sebagai psikolog sekaligus aktivis di Yayasan Kita dan Buah Hati mengatakan, yang menyebabkan anak menjadi pelaku, korban maupun penonton bullying karena banyak faktor, yaitu (1) keluarga, (2) media, (3) peer group, (4) sekolah, dan (5) masyarakat; Keluarga merupakan salah satu aspek yang paling mendominasi membentuk karakter anak.

Dalam kehidupan keluarga, seringkali orangtua memanggil anak yang kedua, ketiga, keempat, kelima, atau anak bungsu, dengan sebutan, “Adek… adek… adek…” tanpa memanggil namanya. Hal itu disampaikan oleh Ading Umarat, seorang trainer di Childhood Optimizer. Menurutnya akan terjadi dampak jika memanggil ‘adek’ tanpa menyebut namanya.

“Pertama, jika anak kita belum kuat konsep dirinya, maka kegiatan kita memanggil ‘adek’ tersebut sebenarnya bisa berpotensi melemahkan diri si anak. Dengan memanggil ‘adek’, sebenarnya kita meletakkan posisi anak kita tersebut sebagai orang terkecil, terlemah, paling tak berdaya di keluarga kita. Ia akan cenderung menjadi anak yang manja. Ini dilihat dari sisi internal si anak,” ujar Ading, kepada Warta Pilihan, Kamis, (21/9/2017).

Kedua, menurut dia, tak jarang, dengan panggilan ‘adek’ tersebut, kita akan menganggap hal itu lucu, imut, penuh afeksi kasih sayang. Namun, ketika semua orang memberikan sebuah label panggilan tersendiri itu kepada si anak bungsu tadi, dia berpeluang besar diremehkan oleh orang di sekitarnya, dianggap masih bayi meski ia sudah besar (berumur 30-an).

Maka dari itu, Ading menyarankan agar anak yang kedua, ketiga, terutama anak bungsu agar tidak dipanggil sebutan ‘adek’ agar tidak terpapar dampak negatif. “Solusinya ada 2: solusi internal dan eksternal. Solusi pertama dari internal, kita perlu memperkuat konsep diri si anak dengan memanggil namanya. Sering-seringlah panggil nama anak dengan utuh. Nama adalah doa. Maka, panggil anak tersebut dengan doa,” lanjut Adlil.

“Doakan ia sepanjang waktu dengan memanggil namanya. Ketika kita panggil, ia menoleh. Di situlah sebenarnya kita sedang membangun konsep dirinya. Ingin lebih dahsyat lagi dampaknya? Maka, sering-sering jelaskan makna dari nama dirinya. Apa harapan orangtua saat memberi nama tertentu itu dulu. Jika memang kisahnya heroik, bagus, mulia, maka doakan ia bisa menjadi orang dengan sesuai namanya,” pungkas dia.

Solusi kedua, alumni Sosiologi Universitas Indonesia ini mengatakan, dari aspek eksternal dapat dibuat kesepakatan di keluarga kita dimana ‘si adek’ tadi berada, mereka harus ikuti aturan main kita dalam memanggil nama anak kita. “Edukasi orang-orang yang ada di rumah kita, dimana si anak tersebut sering berinteraksi dengan orang-orang tersebut. Mereka harus memanggil nama lengkap jika menyapa anak kita tersebut. Jika tidak nama lengkap, minimal nama baik dari anak kita,”

Menurut dia, perlu untuk menghilangkan panggilan yang kurang bermutu agar konsep dirinya kuat, tajam, dan jelas.
“Nama yang merupakan doa. Bukan nama olok-olok. Maksudnya, ada orang yang kerap bahagia memanggil orang sesuai bentuk fisiknya. Dia panggil orang dengan sebutan, ‘si botak’, ‘si pesek’, ‘si kribo’, ‘si panjul’. Hilangkan panggilan-panggilan kurang bermutu tersebut,” tukasnya.

Ading menjelaskan, jika makin banyak anak-anak yang makin kuat konsep dirinya, maka kehidupan bermasyarakat kita akan semakin baik. Orang dengan konsep diri kuat, tidak akan mudah dipengaruhi untuk ikut hal-hal negatif. “Ketika diajak berbuat jahat, dia akan ingat lagi namanya. Namanya Muhammad Kholid misalnya. Ada sejarah yang luar biasa di balik nama tersebut. Orang yang konsep dirinya kuat, dia akan terhindar dari pembully-an (persekusi), karena baru lihat saja, orang sudah segan kepadanya,”

“Orang yang konsep dirinya kuat, tidak akan gampang dihasut untuk melakukan sesuatu yang menyakiti orang lain, karena ia tahu, kalau ada yang tidak hormat pada manusia, sama saja tidak hormat pada pencipta manusia itu sendiri,” imbuh dia.

Eveline Ramadhini

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *