Massa Kontra 2019 Ganti Presiden Paranoid?

by
Diskusi rilis survey Riset Polmark Indonesia di Hotel Sofyan, Menteng, Jakarta, Kamis (29/8). Foto: Zuhdi.

“Para kontestan menunjukkan perilaku yang relatif paranoid dengan kata kalah. Sehingga untuk menang mereka tak segan-segan melakukan intervensi politik untuk memenangkan pemilu,” ujar Zuhro.

Wartapilihan.com, Jakarta — Fenomena persekusi yang dilakukan kubu pengusung tagar #2019TetapJokowi terhadap massa tagar #2019GantiPresiden terus terjadi. Setelah Neno Warisman mendapatkan perlakuan tidak wajar dari massa di Pekanbaru, Riau. Kejadian serupa terulang kembali di Surabaya beberapa waktu lalu.

Potensi retaknya kerukunan sosial tak dapat dihindari. Terlebih, aparat kepolisian terkesan membiarkan potensi konflik horizontal di lapangan. Hal itu diakui peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Siti Zuhro, menurutnya, prakondisi yang kondusif tampaknya tak mudah tercipta di dalam tahun politik saat ini dan ke depan.

Apalagi ketika para elite dan aktor peserta pemilu tak sungguh-sungguh melakukannya. Namun, kata dia, pengalaman pilkada serentak di 171 daerah yang berlangsung beberapa waktu lalu dapat dijadikan modal awal menyongsong pemilu serentak nasional yang damai dan berintegritas.

“Karena itu, proses demokrasi harus ditopang oleh capaian trust building yang memadai dan pembangunan kualitas sistem hukum yang substantif. Membangun demokrasi berarti membangun nilai-nilai budaya yang positif seperti saling menghormati, saling mempercayai dan saling berkomunikasi secara efektif, sehingga tak muncul dominasi ego sektoral yang seringkali menghambat terbentuknya transparansi dan obyektivitas,” ujar Siti Zuhro dalam sebuah diskusi di bilangan Menteng, Jakarta Pusat, Rabu (29/8).

Zuhro menjelaskan, harmoni/kohesi sosial terganggu bukan saja karena permasalahan nilai-nilai tersebut terlanggar, melainkan juga karena masih adanya kesenjangan sosial ekonomi dalam masyarakat yang membuat bangunan kebersamaan bangsa goyah.

“Isu ketidakadilan mengedepan. Kohesi sosial pun ikut terancam. Masalahnya makin bertambah ketika para stakeholders enggan mewujudkan. Polri, TNI, KPU, Bawaslu dan lainnya harus menunjukkan profesionalitas dan integritasnya. Mereka tidak boleh partisan dalam menjalankan tugasnya,” ujar dia.

Dalam kesempatan tersebut, Zuhro menyoroti tindakan bar-bar yang dilakukan sejumlah pihak kontra 2019 Ganti Presiden. Menurutnya, para kontestan menunjukkan perilaku yang relatif paranoid dengan kata kalah. Sehingga untuk menang mereka tak segan-segan melakukan intervensi politik untuk memenangkan pemilu.

“Politisasi isu apapun akan dilakukan pokoke menang. Agama dipolitisasi, bahkan disebut Islam intoleran. Saya paling marah ketika ada yang mengatakan Islam intoleran dan radikal. Mana buktinya? Dan inilah tindakan awal yang akan terus diakumulasi untuk mencapai kemenangan tersebut,” tuturnya.

Zuhro menandaskan, suksesi kepemimpinan 2019 penting sebagai tonggak membangun Indonesia menuju satu abad Indonesia. Partai politik harus mencerahkan dan mencerdaskan masyarakat tentang pentingnya membangun dan memajukan Indonesia serta penegakan etika dan moral dalam kehidupan politik.

“Pasca aksi 411 dan 212, masyarakat merasakan ketidakadilan yang mendalam. Padahal, sejarah mencatat runtuhnya Orde Baru dan Era Reformasi karena ketidakmampuan Pemerintah dalam merawat keadilan dan menyelesaikan masalah ketimpangan ekonomi,” pungkasnya.

Sementara itu, Direktur Riset Polmark Indonesia Eko Bambang merilis, 4,3% pemilih di Jakarta yang rusak hubungan pertemanannya karena Pemilu Presiden 2014 dan 5,7% pemilih di Jakarta rusak hubungan pertemanannya karena Pilkada Jakarta 2017.

Menurutnya, data tersebut menunjukkan adanya potensi retaknya kerukunan sosial karena Pemilu denga dua alasan. Pertama, jika data itu diproyeksikan ke jumlah pemilih (dengan menimbang margin of error surveinya yang
sebesar +/- 2,9%), maka rilis survey bicara tentang pemilih dalam jumlah signifikan.

“Kedua, jangan lupa, 1000 hubungan sosial retak adalah statistik, tapi satu saja keretakan hubungan sosial adalah tragedi kemanusian atau tragedi demokrasi. Karenanya, proses dan hasil pemilu dalam demokrasi yang mapan atau terkonsolidasi semestinya tak boleh membuat luka sosial bagi siapapun,” ujar dia.

Ahmad Zuhdi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *