Di balik setiap gerakan ada semangat yang mendorong perubahan. Begitu pula dengan gerakan Locavore – sebuah ajakan untuk mengonsumsi makanan yang diproduksi atau ditanam dalam radius lokal, umumnya sekitar 120 km dari tempat tinggal kita.
Wartapilihan.com, Depok– Gerakan ini bukan hanya tentang mencari makanan yang lebih segar atau mengurangi dampak lingkungan akibat transportasi pangan, tetapi lebih jauh lagi tentang membangun kembali hubungan yang lebih dekat antara konsumen dan produsen lokal. Ini adalah bentuk penghargaan terhadap petani lokal dan upaya untuk memperkuat ketahanan pangan kita.
Konsep locavore mungkin terdengar sederhana, namun dampaknya sangat dalam. “Mari kita makan apa yang petani kita tanam,” kata Dr. Ir. Agus Somamiharja, MM, seorang praktisi pertanian yang mengajak kita untuk kembali memanfaatkan hasil bumi yang ada di sekitar kita.
*********
Dalam sebuah perbincangan ringan dengan beberapa kawan alumni se-angkatan dari IPB University, penulis sempat terlibat diskusi hangat mengenai betapa banyaknya bahan makanan yang kita harus import. Kami yang alumni dari sebuah Perguruan Tinggi yang punya sejarah kental dengan pertanian, tidak mungkin tidak punya konsern pada issue pangan ini.
Paradoks Indonesia seperti yang diungkapkan Prabowo dalam bukunya, salah satunya tentang betapa ironis, negeri yang subur karena tanah vulkaniknya melimpah, harus import bahkan untuk makanan pokok sehari-hari. Bukan makanan ekslusif seperti telur kaviaar yang memang di Indonesia belum ditemukan-One day mungkin akan ada yg budidaya kaviaar.
Perbincangan akhirnya menyenggol pangan lokal apa yang kita punya untuk memenuhi kebutuhan sendiri. Disinilah kemudian ada yang menggugat bahwa pangan lokal yang kami sebutkan, sejatinya bukan benar-benar asli Indonesia. Singkong? Singkong (Manihot esculenta) diyakini berasal dari wilayah Amerika Selatan, kemungkinan besar dari Brasil. Pepaya (Carica papaya) juga berasal dari wilayah Amerika Tengah, khususnya dari Meksiko bagian selatan. Jagung (Zea mays) asalnya dari Meksiko. Menurut bukti arkeologi, Ubi jalar (Ipomoea batatas) adalah tanaman yang asalnya dari wilayah Amerika Tengah atau Amerika Selatan. Bahkan padi, yang menjadi makanan pokok sebagian besar orang kita, pertama kali dibudidayakan di wilayah Sungai Yangtze, Tiongkok.
Bahan pangan yang jejaknya ditemukan asli dari Indonesia, sebenarnya cukup beragam. Sebut saja, ada sagu, talas, ganyong, sukun, gadung. Belum lagi buah-buahan tropis seperti salak, durian, manggis, duku, pisang.
Namun, gerakan locavore bukan tentang asal usul tanamannya. Yang lebih penting adalah nilai yang terkandung dalam konsumsi pangan lokal yang ditanam di dekat rumah kita, karena pangan yang ditanam lokal memiliki kualitas dan nilai sosial yang berbeda dibandingkan dengan pangan impor.
Singkong yang ditanam dekat rumah, akan berbeda value-nya dengan singkong yang diimport dari Thailland. Walaupun, sama-sama singkong.
Yang kemudian menjadi topic diskusi selanjutnya adalah Mengapa pangan local yang melimpah keragamannya ini kalah pamor? Tentu saja ini pekerjaan ideologis yang tidak main-main. Ada kerja-kerja yang konsisten, terus-menerus, penuh kesabaran dan ketekunan untuk meng-intersep value baru dalam keseharian kita.
Mari kita tengok sejarah masuknya tepung terigu ke Indonesia sebagai contoh.
Sebelum tahun 1970-an, konsumsi gandum di Indonesia sangat rendah. Tahun 1969, Amerika menyalurkan bantuan berupa gandum untuk mengatasi kelangkaan pangan pasca peristiwa G30S/PKI. Awalnya, gandum atau tepung terigu kurang diterima masyarakat. Saat itu tepung terigu banyak dibuat untuk roti.
Kehadiran Mie instant tahun 1970-an, mengubah ‘landskap’ konsumsi tepung terigu di Indonesia. Mie yang lebih familiar daripada roti, ternyata lebih mudah diterima. Belum lagi kepraktisan, harga yang murah, rasa yang enak, dan mudah didapat, menjadikan mie instant makanan pokok kedua setelah nasi. Tidak jarang, mie instant diperlakukan laksana lauk-pauk temannya nasi.
Perubahan pola konsumsi seperti ini tentu bukan pekerjaan sembarangan. Pasti ada upaya serius dengan gelontoran sumberdaya untuk mewujudkannya.
Walaupun kita semua tahu bahwa gandum tidak dapat tumbuh secara komersial di iklim tropis Indonesia, negara ini sepenuhnya bergantung pada impor gandum. Saat ini, Indonesia adalah salah satu importir gandum terbesar di dunia, dengan sebagian besar pasokan berasal dari Australia, Kanada, Ukraina, dan Amerika Serikat. Ketergantungan ini membuat Indonesia sangat rentan terhadap fluktuasi harga dan geopolitik global. Situasi yang sama tentu terjadi juga pada komoditi impor lain seperti jagung, kedelai, beras, dll.
Setelah diskusi tersebut, kami bersepakat bahwa meskipun tantangan besar ada di depan mata, setiap individu bisa berkontribusi, sekecil apapun, untuk mengenalkan dan mengkampanyekan kembali pangan lokal. Bahkan jika hanya dimulai dari diri sendiri, mengonsumsi pangan lokal adalah langkah kecil yang bermakna besar. Jika kita bersama-sama bergerak, kita bisa membentuk sebuah gerakan yang kuat untuk mendukung kedaulatan pangan Indonesia.
Kedaulatan pangan adalah harga mati, dan inilah saatnya bagi kita untuk kembali mengenal dan merayakan kekayaan pangan lokal Indonesia.
Abu Faris (Alumni 7th Permaculture Design Course Certified-Bumi Langit Institute, F-25 IPB University)
https://www.linkedin.com/in/kus-kusnadi/